Kesebelasan Mustakim

274 5 0
                                    

Pemuda-pemuda Korea direkrut oleh penjajah Jepang menjadi prajurit. Sebagian mereka kemudian bertugas ikut menjajah Indonesia. Singkat cerita, prajurit Kim, menyelinap lari dari barak, melepas kostum tentara Jepang, masuk dusun berpenduduk.

Tidak mudah meyakinkan gerilyawan Indonesia dan rakyat bahwa ia bukan tentara Jepang, tetapi orang Korea. Hatinya tidak kuat dengan posisi itu karena negerinya, rakyatnya, Korea, juga dijajah Jepang.

Akhirnya ia berhasil, diterima, dan dalam proses kemudian berganti nama menjadi Mustakim ....

Kisah itu sedang ditulis skripnya untuk difilmkan. Entah itu kisah nyata atau roman kesenian, tetapi sutradara dan produser film itu amat serius sehingga saya dapat "berkah". Mereka menjamu saya dan istri di Seoul sejak pagi hingga larut malam, diajak ke tempat-tempat bersejarah, ditraktir makan sana sini, diperlakukan sangat santun dan hormat sampai bingung dan merasa kehilangan identifikasi tentang diri kami sendiri. Apalagi hari-hari berikutnya kami digilir oleh pemimpin-pemimpin perusahaan security maintenance, PC hardware, dan lain-lain untuk dibawa ke kantornya, difoto bersama para pemimpin, dan keanehan-keanehan lain.

Sampai hari ini saya meyakini bahwa mereka salah alamat. Pasti ada yang menyesatkan mereka: ngasih info bahwa saya adalah tokoh Anu atau Menteri X.

Akan tetapi, itu ge-er juga karena masyarakat Korea sampai hari ini tidak kikis budaya tradisionalnya di wilayah tertentu. Anda berjalan di segala sudut Korea, asalkan Anda sudah tua seperti saya, orang membungkukkan badan menghormati Anda. Pokoknya tampak tua akan dihormati. Mereka tidak santai seperti kita, yang setiap melihat orang tua cenderung menertawai, meremehkan, dan menyimpulkan dalam hati bahwa ia orang yang sudah berlalu. Kemudian esoknya kita terkejut dan kecele.

Ketika berlangsung pertandingan para patriot kita melawan kesebelasan Korea, saya memperhatikan beberapa hal yang mungkin agak di luar concern sepak bola.

Pertama, ekspresi air muka pemain Korea tidak ada yang sombong, tidak look down kepada pemain Indonesia, bahkan sesekali tampak ada sedikit rasa panik.

Datanglah ke Seoul, masuklah ke Stadion Piala Dunia mereka dan urutkanlah menyaksikan foto-foto, video, dan segala paparan tentang sejarah persepakbolaan Korsel. Anda akan menemukan bahwa progres, maintenance, kreativitas, fasilitas, dan spirit persepakbolaan mereka dua-tiga langkah di depan kita. Kekalahan 0-1 itu harga sangat tinggi bagi Indonesia. Berkah luar biasa.

Kalau 1-1 itu terlalu mewah untuk keadaan menyeluruh Republik kita yang sedang hilang diri, luruh kepribadian, tak kunjung menemukan manajemen yang tepat, sistem yang membumerangi seluruh bangsa, hukum mencelakakan, moral berpura-pura, agama baru, sampai fungsi mode pakaian budaya, informasi yang disinformatif dan tebang pilih, komunikasi antara orang tuli, kepemimpinan jeblok, demokrasi hutan rimba, dan kemanusiaan yang tak mengenali dirinya.

Cerita hati hanya sebatas 0-1. Namun, tandangnya Bambang Pamungkas, yang juga pahlawan selama bermain di Malaysia, beserta semua teman-temannya sangat membanggakan hati. Kalau sampai PSSI menang lawan Korsel kali ini, itu berarti Tuhan menganugerahi kasih sayang ekstra kepada anak-anak kita, dan besok Ratu Adil pasti datang menyusul untuk menyelamatkan seluruh bangsa Indonesia. Cukuplah 0-1. Itu rasional, cukup untuk bikin tahu bahwa kita bukan bangsa remeh. Korsel yang bangsa raksasa teknologi, tidak dengan mudah mengalahkan raksasa selatan yang sebenarnya diam-diam mereka kagumi dan cintai.

Sejumlah pakar Korsel melakukan penelitian karena kagum kepada multi-bakatnya manusia Indonesia. Tenaga-tenaga kerja Indonesia di Suwon, Busan, Seoul, rata-rata sangat dicintai oleh bos-bos mereka serta oleh sesama pekerja di sana.

Berbeda dengan rekan-rekannya dari Filipina, Pakistan, atau Bangladesh, anak-anak Indonesia cenderung sangat setia kepada perusahaan, tidak dian-diam menjadi "perusahaan dalam perusahaan". Mereka pekerja yang ulet sehingga tidak selalu benar pameo bahwa satu orang Jepang sama dengan lima orang Indonesia, dan satu orang Korea sama dengan 15 orang Indonesia.

Memang nasib Indonesia mirip Korea: dijajah Jepang, Korsel merdeka 15 Agustus 1945, Indonesia dua hari kemudian. Energi dan etos kerja tradisional Indonesia juga tidak berbeda amat dengan Korea. Cuma Indonesia terlalu besar, terlalu luas, dan terlalu banyak cingcong. Sementara Korsel bangkit dari radikalisasi kekuasaan militer pada 1982 untuk menjadi raksasa, kita sibuk berdebat, memperkelahikan kebodohan, curang, cengeng, dan mencuri keuntungan sendiri-sendiri sampai hari ini.

Maka, ketika pertandingan di Senayan itu berlangsung, saya berpikir: teman-teman di Suwon itu memihak PSSI atau Korsel? Mereka, sebagian pekerja kita di Korsel, sangat traumatik dan benci orang-orang kedutaan RI, kemudian benci pemerintah RI, kemudian benci Indonesia, benci bangsa Indonesia, benci setiap orang Indonesia yang melintas di depan mereka, serta apa saja yang mengingatkan mereka kepada Indonesia. Seorang wanita sambil menggendong anaknya berkata, "Saya memilih dihukum di penjara di Korea daripada pulang ke Indonesia."

Mereka kerja keras di pabrik-pabrik, sampai sempat diam-diam membuat senjata: pedang, parang, kelewang, roti kalung .... saya datang ketika baru saja terjadi tawur antara Suku Lombok versus Suku Indramayu. Beberapa patriot Indonesia ngendon di Cipinang-nya Korea.

Semoga Mustakim yang tawur dan Mustakim mantan tentara Jepang saling belajar bahu-membahu berjalan ke masa depan. Mustakim Korea sehari sekolah 2-3 kali, pulang pukul 11 malam. Mustakim Indonesia juga ahli begadang. Tong Dae Mun dan Nam Dae Mun bersaing lawan Pasar Tenabang. Di bawah Subway Korsel berlapis-lapis pertokoan, kita juga sanggup berangkat pulang kerja berlapis-lapis memenuhi gerbong dan di atap kereta. []

KAGUM KEPADA ORANG INDONESIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang