Niat Baiknya

1.2K 49 3
                                    

Tidak perlu kau menjadi orang lain.
Kau hanya perlu menjadi sebaik-baiknya muslimah.. agar menjadi muslimah yang berkualitas..
(Fahrizal Ahmad)

Ini jam dosen killer kata teman-teman ku. Tapi tidak bagiku. Bagaimana bisa aku mengatakan beliau adalah dosen killer? Sedangkan aku saja selalu menikmatinya. Manda belum terlihat di kelas. Aku semakin resah jika dia datang terlambat. Tau sendiri sekarang mata kuliahnya pak Zam, kenapa belum datang juga si. Batinku terus saja bersuara. Lima menit lagi dosen akan masuk, mata kuliah akan segera diajarkan. Lalu jangan lupa dengan tugas baru untuk Minggu depan. Ya. Selalu seperti itu.
Benar saja, lima menit kemudian Pak Zam masuk kelas. Suasana kelas yang tadinya riuh karena membicarakan piala dunia menjadi hening seketika. Itu karena kedatangan Pak Zam. Aku sendiri dari tadi hanya menunggu Manda datang. Namun sepertinya dia tidak datang. Karena kebetulan, hari ini aku mengikuti kelas Manda. Kelas yang kuambil ini, adalah kelas tambahan daripada sering kosong dan hanya di pesantren, aku memilih kelas ini, sekaligus untuk menemani mengerjakan tugas akhir atau skripsi.
***
Di kelas lain, dosen tampan, muda, dan Sholeh itu tidak fokus menerangkan matkul tasawuf. Pikirannya tertuju pada gadis manis yang tak lain dan tak bukan adalah mahasiswi nya sendiri. Mahasiswi tingkat akhir itu memenuhi pikirannya.
"Saya ke ruangan sebentar. Kalian bisa mencari bahan diskusi kelompok untuk Minggu depan di perpustakaan. Saya permisi. Selamat siang." Ucap Fahri. Mungkin ini yang terbaik dari pada ia salah menjelaskan materi barunya. Langkahnya untuk menuju ke ruangannya, terhenti ketika ia melihat Ila. Ya. Mahasiswi yang memenuhi pikirannya. Akhirnya Fahri mengurungkan niatnya untuk ke ruangannya. Dia memilih menemui Ila. Mungkin Ila belum tau kalau Fahri menyukainya. Pertemuan ketika mereka bertemu di bazar buku murah beberapa waktu lalu.
***
"Assalamualaikum, Ila" Fahri mengucapkan salam.
Terlihat Ila terkejut. Mungkin karena Fahri yang datang tiba-tiba.
"Wa'alaikum salam, Pak." Jawabnya. Kebiasaan, pasti menunduk.
"Boleh saya duduk di sini?" Izin Fahri. Ila hanya mengangguk. Lalu Fahri duduk di bangku depan Ila. Fahri memandang Ila yang masih menundukkan kepalanya.
"Kamu ngga ada kelas? Kok disini? Disini itu jarang yang lewat, paling juga yang kesini hanya mereka yang bawa mobil." Ucap Fahri ingin tau. Ila mengangkat wajahnya.
"Saya lagi free pak, cuma ada satu matkul. Males pulang ke pesantren. " Ucap Ila jujur. Fahri hanya mengangguk. "Oh iya, La. Kenapa nggak sama temen kamu itu, si Manda?" Tanya Fahri. Sebenarnya dia gugup, bingung mau bertanya apa. Namun ia berusaha untuk menetralkan degup jantungnya.
"Manda nggak masuk Pak. Bapak nggak ada kelas?" Tanya Ila.
Fahri hanya tersenyum lalu mengangguk.
"Ada, tapi saya tinggal." Jawab Fahri jujur. Memang ia meninggalkan kelasnya. Itu karena pikirannya tertuju pada perempuan yang kini ada di depannya.
"Kenapa ditinggal, mereka butuh ilmu pak. Mereka juga membayar kuliah disini. Masak seenaknya bapak ninggalin kelas?" Omel Ila. Lagi-lagi Fahri tersenyum. Ila yang merasa aneh langsung menundukkan kepalanya.
"Maaf Pak, nggak seharusnya saya mengatakan hal itu." Sesal Ila.
"Kamu benar, La. Tapi sebelum saya ke kelas, boleh saya katakan padamu?" Tanya Fahri. Ila mengangguk.
"Boleh saya minta alamat rumah orang tua kamu?" Ucap Fahri to the point. Ila terkejut. Degup jantungnya tidak normal.
"Untuk apa bapak meminta alamat rumah orangtua saya?" Tanya Ila. Dia berfikir yang tidak-tidak. Astaghfirullah. Bathinnya.
"Saya ingin mengkhitbah kamu. Boleh kan, La? Bukannya kamu pernah bilang kalau kamu belum mempunyai calon dan akan menerima siapapun yang mengkhitbah kamu?" Terang Fahri. Ila bingung harus menjawab apa.
"Bapak serius? Saya bukan anak orang kaya, saya juga bukan seperti Fatimah putri Rasulullah." Ucap Ila masih dengan menundukkan kepalanya.
"Kamu tidak perlu jadi siapapun, cukup menjadi Ila yang sebaik-baiknya. Menjadi muslimah yang berkualitas." Jelas Fahri. Dia tidak peduli siapa Ila. Hal itu sama sekali tidak penting baginya. Mau anak orang biasa, tidak punya sekalipun, ia tak peduli. Ia hanya ingin mengkhitbah perempuan Sholehah yang sekarang di depannya ini secepatnya. Ia merasa ketika di sampingnya surga terasa dekat. Apalagi jika nanti ia adalah istrinya. Betapa surga akan terasa sangatlah dekat. Ila mengangguk. Ila memberikan secarik kertas berisi alamat orangtuanya.
"Terima kasih, La. Insya Allah besok malam saya ke rumah orangtua mu. Kamu bisa izin pulang bukan?" Ucap Fahri mantap. Sedari tadi Ila hanya bisa mengangguk dan tersenyum.
"Kalau seandainya tidak di perkenankan pulang, kamu beritahu saya. Saya yang akan mengizinkan." Lagi-lagi Ila tersenyum.
"Iya pak. Kalau begitu saya permisi. Sudah siang, dan bukannya bapak masih ada kelas?" Pamit Ila di akhiri pertanyaan.
"Iya saya akan ke kelas. Hati-hati ya, La." Ucap Fahri.
"Iya pak. Assalamualaikum." Pamit Ila .
"Wa'alaikum salam, Ila." Jawab Fahri.

Gimana cerita di bagian ini? Duh dek.. Ila akan dikhitbah..
Tunggu bagian selanjutnya ya...
Ini masih sibuk ngurus kuliahan jadi ya belum bisa lanjutin ceritanya..
Jangan lupa vote and coment. Ajak juga temen* kalian buat baca cerita ini ya...
😂😂

Ku Pinjam Namamu di Sepertiga Malamku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang