Rapi... keren... Fashionable... Tiga hal itulah yang terlintas dibenak Marvin, seorang mahasiswa jurusan akuntansi semester awal kala matanya memperhatikan orang-orang disekitarnya yang tampak asyik memperhatikan penjelasan penjaga booth beasiswa ke berbagai Negara di scholarships Expo di daerah Sudirman, Jakarta. Memiliki tinggi badan yang jauh diatas tinggi badan normal laki-laki Indonesia pada umumnya, membuatnya bisa melihat sampai ke pintu depan. Padahal ia berjarak sekitar hampir 50 meter dari pintu depan. Tinggi badannya 193cm. Lebih tinggi dari ujung tombak timnas Belgia, Romelu Lukaku yang 'hanya' 190cm. Saking tingginya, ia bahkan harus menunduk sedikit agar kepalanya tidak membentur papan booth bertuliskan 'Bourse d'études Française', Booth tempat Raina, pacarnya tengah bertanya-tanya tentang beasiswa.
Raina lah alasan Marvin berada di tempat itu. Dengan passionnya di bidang fashion design, Raina bertekad melanjutkan pendidikan di ESMOD, Paris. Sedangkan Marvin, ia tidak tertarik sama sekali dengan kata-kata "Menempuh pendidikan di luar negeri". Baginya, di Indonesia sudah cukup banyak jurusan-jurusan yang menjanjikan untuk lulusannya. Sudah banyak tawaran beasiswa jalur non pendidikan yang mampir ke kotak surat rumah dan surelnya. Kebanyakan lewat jalur olahraga basket, ini yang Marvin tidak suka. Setiap orang tinggi di Indonesia dianggap pemain basket. Marvin bahkan tidak bisa mengoper bola apa lagi menembak bola ke ring. Setiap pelajaran olahraga basket, ia hanya berdiri di dbawah ring basket, dan dijamin tembakan lawan tidak akan berhasil karena Marvin keburu melakukan blok. Tidak jarang juga ia ditawari masuk akademi militer. "Whaaatt???!!! big boy with -4 and -2,5 lens in front of his eyes and become a soldier?!!" Gak nyambit pisau lempar kearah instruktur yang dikira target aja syukur. Sejujurnya, ia agak harap-harap cemas dengan jurusan yang baru dimasukinya. Ia masuk jurusan akuntansi karena tuntutan Raina. Dalam tuntutannya, Raina mengiming-imingi Marvin dengan kata-kata "Nanti kamu bikin rumah mode, aku yang jadi desainernya.". "Is that bullshit?? Does she think I can make it?? Dunno... Even though I'm not interesting. Bahkan kalo gue pinter bisnis pun, gue milih buka warteg sama warung kopi ketimbang buka gituan." Begitu batin Marvin menyanggah setiap Raina menjanjikan angin surga yang padahal cuma angin kentut.
Namun baginya, Raina is absolute. Tak terbantahkan. Kalau dibantah, ia bisa membantah balik. Hubungan tak sehat?? Entahlah. Marvin bahkan tidak mau memikirkan hal itu.
Saat matanya masih memperhatikan penampilan orang-orang yang rapi dan fashionable, seorang gadis bertubuh langsing, berambut panjang dikuncir kuda pun menghampirinya.
"Yuk, Say! Aku udahan." Raina menggandeng lengan Marvin.
"Oh... Iya." Marvin sedikit terkejut.
"Aku mau ke toilet dulu."
"Ya."
Marvin dan Raina berjalan menuju lorong kecil akses ke kamar kecil. Di tengah jalan, Marvin tiba-tiba mengerem. Matanya memperhatikan sebuah booth yang lebih sepi dari biasanya.
"Duuuhh!! Kenapa???" Tanya Raina.
"Enggak. Kamu aja yang ke toilet. Aku enggak." Gumam Marvin.
"Yaudah. Pegangin ini!" Raina memberikan sebuah goody bag berisi map berkas-berkas urusan besiswa miliknya dan segera menghambur ke toilet.
Saat Marvin melihat Raina sudah masuk ke toilet, ia berjalan sedikit mendekati booth sepi itu. Ia mengusap matanya berkali-kali untuk memastikan ia melihat gambar sebuah bola American football dan helmnya di papan booth itu. Tampak seorang pria bertubuh besar keturunan afro-america berada di booth itu bersama beberapa orang Indonesia.
"Hey, lil guy!! Are you lost?? Can't find your mom??" Sapa pria afro-america itu.
"You have a Football scholarships program??" Marvin agak berteriak lantaran ia tidak berani terlalu dekat karena Raina pasti akan marah jika ia bermain football lagi.
"Lamar!! People in our country isn't familiar with your greet!" Sanggah seorang gadis seusianya. "Halo kak. Mau nanya soal beasiswa futbol ya??" Tanyanya kepada Marvin.
"I... Iya." Ucap Marvin.
"Okay... Untuk beasiswa semua olahraga ada disini daftarnya." Gadis itu menunjukan daftar kampus di Amerika. "Kalo boleh tau, namanya siapa?"
"Marvin."
"Ooohh, aku Natasha. Panggil aja Nat." Sapanya balik. "mau milih kampus mana?"
"Southern California boleh. San Diego state juga boleh." Mata Marvin antusias melihat-lihat daftar kampus yang memiliki klub football yang cukup terkenal.
"Oh... Lamar!!! You'll gonna have a fresh meat!!" Ujar Nat pada Lamar.
"This guy??" Lamar memandang Marvin sambil menyeringai.
"Uh uh."
"Well, freshy... Lesson one in my team, we're have not place for a half guy." Peringat Lamar.
"Then you should quit once after I join your team." Jawab Marvin.
Tiba-tiba, Lamar tertawa terbahak-bahak.
"I like this guy!!! Hand's up bro!" Lamar mengangkat tangannya dan dibalas dengan high five oleh Marvin. "Lamar Jones... USC Trojans... Center... 6 feet 0.835 inch..."
"Marvin Wiranegara... UK Gorillaz... Wide receiver... 193 cm..."
"Hey man, sorry for mockin' you before... Just kiddin'.
"No prob..." Ujar Marvin.
Nat memberikan dua buah map dari kampus yang berbeda. Bukan hal aneh kalau Marvin dianggap unik oleh Nat dan Lamar. Karena kebanyakan, calon mahasiswa yang mengambil beasiswa disana kebanyakan mengambil jalur olahraga basket.
Marvin menengok sekali lagi kearah booth yang sudah 'menunjukan jalan' padanya. Lamar dan Nat tampak tersenyum kearahnya. Dari kejauhan, Marvin melihat Raina keluar dari toilet. Ia buru-buru memasukan map dari Nat dan Lamar ke tas slempangnya.
"Dah yuk... Pulang." Ajak Raina.
"Eh... I... Iya..."
"Kamu liat apa?" Raina melihat kearah mata Marvin melihat. "Ooohh... Udahlah... Kamu gak akan tertarik lagi kan??" Raina langsung menarik tangan Marvin saat tahu Marvin melihat kearah booth beasiswa olahraga Amerika.
Marvin agak tergopoh-gopoh menyeimbangkan irama derap langkah Raina yang sangat cepat – Lebih tepatnya Marvin sebenarnya mengerem langkahnya agar bisa melihat papan booth itu lebih lama. Matanya masih melirik kearah booth itu sampai mereka berdua keluar dari gedung tempat diseleggarakannya scholarships expo itu.
"Kamu kapan psikotesnya?" Tanya Marvin sambil memberikan helm ke Raina.
"Minggu depan." Ujar Raina. "Kamu gausahlah main-main football lagi. Gausah liat-liat beasiswa ke Amerika lagi. Lagian di Amerika gak aman."
"Emang Paris aman? Sepupuku kecopetan di Eiffel kok."
"Ya kan keliatan kalo turis. Kalo aku kan beda." Sanggah Raina. "Di Amerika tuh banyak geng-geng gitu lho."
"Gak ada bedanya sama preman tanah abang kan?? Bedanya mereka gak ada yang duduk di kursi pemerintahan aja." Sahut Marvin sambil mengenakan helm dan melangkah naik ke motornya.
"BEDA!!!" Raina menaikan suaranya.
"Ya... Ya... Ya..."
Raina pun naik ke motor Marvin dan mereka berdua melaju meninggalkan gedung itu. Sepanjang jalan, kepala Marvin berpikir keras akan banyak hal. Haruskah ia ambil kesempatan bermain football yang sudah ada di tangannya? Haruskah ia mengkhianati Raina? Apakah Raina mengizinkannya? Apakah orang tuanya mengizinkannya? Bagaimana jika ia mengalami culture shock disana? Bagaimana jika ia rindu rumah?
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LAST YARDS
Novela Juvenilmenggemari sebuah olahraga yang sangat jarang peminatnya di Indonesia tentunya sangat menyebalkan. Itulah yang dialami oleh Marvin Wiranegara, mahasiswa tingkat awal di Indonesia. menggemari olahraga American Football yang merupakan olahraga kebangg...