Bab 1: Balada Pukul dan Warna

45 3 4
                                    

Kemarin

~ Kaesta ~

BAB 1

Balada Pukul dan Warna

Sawulan mengerang. Hari ini, pagi menghampirinya terlalu cepat. Daun-daun yang berjatuhan di depan halaman seolah membawa serta serpihan waktu. Mencium air kolam. Berlayar hingga terantuk batu hitam dengan titik-titik putih yang indah. Wanita itu tak sadar bahwasanya sekarang sudah tanggal segini. Mungkin angin halus semalam diam-diam mencuri ingatannya, kemudian menipunya dengan bisik-bisik cantik hingga terlelap.

Ah, tetapi saat ini Sawulan sedang tidak ada waktu untuk memikirkan alasan angin melakukan hal tersebut. Tulangnya yang serasa dibanting-banting hingga remah melarang sang wanita merencanakan balas dendam. Esok, atau lain kali sajalah. Angin itu memang jahat. Boleh jadi ia kini tengah tertawa terbahak-bahak melihat kepayahan Sawulan. Perut menggembung besar. Peluh yang berlomba mencucuri dahi sampai leher. Kejangan otot-otot. Kesemuanya itu sepakat mengadakan reuni di raga Sawulan pada siang ini, jam segini. Tak patut bila Sawulan mengabaikan mereka. Tak guna Sawulan memberi perhatian pada hal lain.

"Tahan, Lan. Tahan!"

Yang diinginkan dan yang tak diinginkan Sawulan membaur padu. Beberapa di antaranya adalah suara pekikan burung gereja, suara gergaji mesin, dan suara mantap suaminya, Kresna. Oh, serta satu lagi kalau ia tak salah dengar: suara sabit malaikat yang bertudung hitam di pucuk daun pintu sana.

Dalam benak ia memprotes, Ya, Tuhan... jangan matikan aku sekarang. Untuk apa Kau suruh makhluk itu datang kemari? Orang-orang dari generasi sebelumnya -bahkan sampai sekarang- percaya bilamana mata yang telanjang sudah mendapati sesuatu tak familiar dibarengi ketidakteraturan degupan jantung, maka itu berarti sedang dibukakan jembatan dari sini ke sana oleh si ini dan si itu.

Tetapi Sawulan tak mau percaya. Kemarin ia telah membuat janji pada merpati untuk memberi mereka makan lagi di hari Jumat. Kemarin pula, ia mengadakan perutangan sekian rupiah pada wanita tua di hadapannya, Mbah Masah, yang lagi bersusah-susahan membantunya bersalin. Kemudian pada tuan bapak dan tuan ibunya di seberang jalan, masih tertinggal budi yang harus ditebus. Sejak kemarin-kemarin.

Cerah sekali kiranya jagat. Tidak kurang dari sepuluh layang-layang milik bocah-bocah sebelas tahun memenuhi kerongkongan cakrawala. Adegan yang bakal jadi masa lalu di beberapa waktu mendatang. Ingatan tentang cuitan senang-senang. Penghabisan rasa ceria dalam hati supaya nanti petang dapat kenyang perut oleh nasi, juga lena kepala oleh bantal-bantal empuk. Bagaimana yang seperti ini tidak membuat Sawulan ingin berlama-lama menghinggapi dunia sekalipun orang-orang kerap menyebutnya fana? Tentu saja Sawulan memaklumi akhirat. Paling tidak kelak, ketika usianya mencapai angka di atas tiga. Bukan saat ini. Sumpah demi apapun, bukan sekarang.

Ketika langit menghangat, pada akhirnya muncullah nyanyian yang Sawulan beserta suaminya tunggu-tunggu. Senandung paling indah, lebih dari orkestra kodok ngorek ataupun jangkrik dengan gitar termerdu di mana pun di seluruh pelosok bumi. Pekikan nyaring nan lega, meneduhkan jiwa dari tetesan hujan di pelupuk mata. Tangisan seorang bayi mungil, darah daging, separuh jiwa yang akan memanggil Sawulan "ibu", dan Kresna "bapak".

"Akhirnya, Allah...! Akhirnya anakku...!" Bapak sang anak menjerit-jerit, tak kuasa menahan pancuran syukur.

Sawulan mengembus napas. Remuk tulang tak lagi terasa. Gerah-lelah diseret pergi jarum jam dinding. Tiga orang di sana tersedu bahagia. Bahagia. Sungguh bahagia. Sebahagia kumbang jantan melihat kuncup bunga mekar. Namun yang berdiri di ambang pintu masuk masih melotot. Ada yang terlupakan. Sesuatu yang sengaja didustakan.

KemarinWhere stories live. Discover now