Bab 3: Seperti Rumput di Tepi Jalan

11 2 0
                                    

Kemarin

~ Kaesta ~

BAB 3
Seperti Rumput di Tepi Jalan

Biarkan aku mendengarkan lagu itu sekali lagi
Melihat jarum jam yang terus bergerak, hatiku seakan ingin meledak
Di pekarangan, tidak ada lagi kucing yang mengejar tikus
Lantai kamar mandi menjadi semakin dingin
Biarkan aku bermimpi tentangmu selamanya
Kau tahu, sedihnya ini lebih dari pesta ulang tahun tanpa tamu
Tanpa kado
Dan aku hanya sendiri, mengiris kueku.
Kau tidak ada lagi.
Kau tak akan pernah berdiri di sampingku lagi.

Udara pagi sangat dingin menusuk. Bulu kuduk Biru berdiri. Dia masih enggan menerima pelukan hangat sang ayah. Cuma tangan mungilnya yang tertaut dengan tangan besar Wektu. Sementara Haridia merapatkan selimut bayi yang tengah ia gendong. Jejak air mata tampak nyata di seluruh pipi wanita itu. Memang buruk. Kondisinya sangat buruk. Tetapi kondisi Sawulan adalah yang terburuk sekarang.

Jemari Sawulan seperti tidak bisa rapat lagi. Kesepuluh-sepuluhnya ditarik tanah. Digoda batu-batu. Dibelai kelopak bunga. Ada yang terasa sakit: hatinya. Seharusnya dulu ia tak usah belajar membaca, supaya tak dimengerti olehnya tulisan apa yang tertera di nisan itu. Belum sempat ia mengucap salam walau tak mau juga. Semua seperti omong kosong. Kresna tak pernah memberinya kalimat perpisahan kecuali untuk kembali.

“Jadi, apa yang salah? Apakah saya berharap terlalu banyak?” Sawulan bergumam sendiri. “Sehingga kamu menolak untuk mengabulkan, mas?”

Sayuran di rumah masih tersisa banyak. Siapa yang akan menghabiskannya? Kopi di rak masih berbelas-belas bungkus. Siapa yang akan meminumnya? Gitar dengan senar yang utuh, masih tersimpan di kamar. Siapa yang akan memainkannya? Perasaan Sawulan terluka. Siapa yang akan mengobatinya? Dan bayi perempuan yang mengawang di atas kuburan itu masih belum bisa berbicara. Siapa yang akan dipanggilnya “bapak”?

Haridia menatap wajah bayi dalam dekapannya. Begitu tenang dalam lelap. “Maaf, Wulan. Ini semua salahku.”

.

.

“Kresna?”

Setelah keraguan atas pertemuan tak terencana, Haridia kembali diragukan oleh jalan nasibnya di masa ini dan itu. Apakah ia dikutuk? Dengan hati besar ia berlari menghampiri mobil yang dari jauh sudah kentara warna apinya. Sangat kuning. Selaras dengan nama belakangnya, Jenar. Bukan merah, jingga. Bukan biru.

“KRESNA--!!!” Haridia menjerit kencang. Tenggorokannya sampai sakit. Terlihat di matanya kini tubuh Kresna yang terbakar sebegitu. Darah di mana-mana, bercampur dengan bau-bau yang mengerikan.

Massa kemudian datang menggeruduk. Teriakan “kebakaran” adalah jadi yang pertama keluar dari mulut mereka. Kemudian dengan air, mereka kembali lagi, menyiramkannya secara sembrono pada badan mobil. Tetapi beberapa kali mungkin memang sedang sial, api itu tidak padam, malah makin membesar.

Mbah Masah yang berdiri di samping Haridia mematung, tak dapat berbuat apa-apa. Sementara Haridia sendiri menangis tak tertahan. Lututnya ambruk.

******

Pintu rumah sakit terbuka lebar. Tandu yang mengantar Kresna diseret secepat mungkin menuju ruang perawatan. Keadaannya terlampau parah. Haridia tidak dapat menebak, apakah mata kiri Kresna itu masih hitam seperti sedianya. Mata yang sekelam langit malam.

“…Dia….” Serak-serak.

Haridia spontan menancapkan pandangannya menembus angin yang kalang-kabut di depan wajah Kresna. Lelaki itu masih bernapas. Nyawanya hangat, merasai Haridia.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 31, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

KemarinWhere stories live. Discover now