Bab 2: Pengkhianatan Siang Yang Lain

30 6 6
                                    

Kemarin

~ Kaesta ~

BAB 2

Pengkhianatan Siang Yang Lain

Kosong. Sepanjang jalan nampak sepi hingga cuitan burung menggema. Terik sekali kiranya saat ini. Sudah jam berapa? Namun begitu, masih ada sepoi yang membelai-belai hangat.

Topi yang dikenakan Kresna agaknya sedikit robek di bagian pucuk. Mengindikasikan apa itu lantas? Tentu saja bahwa dia berasal dari golongan penduduk dengan ekonomi rendah. Baju yang dipakainya pun tidak selalu sedap dipandang. Kesukaannya jatuh pada jaket jeans yang warnanya sudah hampir pudar. Tidak ada yang perlu dipertanyakan. Kresna tak suka membudaki diri dengan tren fesyen. Lagipula di umur segini, apa yang bisa didapat dari bidang itu?

Tubuh jangkung Kresna tidak semata-mata menjadikannya mudah. Bahkan jenggot tipis dan bola mata yang sekelam malam tanpa bintang itu. Satu-satunya yang bisa diandalkan Kresna adalah pemikirannya. Pemikiran yang selalu kritis. Seolah, semua kebagusan pada raganya tidak membuat kemudahan apa-apa dari segala segi kecuali membuat hati wanita terpikat. Karena dengan pemikirannya, Kresna dapat berjalan hingga kini. Karenanya pula, Kresna dapat melihat lebih banyak bentuk wajah yang tersebar di dunia. Karenanya lagi, Kresna dapat merasakan kebaikan dari orang-orang tulus. Karenanya, Kresna dapat mencintai Sawulan. Dan ia merasa beruntung.

Setelah selesai membuat kesepakatan dengan pakde soal cuti, Kresna pergi menuju kediaman Mbah Masah. Pemandangan di kanan-kiri begitu indah, sebab sungguh, tidak yang lebih menyenangkan hati lelaki itu ketimbang suasana kental alam. Sedari kecil, jiwa Kresna telah ditawan oleh kisah mengenai pohon-pohon tua yang membuat jarak rumah jarang-jarang. Kadang-kadang juga oleh tanah gembur yang diselingi pecahan batu beton. Dan ia sangat suka, sangat suka, kepada para abang yang bercengkerama bersama suara gitar di kursi lebar halaman belakang.

Rumah Mbah Masah memiliki semua itu. Kenangan saat Kresna masih bocah seakan ditarik paksa- membuat senyumnya terulas tipis. Pria itu lantas menurunkan topinya menutupi mata. Kresna ingin tertawa, tetapi mana dapat? Bisa dikira orang gila dia tertawa sendiri di tengah jalan.

Roda troli yang didorong Kresna berputar belum berhenti. Beras ini, meski cuma satu sekarung tanggung, tidak boleh diremehkan.

******

Mata kosong Haridia menerawang ke depan. Macet. Terhampar pemandangan berpuluh atau bahkan mencapai seratus sekian kendaraan di jalan. Di perjalanan pulang ini, mengapa betul ia harus mengalami kondisi demikian? Ayolah, Haridia sudah cukup lelah berurusan dengan segala tetek bengek kantornya tadi. Matahari yang gigih memanjati langit seakan sengaja memperburuk keadaan dengan mengirimkan hawa panas melewati celah-celah mobil. Gerah sekali. Ia tidak tahu mengapa, pendingin mobilnya serasa tidak berfungsi.

Haridia ingin tidur memeluk anaknya. Segala kegiatan dari hari kemarin hingga hari-hari ke depan rasanya terlalu rapat- tak berjarak. Sedikit pun longgar, tidak. Sebagai manusia biasa, wajar bila ia merasa pusing. Belakangan ini hatinya juga memang sedang tidak enak. Kadang-kadang ia berpikir mengenai bagaimana jadinya kehidupan di dunia ini bila orang-orang hanya punya cinta. Ya, bagaimana? Pasti kacau. Maka dari itu, didasari pemikiran demikian, Haridia selalu berusaha untuk menerima adanya aktivitas sosial sejauh masih bisa dikatakan manusiawi. Cinta bisa saja berkhianat. Lebih parah lagi, cinta bisa bertepuk sebelah tangan.

Perlahan muncul ingatan masa lalu wanita paruh baya itu mengenai cinta. Haridia pernah sangat mencintai. Tetapi bukannya ikrar ataupun janji, yang muncul di tengah-tengah hubungannya malah kata "selamat tinggal". Haridia tak menampik perpisahan akan terjadi di antara mereka kelak. Sayangnya, Haridia luput memasukkan perpisahan yang diakibatkan campur tangan manusia, sebab yang selalu ada di benaknya adalah perpisahan perkara ajal.

KemarinWhere stories live. Discover now