"Aku memasuki ruangan tempatku tergeletak tak berdaya, memandangi setiap sudut berharap setiap orang mampu melihatku, namun itu semua hanyalah angan-angan belaka. Mungkin aku akan menyukai tempat ini, tapi entahlah pikiran ini masih kosong- Mawar"
Dalam keadaan hening yang menusuk dan melemahkan semangat, gadis itu terdiam. Ketika sepintas dia mengedarkan pandangan ke segelintir orang yang berdesak-desakan di rumah sakit itu, setiap wajah yang muram mencerminakan kekhusyukan, tetapi satu-satunya yang bisa dia pikirkan adalah mereka menyimpan harapan bagi orang yang mereka cinta.
Mungkin seharusnya gadis itu memikirkan semua hal yang ingin dia katakan. Semua hal yang tak mampu dia utarakan. Dan semua hal yang tak sempat dia suarakan. Tapi dia tidak melakukannya. Iya. Itu karena semua hanyalah sia-sia belaka. Mereka tak mampu menyentuhnya bahkan melihatnya. Baginya, dia hanyalah kekosongan belaka.
Ruangan rumah sakit yang tidak begitu besar itu mulai dipenuhi orang-orang yang sedikit dia kenal. Tubuhnya menyingkir pada pojok kiri sebuah karpet berbulu kasar yang ia pijak. Mungkin, sebatas tubuhnya, terkulai lemas yang mampu menariknya untuk saat itu. Sungguh menyedihkan.
Gadis tersebut menekan tubuhnya semakin rapat ke dinding, mencoba melebur. Bau obat-obatan dan infus mengambang di sekelilingnya memenuhi indera penciuman miliknya. Sambil meletakkan satu tangan di punggung, gadis tersebut mengulurkan tangan lain untuk menyentuh kertas dinding berpola bunga sepatu. Rasanya begitu kasar dan bergelombang, dan kertas itu menutupi setiap sentimeter ruangan yang ada dihadapannya.
Disampingnya, lukisan-lukisan yang nampak pucat menghiasi setiap dinding, tergantung pada kawat emas yang mencolok. Pintu keluar ruangan itu membawanya pada sebuah lorong lobi. Lobi itu tampak usang. Maklum saja, rumah sakit itu adalah sebuah rumah sakit bekas penjajahan Belanda yang masih terpakai hingga saat ini. Tidak salah jika nuansa rumah sakit tersebut tampak menakutkan dan kuno.
Gadis tersebut berjalan menjauh dari lorong menuju pada sebuah bangku tua di dekat taman yang dipenuhi oleh rerumputan liar. Badannya terbaring memandangi langit-langit hingga seberkas cahaya pertama menerobos ke dalam kornea matanya. Tanpa benar-benar tahu tujuannya, dia hanya terdiam kosong tanpa memikirkan apapun.
Sebuah kursi model kuno dari besi tempa, dengan dudukan kayu, terletak tepat disamping sebuah pohon mangga. Kursi itu tampak menunggu orang-orang untuk mendudukinya. Namun, nihil. Sebatas gadis bergaun merah seorang.
"Akankah aku mampu menjalani hidupku seperti sedia kala?"ucapnya tanpa ada seseorang yang mendengarnya.
Dahan pohon mangga itu berayun, yang dia anggap sebagai jawaban iya.
"Tempat ini indah"ucap seorang laki-laki pada gadis tersebut. Dia bahkan tidak mengetahui kapan Ame ada di sampingnya.
"Aku tahu. Kau pasti belum pernah di tempat ini. Tapi, aku yakin kau akan menyukainya" ucapnya sekali lagi.
"Kau tahu Ame, bahkan aku tidak menyukai rumah sakit ini. Begitu menakutkan dan tampak kuno" katanya pelan.
"Lihatlah sebatang pohon mapel raksasa yang ada di belakang kita, dan bayangannya menaungi sepanjang rumput liar ini. Sekarang sebagian daunnya mulai berubah warna, dan itu benar-benar menakjubkan"ucapnya seraya memandangi daun-daun di atasnya.
Angin berembus, dan gadis bergaun merah tersebut terdiam, sedangkan laki-laki di sampingnya sebatas memandanginya. Angin itu meraung di sekitar mereka, memperdengarkan suara erangan menyeramkan. Mungkin lebih terdengar menyedihkan daripada menakutkan.
"Lalu, apa yang kau pikirkan, Ame?" ucapnya pada laki-laki di sampingnya.
Laki-laki tersebut hanya terdiam tanpa bersua, memandangi wajah gadis di sampingnya, dan mengatakan, "Aku akan menjagamu".
Dipandangnya, gadis tersebut terdiam, pipinya tampak memerah sebelum ia mengucapkan, "Jadi, apa kesimpulannya?"
Gadis tersebut kini terdiam menunggu kata-kata yang mungkin akan keluar dari mulut laki-laki tersebut.
"Aku akan pergi" ucap laki-laki tersebut.
"Kemana Ame?" gumamnya.
"Pemakaman"ucapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ame, Where are You?
Storie d'amoreMalam itu begitu pekat, sunyi, dan tidak ada sumber cahaya di matanya. Entah, apa yang sedang dipikirkan perempuan bergaun merah itu. Ada sebuah lilin di pangkuannya. Dia menatap kosong sekitar sampai bayangan laki- laki datang menghampirinya. "Ame...