Melalui tirai yang terbuka, Pramudya mengintip bulan sepotong di luar sana. Pekat malam semakin nyata dan hanya sesekali kendaraan yang melintas di jalanan. Angin malam pun tak terlewat ikut menciptakan suasana syahdu, melalui gerakannya yang meliukkan daun-daun pada pepohonan.
Pramudya menutup tirai, membalikkan badannya dan menemukan pelupuk Riana mengerjap-ngerjap. Perlahan-lahan, sepasang bola mata itu mulai terbuka.
"Syukurlah, kamu sudah siuman." Pramudya mengurai senyumnya.
Riana malah meringis seperti menahan sakit. Sejak membuka mata, peluhnya memang terus bercucuran. Hawa panas terasa menyergapnya padahal pendingin di ruangan yang didominasi serba putih itu berfungsi cukup baik.
"Masih sakit?" Pramudya membenahi letak selimut yang tersingkap oleh gerakan kecil kaki Riana.
"Sakiiiit ... kenapa perutku---terasa disayat-sayat?" Sudut mata Riana meluncurkan bola bening.
"Tahan ya. Aku panggil suster dulu."
Punggung tegap milik lelaki itu menghilang di balik pintu. Tidak lama kemudian, ia kembali bersama seorang perawat dengan nampan stainlessnya yang berisi peralatan medis.
"Selamat pagi, Bu Riana." Perawat itu mengangguk seraya mengurai senyumnya.
Riana tidak menjawabnya. Hello! Sejak kapan lu jadi anak gue.
"Ibu jangan khawatir. Saat anestesinya habis, otomatis sakitnya akan terasa." Perawat itu memasangkan sarung tangan pada jari-jarinya.
Riana sudah tidak peduli dengan penjelasan perawat. Ia merintih lagi untuk menarik atensi perawat, agar segera melakukan sesuatu.
"Saya akan memasukkan obat antisakit melalui injeksi intravena. Mungkin ini akan terasa menyakitkan. Tetapi nanti setelah obatnya bereaksi, sakitnya akan berkurang kok." Perawat itu menarik piston pada alat suntik.
Perawat bernama Mitha yang Riana baca sekilas pada emblem di seragam dinasnya itu, mengusap-usap pembuluh darah vena. Kemudian mendorong obat antisakit melalui lubang infus yang terbuka di bagian urat nadi. "Rileeeks ... tarik napaaas ...," ujarnya seperti sedang memandu ibu hamil yang hendak melahirkan.
Nyesss ....
Riana merasakan sesuatu yang dingin menyakitkan, mendesak masuk tepat di urat nadi. Pelupuknya sampai terpejam karena menahan sakit.
Pramudya tidak berhenti mengelap peluh yang bercucuran di sekitar wajah pucat Riana dengan sapu tangan. Tangan kanannya silih berganti antara mengelap keringat dan mengipas-ngipas wajah oval gadis itu dengan selembar kertas karton yang ia temukan di meja.
Perlahan-lahan, rasa sakit yang diderita Riana hingga mengeluarkan keringat dingin dan air mata itu mulai berkurang. Perawat yang menanganinya meninggalkan seulas senyum santun sebelum berlalu. Senyum formal khas pelayanan hasil pelatihan, tentu memberikan sugesti pada pasien, bahwa apa pun yang dilakukan tim medis merupakan tindakan terbaik untuk pasien.
"Aku kenapa, Pram?" tanya Riana setelah sakitnya benar-benar hilang.
"Semalam kamu pingsan," jawab Pramudya singkat.
"Terus sekarang Ibu di mana?"
"Ibu pamit pulang dulu. Ada yang harus diurus, katanya."
"Urusan apa, sih?"
Gadis itu mencoba bangkit dari pembaringannya, namun gagal karena bagian perutnya terasa sakit saat bergerak. Tangan Pramudya terulur, menyentuh bahu Riana untuk membantunya berbaring lagi.
"Kamu masih sakit. Istirahat dulu, ya," ujar Pramudya lembut.
Gadis berponi itu menatap Pramudya secara saksama seolah bertanya, apa gerangan yang terjadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandung Riana
General Fiction[18+] bijaklah dalam memilih bacaan. Bukan kisah wow. Bukan juga religi, tetapi dikemas dengan tidak meninggalkan keseharian kita semisal ibadah. Hanya kisah perjodohan. Semoga saja berakhir manis. Selamat membaca. Gadis labil bernama Riana harus me...