Bag 6. Gagal Lagi

523 59 109
                                    

Sinar mentari yang menerobos melalui  jendela, berhasil membuat Riana terjaga dari tidurnya. Perempuan itu mengucek pelan matanya. Sesaat, ia dihinggapi perasaan ganjil, sebab seingatnya tidak mungkin sang ibu membuka jendela dan memasukkan cahaya matahari yang jelas-jelas akan menggangu ritual istirahatnya.

Tatapannya langsung tertuju pada piama yang tergantung di kapstok. Jelas, piama itu bukan miliknya.

"Ya ampun!" Riana menepuk jidat, teringat akan kehadiran anggota keluarga baru.

Kemudian, ia bangkit dari pembaringan dengan sangat hati-hati. Terbiasa dibantu Pramudya selama di rumah sakit, membuatnya cukup kehilangan saat laki-laki itu tidak ia temui di kamar. Pascabedah yang menyisakan sayatan sepanjang dua belas sentimeter, membuat Riana harus merasakan kaku dan sakit di perutnya setiap kali bangun dari tidur.

"Pram," panggilnya dengan suara parau---khas bangun tidur.

Ketika tidak ada jawaban dari dalam toilet,  ia memutuskan memutar kenop pada pintunya. Alis yang seperti semut beriring  itu mengangkat sebelah saat menemukan ruang privasinya  kosong.

"Aneh. Jangan-jangan dia kabur," gumamnya.

Riana menggembungkan pipi saat menyadari tubuhnya masih  berpakaian lengkap. Ia lalu melangkahkan kakinya yang jenjang, keluar kamar menuju dapur yang terletak berseberangan dengan paviliun.

"Bu, Pram ke mana?" tanya Riana pada ibunya di dapur.

"Kamu itu sudah jadi seorang istri, Rian. Harusnya kamu bangun lebih awal." Lestari menutup keran di bak cuci piring.

"Iya, Ibuku yang cantik," rayu Riana. "Lagian siapa bilang aku jadi suami?" gumamnya kemudian dan untung, Lestari tidak mendengarnya.

Selesai mengelap tangan, Lestari memutar tubuh dan ekspresinya seperti melihat makhluk tak kasatmata saat mendapatkan Riana masih dalam keadaan kusut masai.

"Ya ampun, ini anak! Jam segini belum mandi?"

"Rian kan masih sakit, Bu. Perut juga masih dilakban." Riana mencomot selembar tempe mendoan di meja.

"Tapi besok-besok jangan kayak gitu. Suamimu perlu dilayani. Tadi dia berangkat cuma berbekal teh manis doang, loh."

"Emang, dia pergi ke mana?" Riana mengunyah tempenya yang masih hangat.

"Proyek di Tangerang kebakaran, katanya."

Bibir tipis Riana membentuk huruf 'O' dalam menanggapi ucapan Lestari, seolah itu hal biasa terjadi. Ia lalu menarik kursi yang menjorok ke kolong meja. Sebelah kakinya dinaikkan ke kursi. Sementara kakinya yang lain dibiarkan berpijak di lantai. Bokong miliknya pun dengan sukses mendarat di sana.

"Katanya sakit, tapi duduk sembarangan kayak di warteg." Lestari menepuk sebelah paha Riana yang terlipat.

"Awww ... sakit."

"Kamu itu sudah seperempat abad, Rian. Tapi kelakuan kamu masih kayak anak baru gede."

"Umur disebut-sebut melulu. Banyak kok perawan tua berseliweran di kantor Rian, tapi mereka biasa aja, tuh. Umur baru 25 aja udah disuruh kawin."

"Ini nih yang membuat ayahmu cepet-cepet pengen punya mantu. Supaya ada yang bantu mendidik mulut anak gadisnya."

"Mulut aku kenapa? Sebenarnya aku cantik. Setidaknya kaca bilang demikian." Riana menyengir.

"Tapi tetep aja enggak punya pacar. Ngakunya doang lagi deket sama dokter."

"Ah, si Jose lagi sibuk mengejar cita-citanya," kilah Riana.

Senandung Riana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang