Bagian 18

255 19 44
                                    

Pramudya mencari-cari bahan makanan yang sekiranya bisa dimasak. Sayangnya, tak ada satu pun yang ia dapat di kulkas, kecuali sepotong keju dan selai bersegel. Ia tersenyum maklum dengan kebiasaan sang istri yang belum juga terjun ke dapur sepanjang pernikahannya. Sepasang bola matanya beralih ke penanak nasi, tetapi desah kecewa berembus setelah melihat lampu indikatornya mati.

Di saat harapannya mulai pupus, tangannya malah terulur membuka pintu kabinet. Terlihat olehnya, mi instan berbagai rasa berjejer manis. Terlebih melihat si hijau rasa soto lengkap dengan irisan tomat dan telur, membuatnya menelan air liur berkali-kali. Selagi menimang-nimang si hijau, terdengar derit pintu yang mengalihkan perhatiannya.

"Pram!" Riana melempar sesuatu ke sofa.

Meskipun Pramudya sudah memberikan kabar akan pulang malam itu, tetap saja Riana seperti tak percaya. Hanya perasaan gengsi yang membuatnya masih terpaku di tengah ruangan.

"Kamu lama banget di sana."

Pramudya mengalah dengan bergerak beberapa langkah, membentangkan kedua tangannya dan merengkuh Riana.

"Kamu kangen ya? Sering-sering ah ninggalin begini. Jadi enak dikangenin terus."

"Enak aja." Riana menginjak kaki Pramudya dengan keras.

"Suami pulang, bukannya disambut, kok malah disiksa. Kena pasal."

"Habisnya kamu nyebelin."

Terkadang, terselip rasa bersalah karena hatinya masih teringat Jose, sosok lelaki yang pernah membuatnya kepayang. Namun, berdekatan dengan Pramudya, semuanya seakan sirna. Tidak ada Jose, tidak ada siapa pun dalam hatinya.

"Mau masak mi?"

"Kamu mau?"

"Aku udah beli nasi goreng di depan."

"Buat aku?" Pramudya menunjuk dirinya sendiri.

Riana mengangguk---merasa berguna, lalu melepaskan diri dari pelukan Pramudya. Ia mengambil bungkusan yang tadi dilempar ke sofa.

"Wah, Alhamdulilah."

Pramudya bergegas mengambil dua buah piring dari kabinet. Tak lupa ia mematikan sakelar yang terhubung dengan lampu utama di dapur, tetapi membiarkan lampu gantung di atas meja tetap menyala. Senandung kecil pun meluncur dari bibirnya.

"Ceritanya candle light dinner." Tubuh Riana berputar-putar di kursi bar.

"Yeah, apa pun itu, semoga istriku enggak cemberut lagi."

Disindir begitu, Riana malah semakin menjadi, memajukan bibirnya beberapa sentimeter. Jari-jari lentiknya tak kalah aktif menggeser layar ponsel di meja, membuka satu persatu status di WhatsApp. "Tumben, Neni bikin status," gumamnya.

"Kenapa, Sayang?" Pramudya melepas karet gelang di bungkus nasi goreng.

Riana menggeleng, tetapi bola matanya bergerak naik turun. Terkadang menatap ke arah Pramudya, lalu kembali ke ponsel dan begitu seterusnya.

Sementara Pramudya masih sibuk menata kertas nasi berwarna cokelat itu untuk ditumpangkan langsung di  piring. Aroma yang menguar dari nasi goreng itu demikian menggoda.

"Sayang, tadi yang karetnya dua mana ya?" Pramudya menggaruk kepalanya.

"Pram, jangan bilang ... kamu kenal ...."

"Kamu cobain dulu, mana yang level sepuluh?" Pramudya menyodorkan kedua piring yang sudah terisi nasi goreng.

"Pram!" seru Riana tegang.

Pramudya menatap Riana. Ia ikut-ikutan tegang saat Riana menatapnya tanpa berkedip. Tetes-tetes keringat berjatuhan dari pelipis perempuan itu. Bisa terlihat, jari-jari tangan Riana mengepal.

"Ini siapa, Pram?" tanya Riana berusaha tenang.

"Apa, Sayang?"

Pramudya terperanjat saat Riana menyodorkan sebuah foto di status WhatsApp. Meskipun pengambilan foto itu dari belakang, Pramudya jelas hafal postur dan baju yang dikenakan laki-laki dalam foto itu.

Jika saja dalam kondisi berdiri, bisa dipastikan lutut Riana tak kuat menanggung tubuhnya yang mendadak lemas.

"Maafkan aku," bisik Pramudya lirih.

Kemeja kotak-kotak itu membuat Riana tertohok, ditambah dengan pernyataan Pramudya. Riana berlari ke kamar dengan isak tangis yang semakin menggunung.

Pramudya hanya menatap pilu melihat betapa hancurnya Riana. Lelaki itu duduk menekur dengan tak kalah kacaunya dari Riana. Sesal karena tak sempat mencegah itu. Sesuatu yang akan siap meledak kapan saja tanpa ia kehendaki. Isu perselingkuhan itu semakin membayanginya akan perceraian setelah ini. Ia yakin sekali Riana akan menolak kenyataan itu.

Sekali lagi Pramudya meraup rambutnya dengan kedua tangan yang basah oleh keringat dingin. Begitupun dengan badannya yang mulai berpeluh. Tak lama, pintu kamar terbuka.

Riana menarik koper. Wajahnya kusut bukan main. Jejak air mata masih membayangi wajahnya.

"Aku mau pulang." Riana memalingkan wajah.

"Ini rumah kita, Sayang." Pramudya bangkit dan hendak menggapai bahu Riana dengan tangannya.

Riana menepis tangan kekar Pramudya. "Jangan menahan aku. Aku enggak mau jadi penghalang hubungan kalian."

"Tidak malam ini. Aku tidak mengijinkan."

"Oh, ya. Kamu juga enggak minta ijin buat ketemu dia kan?" Tumpah lagi air mata Riana.

"Setidaknya setelah kamu tenang."

"Setelah kamu punya cara untuk mengelabui aku kan? Sejak awal kamu memang tukang bohong!" Riana menunjuk wajah Pramudya.

Pramudya kehabisan kata-kata. Lelaki itu memang pernah berbohong soal operasi pengangkatan rahim istrinya dan kali ini ia tak bisa lagi menutupi semua yang telah diketahui Riana. Terlepas itu benar atau tidak karena fakta membuktikan, dirinya yang berada di dalam foto itu.

Angin malam menerobos masuk saat pintu utama dibuka Riana dan Pramudya masih terpaku---shock. Ia baru menyadarinya setelah Riana kembali karena hujan tiba-tiba saja turun. Sempat lelaki itu mengucap syukur dalam hati. Pikirnya, hujan memang selalu membawa berkah.

"Aku mau tidur di luar!" Riana melempar tubuhnya di sofa bed."

Kali ini Pramudya yakin, kalau Riana hanya sedang merajuk.

"Kamu di dalam, biar aku yang di luar ya," ucap Pramudya lembut.

"Mau coba ngatur aku lagi?" Riana menatap sinis.

Kalau kamu di dalam, setidaknya aku tahu kapan kamu pergi. Pramudya tak sanggup melihat kesedihan yang membayangi kerasnya wajah Riana.

"Enggak. Aku cuma pengen nonton bola. Sama itu ... mau lanjutin makan nasi goreng. Sayang kan kalau enggak dimakan?" Pramudya masih mencoba menggoda Riana.

Riana bangkit dari sofa dan bergegas menuju kamar. Koper tetap ia biarkan di luar. Tak lupa ia juga membanting pintu sebagai bentuk protes atas rasa yang  terdalam ditoreh dengan paksa. Koyak lebih tepat untuk menggambarkan suasana hatinya saat ini.

Malamnya setelah hujan reda, Riana berjingkat menuju pintu utama. Ia melihat tubuh besar Pramudya telentang dengan dengkur halus. Sementara televisi masih menyala. Sisa kacang berserakan di lantai. Kopi yang tinggal ampas, sudah terisi oleh cicak yang sekarat.

Sekali lagi Riana menoleh pada Pramudya sebelum tangannya terulur menggapai handel pintu. Matanya memanas di beberapa detik terakhir.

***

Bersambung

Senandung Riana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang