Bag 2. Segaris Luka Dalam Surat

763 105 198
                                    

Pramudya membaca ulang tulisan pada selembar kertas itu sekali lagi. Tidak ada keistimewaan dengan deretan kata yang tertera di sana, kecuali sebuah nama. Jemarinya bergerak menandatangani formulir persetujuan tindakan medis yang akan menorehkan segaris luka. Tentu saja luka itu akan terus membekas seumur hidup. Bukan soal kemungkinan keloid itu akan tumbuh pada luka setelah operasi, tetapi lebih kepada mental Riana.

Kelopaknya mengerjap untuk menghapus kabut yang menghalangi pandangan mata, mencoba menghapus bayangan tentang Riana yang akan berkubang duka setelah ini.

"Ada yang mau ditanyakan mengenai ini, Pak?" Atensi staf itu tertuju penuh pada bibir Pramudya yang terkatup.

Sebuah pemandangan umum yang biasa ditemui pada keluarga pasien, apalagi ketika harus menghadapi operasi yang menelan biaya tidak sedikit. Pikir staf itu sambil melayangkan pandangan iba.

"Tidak ada, Mbak."

Iris hitam Pramudya lebih tertuju pada ponsel dalam genggaman. Di matanya sekarang, semua yang berhubungan dengan dokter, tidak lebih dari asisten jagal.

"Baik, Pak. Saya anggap Bapak mengerti poin-poin yang tertulis di sini. Silakan Bapak menyelesaikan administrasinya di sebelah sana."

Pramudya membalikkan badan, mengikuti jemari lentik berlapis kuteks yang menunjuk pada sebuah loket. Tanpa menunda, kakinya bergerak cepat menuju loket yang tidak jauh dengan cafetaria. Sebuah plang di bagian atas jendela tertulis dua bahasa yaitu kasir dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

"Selamat malam, Pak. Ada yang bisa dibantu?" Petugas berseragam hijau muda itu menyapa ramah.

Pramudya tidak membalas sapaannya. Diserahkannya surat pengantar dari bagian pendaftaran disertai selembar cek dengan nominal yang tak sedikit. Angka yang cukup fantastis jika menilik itu akan menghilangkan fungsi vital seorang perempuan. Lelaki itu enggan berkata-kata.

Setelah menyelesaikan administrasi, kaki berbalut celana hitam formal itu melangkah lebar menuju ruang ICU. Sesampainya di depan ruangan, terlihat dua orang perawat sedang berada di dekat Riana. Melalui kaca tembus pandang, Pramudya dapat melihat Riana yang terbujur di atas ranjang dengan peralatan khas ruang ICU. Alat-alat seperti infus, tensimeter otomatis, alat rekam jantung dan lainnya, menempel dari ujung kepala hingga kaki Riana.

Pramudya memasuki ruang ICU setelah melepas alas kaki dan menggunakan baju khusus, lengkap dengan masker yang menutupi mulut dan hidungnya. Baru terpikirkan olehnya bahwa masker bisa menutupi nestapa di wajah, menyamarkannya dari orang-orang yang menaruh iba.

Nampak di dalam bilik yang terbuka, dua orang perawat sedang memeriksa dan mencatat hasil monitoring yang biasa dilakukan setiap satu jam sekali.

Satu orang perawat bergeser, memberikan tempat untuk lelaki itu agar lebih dekat dengan pasien.

"Sebentar lagi pasien akan dibawa ke ruang operasi. Barangkali Bapak mau mencium istrinya dahulu. Itu baik dan bisa menguatkan pasien lho, Pak."

Salah seorang perawat berusaha mencairkan beku di wajah Pramudya. Paling tidak, raut wajah mereka lebih memberikan kesan simpati daripada iba.

Pramudya mengurai senyum dengan matanya sebagai ungkapan terima kasih. Lidahnya terlanjur kelu untuk menyatakan itu.

Berkat transfusi darah, wajah Riana sudah tidak sepucat tadi. Kondisinya terlihat cukup prima untuk menjalani operasi sehingga mengurangi kecemasan pada Pramudya yang terukir jelas di wajahnya. Ujung jari lelaki itu menyingkirkan jurai rambut yang menutupi sebagian dahi Riana dengan lembut. Bagai tersedot magnet, bibir yang terselubung masker itu menyentuh keningnya.

Pelupuk Riana yang terpejam, terlihat mengerjap beberapa kali. Membuat Pramudya berpikir untuk membatalkan operasi itu.

"Sus, sepertinya istri saya sudah melewati masa kritisnya." Pramudya tak melepaskan pandangannya dari Riana.

"Tanpa operasi, Ibu Riana akan tersiksa seumur hidupnya, Pak. Karena sewaktu-waktu, bisa saja kejadian yang sama akan terulang," jelas perawat di hadapannya.

Pramudya menelan kesedihannya lagi. Namun, ia segera mengangguk dan mencoba menghilangkan skeptisismenya.

"Kalau sudah, kami akan segera memindahkan pasien ke ruang operasi," ucap perawat satunya lagi.

"Kami akan mempersiapkan pemindahan Ibu Riana, silakan Bapak tunggu di luar," sambung rekannya sambil menutup jurnal yang terbuka.

***

Aroma pekat yang berasal dari obat-obatan, serta-merta menyapa indra penciuman Pramudya. Ruangan pemulihan pascaoperasi menjadi momok tersendiri buat Pramudya. Bagaimana tidak, beberapa pasien tampak seperti orang mati dengan mulut menganga. Selang kecil yang terhubung dengan dengan tabung oksigen, diduga kuat oleh Pramudya, merupakan penyambung nyawa sementara.

"Aku kenapa?" Suara lemah Riana mengudara.

Pramudya nyaris tidak bisa membendung kepedihannya. Terbata-bata, ia berkata, "Enggak apa-apa, Sayang. Kamu baik-baik saja."

"Napasku sesak." Suara Riana tenggelam dalam masker oksigen.

Pramudya berpaling ke arah perawat. "Sus, istri saya kesulitan bernapas," lapornya tegang.

Dua orang perawat yang berjaga, langsung memperbaiki selang dan posisi masker oksigen.

"Aku enggak mau nikah sama kamu," ucap Riana lirih.

"Ssst ... udah. Kamu istirahat, ya."

"Jose, kamu di mana?" rengek Riana setengah sadar.

Kesadaran Riana memang belum sepenuhnya pulih. Sebentar memanggil Jose, sebentar memanggil Pramudya. Ia meraung-raung dalam kelemahannya sehingga perawat meminta Pramudya untuk keluar dari ruangan.

Pantofel hitam di depan pintu masih menunggu si empunya dengan manis. Pramudya dengan malas memakainya, lalu keluar dari ruangan itu.

Di ruang tunggu, Lestari duduk dengan ekspresi cemas seorang ibu.

"Gimana keadaan Rian, Nak?" Lestari berdiri menyambut kedatangan Pramudya.

"Ibu kenapa ke sini? Bapak sama siapa?"

"Pram, apa kamu yakin menikahi Rian?" Air mata lestari terurai begitu saja.

Beberapa petugas medis tampak keluar masuk lift, tetapi sepertinya mereka sudah terbiasa dengan pemandangan itu sehingga tak terlalu peduli dengan sedu sedan Lestari. Meskipun demikian, Pramudya merasa tak enak hati. Ia segera membimbing mertuanya duduk di sofa.

"Pram sangat mencintai Rian, Bu. Makanya ketika Bapak ingin menjodohkan Pram dengan putrinya, Pram enggak nolak." Pramudya berlutut di kaki Lestari.

"Tapi Rian enggak bisa punya anak." Bibir Lestari bergetar menahan sakit di dadanya.

Pramudya mengusap lembut sudut matanya dengan saputangan yang ia ambil dari saku celana. Ia pun tak tahan untuk tidak menitikkan air mata, mengingat tak akan ada keturunan dari Riana.

"Pram mohon, jangan sampai ada orang lain yang tahu soal ini. Biarkan ini menjadi rahasia kita berdua." Pramudya menatap lekat perempuan setengah baya itu.

Lestari terguguk lagi. Sejurus, ia tampak berpikir. Kesepakatan memang tak terungkap melalui kata. Tetapi bahasa tubuh perempuan itu jelas mengisyaratkan, usulan Pramudya adalah solusi terbaik.

***

Hu ... Hu ..., sanggupkah mereka menjaga rahasia itu?
Ikuti terus ceritanya ya

Senandung Riana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang