Bag 4. Ada Yang Hilang

513 79 145
                                    

Waktu kunjungan sudah dibuka sejak jarum pendek pada jam dinding, berhenti di angka lima. Riana baru saja selesai mandi saat rekan kerjanya datang menjenguk. Rupanya perempuan itu masih malu-malu saat salah satu temannya berseloroh mengenai malam pertama yang tertunda. Tak urung wajahnya memanas, terlebih saat melirik ke arah Pramudya. Laki-laki itu melempar seringai yang membuat Riana jengah.

"Cepat sehat ya, Rian," harap Dana dari divisi finance.

"Iya. Biar cepet pergi honeymoon," sambung Rasya sambil mengurai tawa renyah bersama rekan-rekannya yang lain dari divisi logistik.

"Cie ... cie ... mandi bareng." Rena yang manis dari bagian operator ikut meledek.

Serangan senja dari rekan-rekannya, membuat Riana tak bisa lagi menyembunyikan semburat merah di wajahnya yang bersih.

"Apaan sih?" Tangan Riana mengibas di depan wajah Rasya.

Berbeda dengan Pramudya yang menanggapinya dengan derai tawa. Lelaki itu membiarkan teman-teman satu kantor Riana, mengoceh apa saja, asalkan perempuan itu tidak terus-menerus mengeluh tentang pernikahan mereka.

"Mas Pram, nanti mau punya anak berapa?" Vania mengerling ke arah Pramudya.

"Empat. Kalau Rian mau." Pramudya mengacungkan keempat jarinya.

Suasana semakin riuh dan pelan-pelan Riana mulai terbiasa dengan candaan mereka. Tetapi tak ada satu pun dari mereka yang menyadari, sepasang bola mata indah itu berkeliling menyapu ruangan. Helaan napas kecewa pun terhempas dari mulutnya, saat satu wajah yang ia rindukan, tak ikut menampakkan diri.

Celoteh mereka masih seputar pernikahan Riana dan masa bulan madunya yang tertunda akibat apendoktomi. Mereka sempat mengeluhkan Riana yang menyukai pedas dengan level paling tinggi. Pramudya terpaksa berjanji pada mereka, akan menjaga asupan makanan Riana setelah ini. Namun, janjinya tak urung membuat Pramudya kembali terhempas pada kenyataan yang sesungguhnya. Tidak akan ada anak empat yang ia bilang, saat Rasya bertanya. Bukan apendoktomi, melainkan histerektomi yang mengubur impiannya. Pramudya bergidik membayangkan suatu saat nanti jika Riana mengetahui rahimnya telah hilang.

Iris hitam milik Riana berkeliling lagi, barangkali ada yang terlewat. Jose memang tidak ia temukan di antara sekumpulan teman-temannya. Ah, barangkali nanti. Mungkin dia sibuk.

Sebagai dokter perusahaan, Jose terbilang cukup disibukkan dengan pekerjaan. Lelaki itu sering bekerja hingga larut dan terkadang pula, Riana menemaninya di klinik kantor.

Jose merupakan alumni di SMA tempat Riana sekolah. Ia datang tiap hari sabtu sore untuk  mengisi kegiatan palang merah remaja. Gadis manja yang sering absen dalam kegiatan ekstrakurikuler itu, menjadi lebih rajin sejak kedatangan Jose sebagai tamu istimewa di sekolah tersebut. Binar-binar asmara pun berpendar di hati Riana, namun ia tak mampu menunjukkan perasaannya pada pemuda keturunan Tionghoa itu.

Kemudian mereka dipertemukan kembali di universitas yang sama sehingga tidak heran jika hubungan Riana semakin dekat dengan lelaki berwajah oriental itu. Tentu saja Riana tidak sepandai Jose yang calon dokter. Riana lebih memilih fakultas ekonomi yang diminati sejuta umat daripada berurusan dengan kadaver di laboratorium. Tak sampai di situ saja, Tuhan seakan menjawab doa-doa Riana.
Sebagai seorang kontraktor yang memiliki banyak relasi, ayah Riana turut membantunya untuk bisa duduk menjadi salah satu staf di perusahaan tempat dinas Jose.

Riana tak henti mengurai senyum mengingat kebersamaannya dengan Jose, hingga tidak menyadari teman-teman yang datang membesuk, telah lama berlalu.

"Hei." Vania yang menyisakan diri di rumah sakit, menepuk pelan bahu Riana.

Senandung Riana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang