Bagian 23

421 21 21
                                    

Riana tercenung. Butuh waktu beberapa detik untuk memindai sosok jangkung yang berdiri tak jauh. Tempo berikut, terdengar suara lelaki itu bergulir pelan bagaikan buluh perindu. Masih dengan aksen pelafalan tidak sempurna yang telanjur Riana patri dalam angan.

"Hai, Anna ...."

Hanya Jose yang memanggil Riana dengan nama itu. Singkat dan tentu saja jauh lebih mudah buat lisannya yang masih belum bisa melafalkan huruf 'R'.

Kali ini, tak ada tawa yang bergulir dari bibir ranum Riana saat panggilan itu mengudara. Meskipun sering merindu pada Jose, ia berusaha membekukan diri. Pikirnya, kurang baik mengumbar kedekatan yang pernah ada. Dulu.

"Baik, Jose. Emmm ... Kamu balik ke sini?"

"Enggak. Aku hanya ngecek sesuatu di ...." Jose terdiam sesaat. Ragu, namun akhirnya melanjutkan kata, "Di sini."

"Oh, ya." Riana menepuk keningnya yang bersurai lebat. "Soalnya kamu enggak pernah bilang tentang putra mahkota Mr Kim."

"Kamu enggak tanya." Jose menggulirkan senyum.

Bukan seringai lepas seperti milik Pramudya. Masih senyum yang dulu. Sopan. Alakadarnya. Sempat Riana merutuk dalam hati, kala tersadar telah membandingkan kedua lelaki dalam hidupnya itu.

"Jose, maaf. Aku harus melanjutkan kerja," ujar Riana akhirnya. Ia tak punya alasan untuk tetap bertahan.

Tak ada kata yang lolos dari bibir Jose. Hanya mengangguk sopan disertai gerakan tangan, mempersilakan Riana untuk beranjak.

Ketukan sepatu Riana pun berima, memecah hening---meninggalkan aroma parfumnya melayang-layang di udara. Ia terus melangkah menuju kubikel tanpa menoleh lagi.

Semestinya, Riana senang dengan pertemuan itu. Miris, ia malah duduk dengan kedua siku bertumpu di meja. Diraupnya poni untuk dikebelakangkan. Acak pada surai hitam, tak lagi dihiraukan. Sementara monitor di meja, masih menampilkan layar pekat. Gairahnya seakan hilang. Barangkali benar yang dikatakan Manda, terkait profesionalisme kerja.

Teringat itu, sudut matanya kembali memanas, tetapi tidak ada cairan yang merembes. Sesak kian menggunung di dada. Jelas bukan karena kehadiran Jose. Tidak ada efek berarti---apalagi debaran seperti perkiraannya sebelum ada perjumpaan.

Riana menengadah untuk kemudian menumpukan punggung pada sandaran kursi. Tampak olehnya, Vania sedang berjalan di tengah lorong. Cepat-cepat Riana menyibukkan diri.

"Rian, ada kafe baru. Mau? Aku yang traktir." Vania tiba-tiba saja melongok dan melipat kedua tangan di dinding kubikel, tepat di depan Riana.

"Hah."

"Sudah, nanti sore pulang bareng ya."

Belum sempat Riana menjawab, gadis itu sudah berlalu meninggalkan senyum semringah. Tinggal lah, Riana melangah dan tak ada alasan menolak jika Vania sudah memamerkan cerianya.

*

Langit ditaburi bintang-bintang saat Riana dan Vania duduk lesehan di rerumputan. Selembar tikar karakter kartun sebagai alas duduk. Sementara meja pendek yang terbuat dari kayu jati belanda, seakan menjadi pemanis kafe outdoor tersebut.

Mereka memesan es kopi kekinian. Tak peduli malam sudah merambat dan silir angin pun mulai menerpa wajah, tak terkecuali rumput-rumput. Beruntung, hari itu Riana memakai celana panjang model kulot sehingga tak menyulitkannya duduk bersila.

"Ini enggak ada ee ayam 'kan?" tanya Riana basa-basi.

"Ih, kafe, gitu loh. Ngaco." Vania tertawa.

Bola mata Riana berkeliling. Bukan tempat sunyi. Tanah lapang itu diapit oleh deretan bangunan beraksen vintage. Hampir semua spanduk di tiap bangunan menawarkan konsep makanan yang tak jauh beda dengan bento atau pun resto. Namun, yang menjadi pemandangan menarik di sisi kanan adalah sebuah gedung berdiri sendiri. Cukup besar. Terdengar riuh tepuk tangan dan sorak-sorai dari dalam.

Beberapa hari tak bertegur sapa, membuat Riana sedikit canggung. Tatkala kehabisan topik, digigit-gigitnya ujung sedotan sambil menggenggam gelas berbahan plastik itu. Meskipun dinginnya batu es menyapa telapak tangan.

"Ih, kita kayak pasangan lesbi tahu."

"Aku juga milih kali."

"Ih, apaan sih?"

"Ya, kali aku milih cewek tukang ngambek. Curigaan." Vania tergelak.

"Van, maafin aku ya," potong Riana cepat.

Kedua alis Vania saling bertaut. "Maaf buat apa?"

Aroma barbeque melayang-layang tepat di lubang penciuman. Riana menghidu sejenak, lalu menyeruput es kopinya. Sengaja ia menjeda kata agar lebih luwes melepas kegelisahan hatinya. Juga emosinya yang tak terkendali.

"Banyak dan ... kamu pasti paham. Kita kan kembar sial." Riana menyeringai.

"Asyik. Berarti kamu yang traktir ya."

Riana mengacungkan ibu jari, lalu melempar pilus plus kuah bakso aci ke mulut dan mengunyahnya perlahan-lahan. Segar dari jeruk limo dan tentu saja rasa pedas mulai merecoki alat perasanya. Meskipun tak sepedas lisannya jika sudah menyangkut seseorang yang diduga perempuan idaman lain sang suami.

Mau tidak mau, hati Riana kembali teriris. Selera makannya menguap kala wajah perempuan itu terlintas. Ia meletakkan sendoknya dengan lesu.

"Boleh aku komen?"

Tanya yang bergulir dari Vania membuat Riana sedikit gelagapan. "Apa? Apa?"

"Ngelamun lagi ya? Tentang Pram?"

Ada jeda sejenak. Pandangan Riana jatuh pada seseorang yang keluar dari balik semak-semak. Kalau diperhatikan, lelaki itu keluar dari pintu besi dengan membawa senter. Sepertinya petugas keamanan. Mungkin sedang patroli.

"Aku perhatikan, akhir-akhir ini penampilan kamu lebih rapih"

"Masa?"

Vania mengangguk-angguk sambil menyeruput minumannya. "Kamu lebih cantik kalau begini."

"Begini gimana?"

"Rapih dan enggak seksi-seksi banget kelihatannya."

"Perasaan biasa aja."

"Sumpah." Jari-jari Vania membentuk huruf 'V'.

"Tetap saja, suamiku sudah diambil orang lain."

"Jadi gosip itu bener?" Mata Vania membelalak.

"Bukannya kamu yang menyebarkan gosip?" ucap Riana. Bisa dibilang, penyakitnya kumat.

Seketika Vania tersedak. Tangannya menggapai mencari tisu di meja. Cepat-cepat ia mengelap mulutnya. "Aku enggak tahu soal itu. Pulang dari Anyer, justru aku tahu banyak dari yang lain."

Tangan Riana mengibas ringan, lalu menyelipkan rambutnya ke belakang kuping. Daun telinganya terlihat lebih bersih ketimbang bagian tubuh lainnya yang terbuka. Model rambut Riana memang menutup hingga ke bagian pipi. Seperti menyembunyikan bagian yang ranum. Namun, lesung pipinya memukau saat ia tertawa ringan.

"Iya. Iya. Aku cuma bercanda," ujar Riana tanpa dosa padahal Vania sudah terlihat khawatir.

"Aku enggak tahu ya. Pengen aja rapih. Bisa jadi, si Pram emang jengah lihat bininya kayak gini. Buktinya, selingkuhannya berjilbab!" kata Riana lagi.

Tarikan napas lega tampak jelas pada raut wajah Vania. Terlebih saat dua lelaki dari gedung tadi keluar sambil menenteng tas olahraga.

"Loh, kamu undang mereka?" Mata Riana melebar.

Bersambung

Senandung Riana Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang