"Ka, ini kosong, kan?" Ray—dan teman-temannya—datang menenteng mangkuk yang terisikan dengan bakso komplit Cak Di, penjaja bakso di kantin sekolah kami. Tanpa menunggu jawaban dariku, Ray langsung duduk tepat di hadapanku.
Bukan Ray namanya kalau tidak melontarkan berbagai canda. Ray tertawa. Aku? Terdiam dan pandangi lamat-lamat ia. Matanya menyipit nyaris terpejam kala ia tertawa. Sudut bibirnya terangkat simetris. Rahangnya tetap terlihat tegas ketika tertawa. Suara tawanya terdengar sangat renyah. Ray menawan.
Iya, Ray menawan, aku tahu betul semua itu. Aku kenal betul dengan Ray. Kecuali tentang perasaannya itu.
"Kamu gimana, Ka?" Hah? Gimana apanya?
"Ehm.. gimana apa, Do? Kalian lagi ngomongin apa, sih?" tanyaku pada Aldo dengan raut kebingungan.
"Makanya kalau orang ngomong itu dengerin, jangan bengong ngelihatin si Ray terus, hahaha..!!" Aldo—dan seisi meja ini menertawaiku, tak terkecuali Gina, juga Ray.
Tak mau terus bungkam menahan malu, aku beranikan diriku membuka suara, "Ngapain juga aku dengerin kalian. Dari tadi kalian cuma ketawa nggak selesai-selesai."
Ray melihat ke mataku intens, "Siapa yang tertawa, Ka?"
YOU ARE READING
Reminisce
RomanceSatu benda kadang memiliki banyak fungsi. Seperti kata yang memiliki banyak makna. Atau seperti cerita yang memendam banyak luka.