Ini merupakan hasil revisi. Sebelumnya, revisi pertama banyak adegan yang kuhapus karena ingin lebih fokus pada Axela-Orion, tapi ternyata aku merasa jenuh tanpa ketiga sahabat Axela juga Orion. Jadi, yah beginilah.
Nb: Tidak berbeda sepenuhnya, hanya sedikit perubahan di sini.
---
Ini adalah ketiga kalinya ia menghela napas. Kedatangannya membuat tatapan-tatapan bengis itu menghujam kearahnya. Axela mencoba meredakan amarah yang bergemuruh di batinnya. Apa mereka tidak bosan?
Ia menyembunyikan tangannya yang terkepal ke dalam saku rok abu-abunya yang mulai memudar. Ah, bukan memudar lagi, setelan seragam itu memang sudah seharusnya di bakar.
Axela hanya ingin dirinya tidak terlihat. Saat kepindahannya ke sekolah ini, ia tidak mau orang-orang memandangnya, menjadikannya pusat perhatian. Tapi dengan seperti ini malah membuat Axela makin di kenal penjuru seantero gedung sekolah.
Fuck as hell!
Umpatnya kasar dalam hati. Sampai kapan mereka akan berbisik dan menatapnya seakan-akan ia adalah daging buruan yang lezat untuk mereka santap?!
Sudah hari ketiga Axela menginjakkan kakinya yang di balut sepatu buluk dengan ujungnya yang sudah menguning di sekolah ini. Sejak kedatangannya, mereka selalu menatapnya dengan tatapan sinis, tajam, bahkan bengis. Ingin sekali ia menampar para gadis sengak itu sampai tersungkur dan merengek menahan malu sendiri, atau meninju perut para cowok dengan lututnya sampai bertekuk lutut dan membalas senyuman iblisnya dengan tatapan tajam tanpa bisa berbuat apapun.
EXACTLY!
Pada kenyataannya ia tidak berani.
Pengecut? Oh, bukan. Ia harap tidak ada orang yang beranggapan seperti itu selain mereka para nona dan tuan yang haus akan penghormatan terhadap anak tertindas.
BUGH!
Bahu kanannya membentur seseorang. Gadis itu itu sampai tersungkur karenanya, membuat tumpukan kertas yang didekapnya berjatuhan.
Astaga, belum seminggu sudah mempunyai banyak musuh. Great!
"Lo nggak apa-apa?"
Axela mencoba mengeluarkan suara seramah mungkin, berjongkok untuk membantunya mengumpuli kertas-kertas yang berhamburan. Tak bisa dipungkiri, ia bukanlah orang yang pandai membuat topeng atau bersandiwara.
Axela tidak bisa membuat wajahnya terlihat ramah, seberapa pun ia memaksakan dirinya untuk tersenyum, kedua mata dan raut wajahnya juga tidak akan turut mewakili sunggingan yang terlukis di bibirnya selebar apapun itu.
Maka dari itu, ia mengerti mengapa gadis itu menatapnya tertegun saat ini. Dia tersenyum ramah, begitu manis. Bila Axela benar di takdirkan tercipta sebagai cowok, ia mungkin akan terpesona. Hal ini membuatnya teringat dengan senyuman yang teramat dirindukannya.
Ia hanya menyukai senyuman itu. Senyuman yang kini menghilang, membuat senyumannya turut memudar seiring berjalannya waktu.
"Baik."
Gadis itu tersenyum seraya berdiri. Tinggi gadis itu sedikit melebihi Axela dan terbilang ideal. Tidak seperti tubuhnya yang lebih kurus seperti tusuk sate yang menggiurkan...
Stop it, okay? Guraunya. Sepertinya ia lapar.
"Lo anak baru itu, kan?" tanya gadis itu basa basi, membuyarkan lamunan Axela yang tengah membayangkan berbagai makanan lezat dan apa yang ingin disantapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Clarity
Action[Private - hanya dapat dibaca oleh followers] Axela Devaza, gadis penuh rahasia yang kembali datang dengan wujud dan pribadi yang berbeda untuk sebuah penjelasan. Ia berencana untuk menjalankan semua rencananya yang telah terpikir matang dengan se...