Satu: Oh My God, He Smile at Me!!!

168 0 1
                                    

“Al, liat deh, Gavin main basketnya keren banget ya!!!” teriakku tak kalah heboh dengan suasana di lapangan indoor sekolah hari ini.

Pertandingan basket antar sekolah sedang berlangsung dengan serunya. Kali ini pertandingan berlangsung antara sekolah ku dan William McBurgzky High School. Gavin, sebagai kapten di tim basket sekolah ku bermain sangat memukau, bukan hanya karena rupanya yang tampan, tapi juga permainan basketnya yang luar biasa hebat.

Skor sekolah kami tertingal 2 angka dari WMHS. Para pemandu sorak tak henti-hentinya menyemangati para pemain dari pinggir lapangan. Kali ini Finley tengah menggiring bola, lalu dioper ke Ashton, Ashton membawa bola mendekati ring lawan, namun tiba-tiba salah satu pemain WMHS yang bertubuh gembul dan lebih tinggi dari Ashton menghadangnya, Ashton segera melemparkan bola kearah kanannya, dengan sigap Gavin menangkap bola dan menggiringnya, semakin mendekati ring lawan. Gavin terhenti didepan garis three point. Apa yang dia lakukan? Pemain lawan bisa saja merebut bola yang sudah ada ditangannya, sedangkan waktu permainan akan berakhir sebentar lagi. Aku mengarahkan kepalaku ke arah kiriku, tempat dimana Alvino duduk. Sejak tadi keadaan ramai riuh, orang-orang yang berada disini berseru menyemangati para pemain basket yang tengah bertempur didalam lapangan, tapi tidak dengan orang di sebelah kiriku ini, ia sedang memangku wajahnya dengan tangan kirinya, dan memegang sekaleng soda ditangan yang lain.

“Al? Lo sakit?” tanyaku saat melihat wajah datar tanpa ekspresi Alvino.

“enggak” jawabnya singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari lapangan.

“terus kenapa lo –YAAAAAAAAAAYYYYYYYYYYYYYYYY!!!!!!!!!!!!!” pertanyaanku terputus dan berganti dengan teriakan senang saat aku melihat Gavin men-shoot bola di depan garis three point. Gavin mencetak 3 point sekaigus, sekarang sekolah kami memimpin 1 angka dari WMHS.

“G-A-V-I-N. GAVIN!!!!!!!!!!!” para pemandu sorak segera meneriaki dan mengeja nama Gavin dengan kompak.

Suara peluit berbunyi pertanda permainan telah usai. Para pemain basket dari sekolahku segera berlari ketengah lapangan untuk selebrasi, mereka memeluk Gavin dengan senangnya. Seperti biasa, Gavin menjadi penyelamat untuk sekolah kami. Pemain basket dari WMHS berjalan dengan lesu ke pinggir lapangan menghampiri pelatihnya yang sudah menatap mereka garang.

“yaampun Gavin!!! Makin cinta aja gue sama lo” gumamku tetap fokus pada Gavin yang tengah tersenyum puas disana, menambah tingkat ketampanan dirinya. Yatuhan, indahnya salah satu makhluk ciptaanmu ini.

“pertandingannya udah selesai kan, Ra? Yuk” Alvino segera menggenggam tanganku dan menarikku.

“ah, Al, gue masih mau disini tau!” protesku pada Alvino yang sudah menunjukkan ekspresi bosannya.

“mau ngapain lagi sih, Ra? Pertandingannya kan udah selesai. Gue laper nih” keluhnya sembari memegang perutnya.

“ah, gak asik lo. Yaudahdeh” ucapku yang akhirnya mengalah. Alvino gak pengertian bangetsih, kan aku masih betah memandangi Gavin dari sini.

“tuhkan, kenapa lagi tuh bibir? Minta dicium?” ucap Alvino ketika kami sudah keluar dari lapangan indoor sekolah dan melihatku cemberut dengan bibir yang maju.

“abisnya, lo sih. Gue kan masih pengen ngeliatin Gavin. Pokoknya lo harus traktir gue!”

“loh, kok jadi gue yang traktir? Tadi kata lo kalo gue mau nemenin nonton pertandingan basket lo mau nraktir gue” kata Alvino tak terima dengan tuntutanku tadi.

“bodo. Udah ayo” ucapku sebal lalu menarik tangan Alvino menuju kantin.

Tak butuh waktu banyak untuk sampai dikantin sekolah. Keadaan disini cukup ramai. Aku mengedarkan pandanganku kearah sekitar, mencari tempat kosong untukku dan Alvino. Bingo! Itu dia! Aku segera menarik tangan Alvino menuju meja kosong yang tak jauh dari tempat kami berdiri saat mencari tempat kosong tadi.

“inget ya, Al, lo yang traktir!” ucapku memperingatkan Alvino yang baru saja menduduki bangkunya.

Ia mendengus kesal dan menatapku sebal, “iya bawel!”

Aku hanya menunujukkan senyum kemenanganku padanya. Hal yang paling kusukai dari Alvino, dia selalu mengalah untukku, bilang aku egois, karena aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan.

“mau pesan apa?” tanyanya menatapku datar.

“spaghetti dan milkshake coklat, please” jawabku  singkat.

Ia mendengus untuk yang kedua kalinya dan segera bangkit dari duduknya menuju salah satu tempat pembelian makanan. Aku disini hanya bisa menunggu Alvino untuk kembali dan membawakan makanan untuk kami dan menopang daguku dengan kedua telapak tanganku.

Tiba-tiba suara riuh terdengar, semakin lama semakin dekat, itu adalah suara dari para pemain basket dan pemandu sorak. Aku segera mengedarkan penglihatanku mencari-cari keberadaan Gavin. Itu dia! Kini ia sedang duduk di atas meja bersama Finley, Ashton, dan Andrew dikelilingi oleh para pemain basket lain dan cewek-cewek pemandu sorak yang terlihat genit. Jujur, aku tak terlalu menyukai tim pemandu sorak disekolah ini, apalagi ketuanya, Beth, ia yang selalu saja tebar pesona didepan Gavin. Tak tahukah dia bahwa Gavin adalah punyaku, well... calon punyaku.

Tak kusadari sedari tadi aku terus saja menatapi Gavin tanpa henti, hingga tanpa ku sadari Gavin yang menjadi pusat perhatianku menyadari bahwa sedari tadi aku mengamatinya. Lalu tiba-tiba kulihat Gavin mengedipkan sebelah matanya kearahku. Ia mengedipkan matanya padaku? Tidak mungkin! Tapi... aku menengokkan kepalaku ke kanan, kiri, dan belakang, namun tak kutemukan seorangpun yang menatap kearah kami. Jadi.... Gavin...

Aku mengarahkan kepalaku lagi kearah Gavin berada, ia tengah tersenyum kearahku, dan mengatakan “hai” dengan gerakkan bibir. Aku yang bingung dengan hal ini akhirnya menunjuk diriku sendiri dengan jari telunjukku sembari mengatakan “aku?” tanpa suara. Dan bisa kulihat Gavin mengangguk kearah yang sama, kearahku. Oh tuhan... apakah aku sedang bermimpi? Seorang Gavin Chord Irwin mengedipkan matanya padaku? Menyapaku? Tersenyum padaku? Tolong aku... aku meleleh. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku menyembunyikan rona merah diwajahku dan tersenyum malu. Untuk saat ini aku sangat ingin berguling-guling, berteriak-teriak, dan melompat-lompat layaknya orang gila. Gavin membuatku gila!

“Ra? Skyra?” suara seseorang tiba-tiba mengagetkanku.

Jangan-jangan itu Gavin? Aku segera mengadah, “ya?” ucapku dengan senyuman yang sangat lebar dan seketika berganti datar setelah menyadari bahwa orang itu adalah Alvino. Aku kecewa...

“lo sakit, Ra?” tanya Alvino sembari meletakan telapak tangannya didahiku.

“apaansi lo, Al” ucapku sebal sambil menjauhkan telapak tangan Alvino dari dahiku.

“lah, lo kenapa sih?” tanya Alvino semakin bingung dengan tingkahku.

Aku melirik kearah Gavin lagi, sekarang ia sudah tidak menatap kearahku lagi dan tengah tertawa dengan teman-temannya. Walaupun sedikit kecewa karena kukira suara yang mengagetkanku tadi adalah Gavin tapi ternyata malah Alvino, aku tetap senang karena tadi Gavin mengedipkan matanya, tersenyum, dan menyapaku.

“gapapa kok” jawabku sambil tersenyum karena mengingat kejadian tadi.

“tuh kan, lo senyum-senyum sendiri. Kenapa sih?” ucap Alvino memaksaku untuk menjawab pertanyaannya.

“ih, lo bawel banget sih, Al. Mana sini spaghetti gue!” kataku sebal namun tak bisa menyembunyikan sisa-sisa senyuman tadi dan menarik piring berisi spaghetti dihadapanku.

“pokoknya nanti lo harus cerita ya!” tuntut Alvino sembari menodongkanku garpu yang tengah ia genggam.

“iya, iya! Bawel banget sih. Nanti gue cerita tapi makan dulu, gue laper” ucapku lalu mulai memasukkan spaghetti yang terlilit di garpu yang kupegang masuk kemulutku.

===========================================================

PIC: Skyra Alicia a.k.a Barbara Palvin

Too Little Too LateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang