Bab 5

6.9K 379 3
                                        

Assalamualaikum.

aku mau menepati janjiku untuk update 2 cerita hari ini, ya meskipun ini udah masuk hari kamis hehe. sebenernya aku udah selesai ngetik dari jam setengah 12 guys, tapi laptopku huft lemot banget kesel deh. Jadinya kepagian hhhzzz.

yaudah lah selamat membaca kalau ada yang masih bangun jam segini hehe.

---

"Kila, mau ikut bunda engga?" tanya Dinda yang keluar dari dapur, setelah mencatat belanjaan apa aja yang harus di beli di Supermarket.

Akira yang sedang bermain lego di atas karpet ruang keluarga melihat ke arah Dinda yang sedang menggunakan tasnya.

"Nda au nana?" tanya Akira balik setelah melihat sang bunda sudah rapi.

Akira menghampiri Dinda yang sedang membenarkan letak tasnya.

"Na kut." Akira berlari menghampiri Dinda dan memeluk kaki Dinda. Dinda membawa Akira ke dalam gendongannya, menciumnya gemas.

"Ayo, kita belanja," ucap Dinda dengan gaya Akira. Akira malah tertawa melihatnya, menurutnya bundanya ini sangat lucu.

Dinda membawa Akira ke dalam gendongannya dan menciumi wajah Akira secara keseluruhan. Akira yang mendapat ciuman bertubi-tubi hanya tertawa geli, merasakan wajahnya menempel pada bibir sang Bunda.

-Home-

Dinda berjalan mendorong trolly dengan Akira yang di dudukan di dalamnya. Putri kecil itu terlihat begitu bahagia, sesekali Akira memperlihatkan gigi kecilnya dengan senang.

"...Ndaa, oyiss," ucap Akira menunjuk sosis yang berjejer rapi di rak. Sosis itu makanan kesukaan Akira kalau lagi susah makan.

Dinda tersenyum mencubit pipi Akira gemas. Kakinya melangkah menuju sosis favorit Akira. Sosis yang bisa dimakan tanpa harus di masak terlebih dahulu. Dinda mengambil 3 toples sosis dengan rasa yang berbeda.

"Udah yaa...Akira mau apa lagi?" tanya Dinda kepada Akira yang sudah mengerti makanan.

Adinda itu suka makan, makanya tidak jarang juga dia selalu memberikan makanan kepada Akira agar anaknya suka makan sepertinya. Tetapi Adinda tetap tenang karena dia keturunan manusia berbadan kecil, jadi mau makan sebanyak apa pun tidak akan membuat dia gemuk.

Kalau kata orang-orang perempuan itu lebih mudah berisi badannya ketika sudah menikah. Hm mungkin beberapa perempuan merasa itu benar tetapi untuk Adinda sendiri dia tidak merasakan itu. Berat badannya hanya naik beberapa kilo saja, tidak sampai membuat dirinya gemuk chubby.

Ah mungkin yang kalau di keluarga kecil Dinda yang menjadi gemuk bukan dirinya, melainkan Arsyaf. Suaminya itu selalu saja marah-marah karena berat badannya naik. Padahal bukan salah Dinda, tapi tetap saja Dinda yang menjadi salah karena selalu membuat makanan enak kata Arsyaf mah.

"Nanti kita buat Pudding aja ya sayang, Akira suka kan?" tanya Adinda mengajak Akira bicara.

Sebenarnya Akira tidak terlalu paham ucapan Bunda. Namun apa boleh buat anak perempuan itu senyum-senyum saja menanggapinya. Dasar bocah kecil.

"Loh! Din?" ucap seseorang dengan pekik senang di depan Adinda.

"Eh? Git!" balas Dinda juga kaget melihat Gita berada di depannya.

"Ntiiiii...."

"Ya Ampun, si cantiknya Aunty." Gita mendekat ke arah Akira dan menciumnya dengan gemas.

"Lo sendirian?" tanya Adinda kepada Gita yang terlihat sendiri.

Gita mengangguk pelan, "Suami gue kerja, lo juga berdua aja? Biasanya di temenin Arsyaf." Gita bertanya bukan tanpa alasan karena memang Adinda ini biasanya kalau diajak belanja bareng suka menolak dengan alasan mending ajak Arsyaf bisa bantu bawain belanjaan.

"Nunggu dia libur kayanya keburu nggak makan seminggu sih keluarga gue, haha," ucap Adinda secara tidak langsung menjelaskan betapa sibuknya Arsyaf akhir-akhir ini.

"Sibuk banget ya Bapak satu itu," balas Gita disambut anggukan dari Adinda.

"Banget, suka kesel gue kalau dia udah di rumah tapi masih ngurusin berkas. Pengen lempar piring aja rasanya, tapi nggak mungkin. Jadi banyakin sabar aja," jawab Adinda.

"Bukan lo banget."

Adinda tersenyum menanggapi. Kini dia dan Gita sudah berada di salah satu restoran dalam Mall.

"Manusia itu Dinamis Git, kita nggak bisa terus jadi orang yang sama kalau emang berubah itu bisa membuat seseorang menjadi lebih baik," jawab Adinda pelan.

Adinda sangat paham akan dirinya. Bagaimana dia dulu dan buruknya. Jika dipikir lagi, menikah dengan Arsyaf bukan sesuatu yang mudah.

Berawal dari cinta dalam diam yang selalu Adinda semogakan pada sepertiga malam sampai akhirnya dia dia bertemu dengan Arsyaf di titik terbaik menurut takdir.

Apakah itu sudah selesai menuju happy ending? Tidak.

Pernikahan yang Adinda selalu impikan bahagia dan penuh dengan tawa sangat jauh berbeda dengan kenyataan yang dia jalani.

Sebenarnya semua seimbang. Sedih dan senang tidak pernah ada yang menjadi dominan dalam kehidupan, Dinda sadar akan itu.

Sadar juga dia menikah dengan lelaki yang seumuran dengannya. Yang banyak orang bilang kalau nikah dengan seumuran itu sulit. Faktanya benar. Sangat sulit.

Ego keduanya masih sama-sama besar. Bahkan untuk mengalah saja rasanya tidak ingin. Belum lagi kalau keduanya sibuk dan bersikap menjadi orang lain. Huft Dinda saja masih ingat bagaimana dulu Arsyaf sangat pencemburu, menyeramkan.

Itulah yang Dinda alami di awal pernikahan dengan Arsyaf. Mungkin sekarang sudah terbiasa dengan kunci sabar tadi. Kalau tidak sabar bisa-bisa Dinda berubah jadi istri durhaka yang selalu mendebat Arsyaf dengan nada tinggi.

"Pernikahan rumit banget ya Din, gue pikir setelah menikah semua kesulitan itu jauh lebih mudah buat gue selesain karena kita berdua menjadi satu. Ternyata enggak, gue capek setiap hari harus nerima pertanyaan 'Kapan punya anak?' bikin gue sakit dan takut sekaligus. Apa mereka nggak sadar kalau pertanyaan basa basi itu bikin gue sakit banget?"

Dinda mengelus lengan Gita tanpa bicara apa pun karena Dinda tahu yang Gita butuhkan sekarang adalah teman cerita bukan solusi.

Sejak menikah intensitas pertemanan mereka berempat menjadi sedikit renggang. Kesibukan dengan keluarga kecil masing-masing membuat mereka tidak sempat bertukar kabar, bertukar cerita atau jalan keluar sekedar hiburan seperti dulu sebelum nikah.

"Orang tua gue, mertua gue. Mereka nggak pernah nanya itu dan nggak sama sekali menyinggung itu karena mereka tau gue sensitif kalau bahas itu. Tetapi kenapa orang lain gampang banget nanya itu sebagai bahan basa basi sih Din? Ya Allah kadang pengen marah sama keadaan tapi nggak boleh dan nggak bisa."

Gita menangis dalam pelukan Adinda. Mengusap punggung Gita dengan pelan seraya menepuk dengan memberikan isyarat semua akan baik-baik saja.

"Lo bisa lewatin ini, Allah mau lo lebih berjuang dan meminta Git. Serahin semuanya, gue yakin kok ini hanya masalah waktu, sabar, dan ikhlas. Selebihnya itu kuasa dan takdir Allah."

---

Mau nanyaaaa!! Tokoh cerita enaknya aku tentuin atau nggak usah ya? 

Gimana ya cara membangun keaktifan kalian di komen? 

Dahlah yang penting baca deh! Oke selamat pagi haha.

2 || HOME... (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang