Rahasia Adit

115 1 0
                                    

"Pindah ke depan dong Ya, emangnya aku supir taksi online?"

Ups, aku bahkan tak menyadari jika di mobil tinggal ada kami berdua. Dengan canggung aku berpindah ke kursi samping pengemudi. Derasnya hujan membuat bajuku kembali terkena basah.

"Kita shalat maghrib dulu ya di masjid depan. Takut gak keburu," ujar Adit. Aku lega dia masih ingat untuk menyempatkan diri menunaikan ibadah shalat.

"Hmmmm, sorry aku lagi enggak," jawabku pelan.

"Ooooh. Ya udah kamu tunggu di mobil aja," ujar Adit. Dia pun memarkirkan mobilnya di halaman masjid dan bergegas.

Mobil Adit tampaknya bukanlah keluaran baru, namun masih sangat terawat. Sebuah gantungan boneka jerapah terjuntai di bawah spion depan. Dashboardnya pun dihiasi jam digital berbentuk boneka kucing berwarna pink, seolah mencerminkan sang empunya yang feminin. Ditambah semerbak wangi apel yang menambah rasa manis.

"Jamnya lucu Dit, gantungan bonekanya juga," ujarku begitu Adit kembali menjalankan mobilnya.

"Iya, mobil ini milik almarhumah mbakku," jawab Adit dingin. Waduh, sepertinya aku salah bicara.

"Maaf Dit, aku ga bermaksud."

"Ga apa, santai," ujar Adit sambil tersenyum. Kulihat wajahnya tetap terlihat begitu manis, meski dari samping, dengan senyumnya yang khas.

"Kamu kenal Kakaknya Pipit?" tanya Adit tiba-tiba.

"Gak kenal Dit. Cuma setahuku kakaknya udah menikah dan tinggal di kota sebelah," jawabku. Aku memang tidak begitu tahu, karena tidak pernah bertanya banyak soal keluarga Pipit.

"Jalan rumah Pipit terasa tidak asing bagiku. Terlebih setelah melihat rumahnya. Apalagi kebetulan kakaknya keluar pula," ujar Adit dengan nada yang terdengar kesal. Aku mendengarkan dalam diam. Berharap Adit melanjutkan ceritanya.

"Sebenarnya, Mbakku itu mantan pacarnya Kakak Pipit. Paling Si Pipit juga gak tahu. Aku baru tahu pas lihat rumahnya, apalagi kakaknya. Benci banget aku lihat mukanya!" Adit melanjutkan kisahnya.

"Mbakku meninggal gara-gara dia! Padahal Mbakku udah lama remisi!" Adit memukul stir mobilnya.

"Istighfar Dit, semua takdir Allah," ujarku mencoba menenangkannya. Eh, tunggu dulu! Adit bilang remisi? Berarti Mbaknya sakit kronis yang sempat dalam kondisi stabil namun kambuh lagi akibat masalah ini.

"Mbakku sakit kayak kamu, Ya! Wajahnya bulat persis kamu. Kalau lihat kamu, aku jadi ingat dia," ujar Adit pelan. Aku terperanjat. Jadi, apakah ini alasan Adit mendekatiku? Alih-alih mencoba bersimpati, aku malah menyimpan setitik luka di hatiku.

Adit lalu mendadak membelokkan mobilnya ke arah sebuah restauran. Aku tekejut.

"Temenin aku makan dulu ya. Aku pengen cerita banyak hal sama kamu. Please," Adit memohon padaku. Aku tak kuasa menolaknya. Aku melihat sosok Adit yang biasanya ceria dan tengil, mendadak tampak begitu menyedihkan.

"Aku cuma bisa jadi pendengar setia, Dit," jawabku.

"Itu sudah lebih dari cukup."

Aku lalu segera mengetik pesan singkat kepada Mama. "Ma, maaf Ais pulang telat. Tapi dianter temen kok. Ini mau makan dulu."

"Oke. Hati-hati Sayang," balas Mama.

Adit membuka pintu mobil tempatku duduk. Di tangannya tergenggam sebuah payung bunga merah jambu. Ia ingin memastikan aku tak terkena derasnya hujan untuk kesekian kalinya sore ini. Aku lalu menatap wajahnya. Cahaya lampu restauran di belakangnya membuat ia tampak begitu bersinar, namun tetap saja menyimpan lebih dari sejuta misteri bagiku.

Rembulan Kasmaran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang