Yayasan Mentari

145 2 0
                                    

Kali ini aku mewakili Yayasan Mentari melakukan sosialisasi bagi anak OSIS SMA Tunas Harapan dengan tujuan mengenalkan Penyakit Autoimun. Yayasan Mentari memang fokus pada kegiatan sosial yang berkaitan dengan Penyakit Autoimun, baik sosialisasi pada masyarakat maupun memberikan bantuan pada penyandang Autoimun yang kurang mampu. Kali ini tugasku berbagi pengalaman sebagai seorang penyandang Autoimun.

"Nah, setelah adik-adik mendengarkan penjelasan singkat tentang penyakit Autoimun, saatnya kita mendengarkan pengalaman dari survivor kita yang luar biasa, Kak Raisya! Beliau ini mahasiswi di Univ Negeri ternama di kota ini lho! Keren kan! Langsung aja kita sambut Kak Raisya!"

Tepuk tangan terdengar riuh di ruangan kecil ini. Memang pesertanya tidak terlalu banyak, tetapi cukup membuatku gugup. Aku berusaha tersenyum dan tenang, lalu menyapa mereka. Kuceritakan pengalamanku sejak awal terdiagnosis hingga hari ini. Tak kusangka antusiasme mereka sangat tinggi.

"Kak, siapa sih motivator terbesar Kakak sampai mampu berjuang sejauh ini?" salah seorang murid bertanya.

"Kalau ditanya siapa, tentunya orang tuaku. Tapi sebenarnya tidak perlu menunggu motivasi dari orang lain kok. Karena yang terpenting bagaimana tekad dan keyakinan kita terhadap diri sendiri bahwa kita mampu," jawabku dengan mantap.

"Kalau pacar Kak?" celetuk seorang murid. Lalu ruang berubah menjadi riuh ramai.

"Haha. Kakak gak pacaran kok. Gak ada tuh kata pacaran di kamus Kakak. Lebih baik fokus mengejar cita-cita kan?" jawabku sambil tersenyum. Murid-murid semakin ramai. Aku menebak-nebak saja, mungkin ada di antara mereka yang berkata, tampang sepertiku wajar kalau tidak punya pacar. Ah, lagi-lagi pikiran buruk akibat ketidakpedeanku itu muncul.

"Ternyata kamu aktif di Yayasan juga ya," seorang laki-laki tiba-tiba menghampiriku setelah acara usai. Sepertinya tak asing.

"Aku Adit, yang ketemu kamu di Perpus Univ beberapa hari lalu. Lupa?" dia tersenyum. Ah, mana mungkin aku lupa! Tapi kenapa dia tampak berbeda?

"Aku habis potong rambut, makanya kamu pasti pangling. Haha," dia tertawa. Seolah dia bisa membaca pikiranku.

"Sejak kapan ikut kegiatan Yayasan? Kok aku baru lihat?" tanyaku.

"Sejak hari ini. Tuh, dipaksa ikut sama Bobi. Katanya biar dia ada temen," jawabnya sambil menunjuk Bobi. Aku sudah cukup akrab dengan Bobi, dia mahasiswa keperawatan juga. Tiga bulan ini dia menjadi pengganti ketua Yayasan Mentari karena Kak Faisal yang seorang dokter sedang menjalani internship di luar Jawa. Ternyata Adit ini temannya Bobi.

"Jadi kamu kena SLE dari SMP? Semangatmu boleh juga. Jadi mahasiswi di Univ kita gak gampang lho," ujar Adit.

"Ya, aku berusaha yang terbaik aja semampuku," jawabku. Adit manggut-manggut.

"Besok kalau ketemu di Perpus lagi, boleh ya aku tanya-tanya. Aku cukup tertarik sama penyakit Autoimun ini, kayaknya bagus dijadiin tema skripsi," kata Adit sambil tersenyum. Uh, manis juga senyumnya.

"Boleh aja Dit kalo aku bisa bantu," jawabku sambil menunduk.

"Oiya, soal yang aku bilang tempo hari itu serius lho. Tapi ga usah dipikirin. Hehe," Adit membuyarkan lamunanku.

"Yang mana?" tanyaku gugup.

"Kamu manis, tapi kalau senyum. Jangan cemberut terus dong. Aku pengen lihat kamu makin sering senyum," ujar Adit lagi.

Aku yakin saat ini wajahku memerah bak kepiting rebus. Kucoba menahan senyum malu sebisa mungkin dan terus menerus menunduk dalam.

"Aku pulang duluan. See you, Yaya!" ujar Adit sambil melambaikan tangan. Apa? Yaya? Sejak kapan ada yang memanggilku seperti itu.

Rembulan Kasmaran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang