Sebuah Rasa

118 0 0
                                    


Aku akan memulai kemoterapiku yang pertama. Jujur aku begitu cemas. Yang ada di benakku hanya rentetan kemungkinan buruk efek samping yang bisa terjadi. Padahal seharusnya aku fokus memikirkan hal yang positif saja. Optimis kondisiku akan menjadi semakin baik setelah pemberian terapi ini.

Kondisi Ridwan juga kelihatannya beranjak membaik. Ia hanya menggunakan selang di hidungnya, sudah bukan berupa masker yang menutupi wajahnya. Suaranya yang menahan muntah juga sudah jarang kudengar lagi. Kemarin saat kondisinya kritis, kulihat Bapak tua itu datang hampir setiap hari dan menungguinya hingga malam. Namun saat ini tak jua kulihat lagi batang hidungnya.

"Gimana rasanya kemo?" tanyaku pada Ridwan yang baru saja menutup Al Quran kecilnya. Ia menoleh ke arahku.

"Awalnya biasa aja, tapi lama-lama mual. Banyakin dzikir aja," jawabnya. Ia tersenyum manis lagi.

"Kamu tegar banget. Keren. Aku juga harus semangat," ujarku ceria. Ia mengangguk.

"Sebenarnya aku juga cemas. Dokter bilang ada kemungkinan kankerku mulai menyebar ke paru-paru. Makanya sebisa mungkin harus segera dimulai kemoterapi lagi. Supaya tidak ada penyebaran yang luas, atau disebut juga metastasis jauh," ujarnya. Innalillahi. Kasihan, Ridwan.

"Makanya kamu sering sesak ya. Aku juga sesak sih kemarin, tapi karena penyakit autoimunku," ujarku. Ridwan mengangguk.

"Iya, sedikit banyak aku tahu tentang Lupus. Kamu Nefritis Lupus kan? Lupus yang menyerang ginjal. Rencana kemoterapimu dengan Siklofosfamid," lanjutnya. Aku terperangah. Rupanya dia tahu banyak soal Lupus dan terapinya.

"Wah, hebat! Pengetahuanmu luas sekali. Aku saja sudah lupa kemarin kamu bilang sakit kanker apa," aku meringis.

"Aku ini mahasiswa kedokteran. Sudah lulus pre klinik, tapi belum koas. Apa daya, takdirnya begini," ujarnya sambil menunduk. Aku merasa prihatin mendengarnya.

"Semoga Allah kasih kesabaran buatmu," hanya itu yang sanggup kuucapkan. Ia tersenyum lagi, begitu teduh.

"Bapak yang kemarin itu Ayahmu?" tanyaku memberanikan diri.

"Iya, Ayahku harus kerja jadi gak bisa menemaniku sering-sering di sini. Ayah cuma buruh pabrik. Aku kuliah bermodal beasiswa. Aku berobat di sini juga karena bantuan dosenku yang mendaftarkan sekaligus membayar iuran jaminan kesehatanku. Diberi jatah kelas 1 pula, Masya Allah. Betapa beruntungnya aku," jawabnya ringan, seperti tak ada beban menceritakannya.

"Kok bisa-bisanya sih kamu masih merasa beruntung? Pernah gak kamu merasa sedih seakan dunia sudah berakhir dan lelah menghadapi semua ini?" tanyaku lagi. Aku mulai menanyakan hal yang cukup sensitif, berharap mendengar sebuah jawaban yang bisa menentramkan hatiku, dari pemuda shalih ini.

"Awalnya ya aku sedih bukan main. Aku berhasil lulus dengan cumlaude. Aku berprestasi. Tapi kini aku jauh tertinggal dibanding teman-temanku. Sebenarnya yang lebih membuatku sedih adalah saat membayangkan perasaan orang tuaku. Kehilangan harapan anaknya bisa memperbaiki keadaan keluarga. Aku merasa tak berguna. Rasanya ingin menyerah saja."

"Tapi kemudian aku teringat akan kata-kata Almarhumah Ibu yang begitu menentramkan perasaanku," jawabnya. Ya Allah, bahkan Ibunya sudah tiada. Tak terbayangkan betapa sedih dan menderitanya ia. Aku sungguh jauh lebih beruntung.

"Ibu bilang kalau semua yang terjadi pada seorang Muslim itu baik. Allah kasih ujian tandanya Allah sayang. Allah mau kita menghadapNya dalam keadaan bersih tanpa noda. Apa sih yang paling kita harapkan selain perjumpaan terbaik kita denganNya?"

"Malah Ibu juga sempat berkata....." ia lalu berhenti sejenak, air mata menetes di pipinya.

"Kalau nanti di surga gak ketemu Ibu, tarik tangan Ibu ya Nak. Bawa ke surga," lanjut Ridwan terbata, sambil menyeka air matanya. "Aku gak menyangka Ibu malah mendahuluiku menghadapNya."

Ridwan terisak sesaat. Aku hanya memandanginya dari kejauhan. Namun tak lama kemudian ia sudah kembali tenang.

Ah, sekarang aku tahu. Betapa sesungguhnya cara kita memandang sesuatu itulah yang akan menjadi hasil akhirnya. Hasil akhir penerimaan kita terhadap takdir. Mau sesulit apapun, kalau dilihat kebaikannya, tidak ada sekalipun rasa hendak mengeluh. Kesabaran itu memang tak ada batasnya, karenanya Allah akan hadiahkan pahala tanpa batas.

"Insya Allah Ibumu pasti bahagia punya anak shalih seperti dirimu," pujiku. Ia tersenyum lagi, begitu menentramkan hati. Tiba-tiba ada suatu rasa yang menggelitik dalam dadaku. Sepertinya aku mulai kagum padanya.

***


Terima kasih sudah membaca Rembulan Kasmaran ...

Bagaimana? Baper? Penasaran? Akankah Ridwan menjadi orang baru dalam kisah perjalanan cinta Raisya, ataukah Adit tetap takkan tergantikan?

Bagi yang ingin mengetahui kelanjutan kisahnya, bisa langsung pesan bukunya ya. Karena dengan membeli buku ini, teman-teman sekalian sudah berdonasi untuk Yayasan Tittari.

Apa itu Yayasan Tittari?

Sekilas tentang Yayasan Tittari Surakarta

Yayasan Tittari Surakarta merupakan sebuah Yayasan yang berdiri tanggal 28 Februari 2014. "Tittari" yang berarti "kupu-kupu" dalam bahasa sanskerta menjadi pilihan nama karena fokus kegiatan yang bergerak pada kepedulian sosial terhadap panyakit Lupus yang sering digambarkan dengan simbol kupu-kupu.

Beberapa kegiatan yang rutin dilakukan diantaranya Peringatan "World Lupus Day" setiap tahunnya, kegiatan mingguan seperti Senam Lupus dan Kupu Yoga, serta kegiatan insidental seperti kunjungan kepada Odapus yang membutuhkan bantuan, bakti sosial, sosialisasi pada masyarakat, serta kegiatan kewirausahaan seperti mengadakan bazar dan penjualan produk karya Odapus.

Yayasan Tittari Surakarta bertempat di Jalan Arifin 66 RT 01 RW 01 Kepatihan Wetan, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah.


Website: www.yayasantittari.org

Email: care@yayasantittari.org.

No HP: 082323232444.

Akun Media Sosial

Facebook: Yayasan Tittari- Komunitas Lupus Griya Kupu Solo;

Instagram: @yayasantittari

---------------------------------------------------

Pemesanan buku Rembulan Kasmaran:

WA/SMS: 081225734208

---------------------------------------------------

Rembulan Kasmaran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang