Rentetan Kesalahpahaman

89 0 0
                                    


Aku menatap Adit yang terus terisak. Mama yang baru saja datang terheran-heran dibuatnya. Tak terasa air mataku ikut mengalir, seolah mampu merasakan gejolak batin yang dialami almarhumah Mbak Aini.

"Adit kenapa?" bisik Mama.

"Ada masalah keluarga, Ma," jawabku singkat. Lain waktu saja kujelaskan pada Mama karena pasti akan panjang seperti kereta api ceritanya.

Adit masih menggenggam surat itu di tangannya. Ia tampaknya telah terlambat mengetahui sesuatu hingga terlarut dalam dendam berkepanjangan. Saat ini kuyakin ia menyesal telah berbuat kasar pada Kak Bayu. Ini semua bukan salah Kak Bayu. Benar seperti kata Mbak Aini. Kak Bayu hanya menanggung sesuatu yang tidak seharusnya, yaitu kebencian dari orang-orang terkasih Mbak Aini.

"Aku menyesal, sungguh. Kali ini aku yang tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan semua permintaan maafku pun akan percuma," ujar Adit di tengah isak tangisnya. Mama menepuk pundak Adit, berusaha menenangkannya.

"Sehari sebelum Mbak meninggal, Kak Bayu datang ke Jakarta untuk menemui Mbak Aini. Tapi apa yang kami lakukan? Kami mengusirnya!" tangis Adit semakin keras. "Padahal Mbak Aini ingin melihatnya lagi, walau hanya sekali."

"Surat ini pun seharusnya kubawa sembari menghadiri pernikahan Kak Bayu. Tapi egoku mengalahkan semuanya. Aku yang sudah penuh rasa benci sungguh tak sudi menghadiri pernikahannya. Kupikir Kak Bayu yang jahat dan tidak punya perasaan dengan mengirim undangan kepada kami. Tapi ternyata, aku lebih jahat lagi!

Bahkan saat pemakaman Mbak Aini, aku berkata kasar padanya dan mengancam akan menghajarnya jika muncul kembali di hadapan kami."

Lama Adit terlarut dalam tangisnya. Aku dan Mama hanya membiarkannya. Kami tak bisa berbuat apa-apa. Mungkin lebih baik ia menumpahkan semua gejolak perasaannya lewat tangisan.

Aku sama sekali tak menganggap Adit orang yang jahat, sebagaimana ia menghakimi dirinya sendiri. Aku tahu justru karena sayang, maka Adit menjadi seperti itu. Semua hanya kesalahpahaman. Seandainya saja Mbak Aini mau jujur. Namun kuyakin berat juga bagi Mbak Aini untuk mengatakan semuanya. Maka tidak ada yang perlu disalahkan dalam masalah ini. Seharusnya sudah lama mereka berdua duduk dalam satu meja dan menyelesaikan kesalahpahaman ini sehingga tak ada lagi dendam diantara mereka.

Handphone Adit berbunyi. Kuintip tulisan di layarnya. "Kak Bayu". Rupanya ia telah menyimpan nomornya.

"Halo Kak. Iya, oke aku ke kantin sekarang," jawab Adit dengan suara paraunya. Ia menghapus air matanya, namun tetap saja matanya masih tampak memerah dan sembab. Hampir pasti Kak Bayu tahu bahwa Adit habis menangis.

"Aku pergi dulu. Terima kasih untuk mendengarkan curhatku. Maaf aku lebay," Adit berusaha tersenyum. Aku mengangguk. Ia pun keluar dari kamarku.

Saat ini, pikiranku jauh melayang. Berbagai keraguan mencuat tak karuan. Apakah aku akan bernasib sama seperti Mbak Aini? Haruskah aku melepaskan orang yang kusayangi karena kondisiku yang memburuk? Ah, apa-apaan aku ini. Hingga saat ini saja aku bahkan masih sendiri. Buat apa berpikir sejauh itu. Siapa juga yang mau dengan aku yang penyakitan ini?

Lalu tiba-tiba saja aku menjadi kagum dengan sosok Kak Bayu. Ia bisa mencintai Mbak Aini yang tengah sakit parah. Bahkan ia sebenarnya tak melepaskan Mbak Aini, justru Mbak Aini yang meninggalkannya. Ada ya laki-laki seperti itu di dunia ini. Mampu mencintai tanpa syarat. Menerima kekurangan dan kelebihan tanpa menuntut yang macam-macam. Semoga saja aku bisa bertemu orang seperti itu.

Adit? Lagi-lagi nama itu muncul dalam anganku. Apakah dialah pangeran impianku, yang bisa menerimaku apa adanya? Dia sudah tahu betul kondisiku, bagaimana resikonya jika dekat denganku. Sewaktu-waktu aku bisa saja pergi.

Rembulan Kasmaran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang