Kesempatan Baru

92 1 0
                                    


Sayup-sayup kudengar alunan tilawah Al Quran yang begitu menyejukkan. Suaranya tak asing lagi di telingaku. Namun mataku terlalu berat untuk membuka. Suara bising bersahutan, terdengar seperti timer bom yang akan segera meledak.

Aroma yang tak asing mulai tercium, bau obat-obatan menusuk hidung. Hawa dingin mulai merasuki tiap pori-poriku. Kupaksakan diri untuk membuka mata. Akhirnya aku bisa menyaksikan wajah teduhnya yang begitu kucinta.

Ayah tak henti-hentinya menemaniku dengan lantunan ayat suci Al Quran yang begitu merdu. Aku meneteskan air mata. Allah masih memberiku kesempatan untuk kembali melihat dunia. Dosaku masih menggunung, aku belum siap menghadapNya. Taubatku belum cukup untuk menghantarkanku menuju ke surgaNya.

Air mata ini kian deras mengalir ke pipi, hingga Ayah pun menyadarinya. Dengan lembut diusapnya, lalu ia melihatku mulai mengerjapkan mata. Hamdalah terucap lembut dari bibirnya, beserta kecup cinta penuh syukur yang mendarat manis di keningku.

Kulihat seseorang berjas putih masuk menemuiku. Ia memanggil-manggil namaku dan mengajakku berbicara. Namun aku hanya kuasa mengangguk. Ia memerintahkan beberapa hal padaku, kuikuti perlahan dengan badanku yang masih terasa begitu lungkrah. Tak lama kemudian Mama datang dan langsung memelukku dalam tangis. Aku begitu bahagia, seperti sudah sekian lama tidak bertemu dengannya.

Jemari tanganku masih terasa begitu kaku. Namun nafasku terasa lebih ringan dari yang terakhir kali kuingat. Di hidungku terpasang selang, terasa aliran udara yang menggelitik. Mataku masih berat, ingin rasanya memejamkannya kembali. Di sekeliling tempat tidurku penuh alat medis terpasang dengan bunyinya yang bersahut-sahutan. Sepertinya ini bukan di kamar biasa.

"Ma, ini di mana?" tanyaku terbata. "Dingin, Ma."

Mama lalu merapatkan selimutku. "Ini di ICU, Ais. Sudah 10 hari kamu tidak sadarkan diri," jawab Mama.

Oh, pantas saja rasanya sudah lama aku tak menatap mata bening Mama. Juga wajah bersihnya yang kian lama kian keriput. Mama yang cantik meski tak mengenal make up dan perawatan salon. Kata orang aku ini mirip Mama, manis. Hanya saja tertutupi oleh wajah super bulanku.

"Kemarin teman-temanmu datang dan mendoakan. Mereka pasti senang mendengar kabar bahwa kamu sudah sadar," ujar Mama.

"Pipit, Ma?" tanyaku.

"Iya, dia tampak sangat sedih melihat kondisimu. Ada Bobi, Tiara, Vika, dan teman-teman sekelasmu yang Mama tidak hafal namanya," jawab Mama. Tapi kenapa Mama tidak menyebut nama Adit?

"Mama kabari Pipit ya," lanjut Mama. Aku mengangguk. Aku ingin bertemu dengannya. Semoga kondisinya juga sedang baik. Aku masih teringat akan masalah besar yang tengah dihadapinya.

"Pipit mau ke sini pulang kuliah nanti," ujar Mama. Alhamdulillah, syukurlah kalau Pipit masih melanjutkan kuliahnya. Itu berarti ia sudah mendapatkan solusi dari masalahnya, entah apapun itu.

Aku menggenggam tangan Mama yang terus tersenyum menatapku. Ah, betapa payahnya aku bila ingin menyerah begitu saja. Bahkan Ayah dan Mama selalu rela berjuang demi diriku. Mana mungkin aku yang mereka perjuangkan ini justru akan berhenti? Aku harus ikhlas menjalani setiap skenario Allah untukku, karena tugasku hanyalah menjadi pemeran yang terbaik.

Kulihat dr. Vera datang untuk memeriksaku. Senyum bahagia terpancar dari wajahnya.

"Alhamdulillah, Raisya cantik sudah sadar. Duh, betapa khawatirnya saya memikirkan kamu. Sampai gak bisa tidur, lho. Ni lihat, mata panda!" canda dr. Vera. Aku tersenyum lemah.

"Raisya sudah bisa pindah ke ruang perawatan biasa," lanjut dr. Vera. "Kamu harus kuat ya, biar cepat pulih!"

Aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Betapa bahagianya aku dikelilingi orang yang begitu baik dan perhatian padaku. Kudengar dari Mama, bahkan dr. Vera membantu mengirimkan mobil dan supirnya untuk menjemputku yang tidak sadarkan diri di rumah, setelah menerima telepon Mama yang panik. Betapa mulia hatinya, tidak memandang hanya dari sekedar apa yang menjadi tugasnya.

Rembulan Kasmaran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang