Rindu

105 0 0
                                    


Mama masih terisak. Pipit memeluk bahunya yang terguncang. Aku belum pernah melihat Mama sekacau ini. Dulu saja Mama tampak lebih tegar. Apakah kondisiku begitu memprihatinkan?

Tak lama berselang, Ayah datang menghampiri kami. Rupanya Ayah baru setengah perjalanan, lalu bergegas kembali pulang. Ayah memeluk Mama dan mengajaknya menjauh dariku, mungkin ingin menanyakan perihal informasi yang disampaikan dr. Vera padanya.

"Adit mana?" tanyaku pada Pipit. Hanya ingin mengalihkan pembicaraan, agar ia tak juga terfokus pada kesedihan Mama, yang aku tak tahu pasti apa sebabnya.

"Ada di luar," jawab Pipit singkat. Aku jadi bertanya-tanya, kenapa Adit malah di luar? Apa dia takut pada Mama, terlebih Ayah?

"Suruh pulang aja kalau emang cuma nunggu di luar. Kamu juga pulang aja ga apa bareng Adit," ujarku sambil menelan ludah. Mengatakan hal ini sungguh membuatku perih, lebih dari tusukan jarum infus yang menusuk urat venaku.

"Iya Ais, aku pulang dulu ya. Udah sore ni. Maaf gak bisa lama-lama. Aku ajak Adit pulang juga," ujar Pipit. Aku tak menyangka jawabannya akan seperti itu. Tak peka kah ia dengan perasaanku?

Kudengar dari balik tirai, suara renyah Pipit berpamitan dengan Mama dan Ayah. Aku menghela nafas panjang. Membayangkan Pipit dan Adit pulang berdua membuat kepalaku semakin pusing. Tapi aku harus mengabaikannya. Harus!

Mama dan Ayah tampak mendekatiku kembali. Ayah membelai lembut kepalaku. Kulihat matanya memerah. Apakah Ayah, pahlawan super masa kecilku yang selalu kokoh dan tegar ini menangis? Karena aku?

"Ais gak usah takut. Kita semua berikhtiar yang terbaik untuk Ais. Tapi Ais gak boleh banyak aktivitas dulu ya, walaupun nanti sudah pulang dari RS," ujar Ayah lembut. Aku mengangguk meskipun sedih membayangkan bahwa kejadian seperti tujuh tahun silam akan kembali terulang.

"Boleh tahu gak sebenarnya Ais kenapa?" tanyaku memberanikan diri. Mereka berdua saling ber-pandangan.

"Ais janji akan tegar kok Yah. Ais hanya ingin tahu," pintaku lagi. Namun tampaknya mereka berdua masih ragu untuk menjelaskannya padaku.

"Gak penting Ais tahu kok, yang penting Ais tetap semangat ya!" ujar Mama dengan suaranya yang masih parau.

"Ais udah dewasa, Ma. Berhak tahu tentang kondisi Ais. Bahkan Ais berhak juga menyetujui atau menolak tindakan yang diberikan kepada Ais," ujarku. Mama dan Ayah tampak terkejut dengan ucapanku. Mereka saling berpandangan lagi.

"Baiklah, Ais. Ayah harap kamu tidak berkecil hati meskipun mengetahui kondisimu saat ini. Ayah harap juga dengan begini kamu jadi lebih peduli dengan kesehatanmu dan mau menuruti perintah dokter."

Ayah lalu menarik nafas dalam. "Penyakit Lupusmu saat ini menyerang ke ginjal, Ais. Akibatnya tekanan darahmu tinggi. Namun yang lebih mengkhawatirkan ternyata fungsi ginjalmu menurun. Dokter meng-evaluasi jika tidak ada perbaikan dengan obat-obatan, mungkin bisa dipertimbangkan cuci darah."

Bagai petir yang menyambar, aku tersentak dalam kebekuan. Bayangan hitam merasuk, mengolah gambaran-gambaran ngeri dalam benakku. Berapa lama lagi aku bisa hidup? Akankah aku mampu menyelesaikan studiku? Ataukah aku hanya berakhir di pembaringan hingga akhir hayatku?

Aku mencoba berpikir jernih dan tidak kalut. Ah, gak perlu lebay, pikirku. Toh saat ini aku tidak merasakan apa-apa. Hanya sedikit pusing. Pasti semua akan kembali normal.

Sejujurnya beberapa hari ini aku memang sudah merasa badanku kurang fit. Tapi karena rasa bahagiaku yang membuncah, semua kuabaikan. Aku memang juga pernah beberapa kali melewatkan jadwal minum obat metilprednisolonku karena mulai khawatir dengan pipiku yang semakin melebar. Tapi obat yang lain selalu kuminum, kok. Apakah pengaruhnya sebesar itu?

Rembulan Kasmaran [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang