li-ma

1K 189 14
                                    

li- ma: You know that I can't. Show you me.

000

"Kamu nggak tau rasanya jadi Mama! PERGI AJA SANA KARENA KAMU NGGAK TAU RASANYA TIDAK DIANGGAP LAGI!"

Adel menapik seluruh perkataan ibunya pagi itu dengan tatapan tajam. Rasanya udara yang baru saja masuk ke dalam rongga paru-parunya sulit untuk dikeluarkan. Seolah ada yang menahan seluruh karbon dioksida di bagian faring-nya. Lehernya terasa tercekik begitu erat. Ibunya menangis tak karuan tepat di hadapannya, tetapi seolah sudah diajarkan memiliki hati sekeras batu dia hanya memandang sekilas sebelum akhirnya pergi dari tempat itu.

"ADEL!"

"ADELIA ROSEANNE!"

Adel benar-benar tidak ingin mendengar namanya diserukan oleh perempuan yang disebut ibunya itu. Pergi dengan pikiran yang menjijikan dan berusaha menghapus seluruh pengelihatan yang baru saja di dapatnya. Dari berpindahnya ibu ke apartemen baru seharusnya sudah menjelaskan keseluruhan permasalahan. Bukan Ayah, bukan pula ibu tetapi keduanya, berniat meninggalkan Adel di rumah besar yang kebanyakan berisi oleh pembantu itu. Kakaknya sudah akan menikah dan hanya memerlukan Ayah sebagai wali lalu tidak lama setelah itu akan kembali ke Australia. Adel akan ditinggalkan, dan apakah dia harus bersedih untuk itu?

"Kita ketemu lagi, nih?" Adel sedang memerhatikan pintu lift yang perlahan menutup ketika diinterupsi oleh suara yang akhir-akhir ini tidak asing di telinganya. Adel melirik sisi kirinya dan mendapati seorang laki-laki dengan senyum ramah nan tampannya seperti biasa. Jika Adel anak SMA kebanyakan mungkin sekarang sudah pingsan, sayangnya, dia bukanlah mereka, ada sesuatu yang sudah lama tertutup dalam dirinya yang menimbulkan sosok Adel ini menjadi rapuh sekali.

"Pagi." Adel menyapa ala kadarnya. Selain memang sering berkunjung ke gedung apartemen ini untuk bertemu ibunya—yang mana kali ini diantarkan dengan kekecewaan—dia cukup sering bertemu dengan laki-laki yang tampaknya seusia kakaknya di gedung ini. Entah berpapasaan saat di lorong apartemen, di dalam lift, di lobi depan atau bahkan di jalan yang tidak jauh dari gedung apartemen.

Biasanya laki-laki ini mengenakan pakaian yang santai seperti kaos dan jaket kulit ala kadarnya, tetapi berbeda level jika yang menggunakannya adalah dia. Laki-laki tampan berbadan atletis dan senyuman yang selalu mengembang. Belum lagi laki-laki ini meninggalkan kesan seksi dan menyenangkan. Tidak menjijikan dan sikapnya mencerminkan apa adanya dirinya. Namun hari ini, laki-laki di samping Adel mengenakan setelan rapi jas dengan rambut yang di beri pomade agar tidak acak-acakan. Terlihat lebih tampan dari hari-hari biasanya.

"EH iya selamat pagi, baru menjenguk ibumu?" Tanyanya, masih belum menurunkan pandangan dari Adel.

Adel mengangkat kedua bahunya sedikit. "Begitulah, nggak biasanya pakai jas."

Laki-laki tersebut menggaruk tengkuknya merasa tidak nyaman, mungkin merasa tidak terbiasa dengan gaya yang baru Adel lihat ini. Terlebih dengan setelan formal, sungguh di luar dugaan. "Ah ini? Ada tunangan temen, yah kalau nggak di paksa juga nggak mau. Gimana? Jelek banget emang?"

Adel mengangkat satu halisnya ketika Cristian—nama laki-laki yang berada di sebelahnya—bertanya soal penampilan, biasanya dengan tingkat kepedean yang tinggi dia selalu merasa tampan setiap saat tanpa merasa ragu sedikit pun, dan mempertanyakan penampilannya pada Adel adalah sesuatu yang baru di dengarnya. Melihat raut serius menunggu jawaban Adel sepertinya Cris benar-benar serius dengan ucapannya, membuat Adel mau tak mau angkat bicara, "Not bad, look like another side of you. Masih ganteng kayak biasa."

"Ohh good then." Lalu Cris bernapas dengan lega. Adel mencoba mengacuhkan sikap aneh Cris dan menunggu lift sampai lantai bawah. "Seengganya nggak buruk kan?"

OBLIVION [97 Line]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang