de-la-pan

911 195 19
                                    

de-la-pan; muasal dari hubungan

***

Terkadang ada beberapa hal yang diselipkan untuk menjadi skenario yang tidak diduga

***


Jeffry memandangi istana—rumah bertingkat bernuansa serba krem di hadapannya. Bahkan motor maticnya serasa menjadi jomplang parkir di depan gerbang yang menjulang tinggi-tinggi di hadapannya. Jeffry mengingat-ingat lagi alamat yang diberikan oleh bu Suangsih tempo hari. Blok K nomor 26, dan itulah yang tertera di depan gerbang. Bertuliskan oleh tembaga kuning dengan ukiran batik. Ini sih namanya orang kaya.

Jeffry memencet bel rumah tersebut hingga muncullah seorang satpam pintu depan menyambut Jeffry.

"Temennya Non Rose? Tunggu di sini dulu ya den," ujar satpam tersebut dengan logat khas Jawanya. Jeffry dipersilakan masuk gerbang, sedangkan motornya simpan di depan saja. Sedangkan dia dipinta duduk di sebuah gazebo sebelah kantor satpamnya. Gila sampai punya kantor satpam sendiri.

Larut dalam keheranan akhirnya Jeffry tersadar dari lamunannya ketika pak Satpam kembali menginterupsi. "Den, namanya siapa?"

"Jeffry," jawabnya, "—suruhannya bu Suangsih," tambah Jeffry lagi. Mungkin saja Adel tidak akan mengingat perjanjiannya dengan bu Suangsih.

Pak Satpam itu kembali masuk ke dalam pos dan melanjutkan teleponnya membuat Jeffry berpikir, mungkinkah tamu-tamu lain akan diperlakukan sama dengannya, dipinta duduk di gazebo untuk konfirmasi kedatangan tamu seperti ini.

Jeffry memang sebelumnya pernah mendengar jika di komplek tempatnya tinggal ada seorang Crazy Rich pemilik kebun teh di Ciwidey, pemilik property, pemilik perusahaan, dan entah pemilik apalagi—Jeffry tidak tau. Orang kaya yang Jeffry temui tiap sebulan sekali tidak pernah tampak dapat mengalahkan seorang Crazy Rich ini. Namun, tidak pernah terlintas sedikitpun dalam kepala Jeffry jika anak dari orang kaya ini adalah temannya di sekolah yang bermasalah.

"As expected anak teladan."

Jeffry mendongakkan kepala dan mendapati Adel dengan muka bantal berdiri di hadapannya. Membuat Jeffry tersenyum kecil.

"Lah Non Rose sudhah di sini, tho, baru aja mau bilang kalau Non Rose udah berangkat, ternyata berangkat ke sini." Pak Satpam keluar dari posnya menyampaikan pesan yang didapatnya dengan menyesal, tetapi usai melihat Adel sudah berdiri tak jauh dari gazebo membuatnya sumringah.

"Pagi Pak Marno," sapa Adel, sontak Jeffry mengernyit, seorang Adel yang dikenal galak menyapa seseorang adalah hal yang baru ditemuinya.

"Pagi Non. Maaf-maaf ya Non nggak saya izinin masuk, takutnya bukan temen Non, saya masih ragu."

Adel mengangkat bahu dengan cuek. "Lagian gue juga nggak ngarep dia masuk ke rumah, biar aja nunggu di sini."

Ouch ... kata-kata yang menyakitkan.

Pak satapam—pak Marno menganggukkan kepalanya. "Baik Non, mau berangkat ya Non. Selamat jalan."

"Iya pak, gue pamit. Ntar kalau Ayah pulang bilangin gue udah nggak pulang dua bulan."

Pak Marno tertawa menanggapi ucapan Adel, sedangkan Jeffry memandangi dengan kikuk tidak memahami pembicaraan keduanya. "Biarlah siapa tau ntar dibikinin pamflet."

Belum Pak Marno menjawab, Adel mengalihkan pandangan pada Jeffry dan menatapi laki-laki itu agak tajam, entah mengapa Adel benar-benar tidak memiliki firasat baik atas laki-laki di hadapannya. Wajahnya bak malaikat, senyumnya menawan hati, sayangnya Adel dapat melihat sesuatu disembunyikan dalam mata indahnya, sebuah kegelapan yang lambat laun dapat menggerogoti. Adel bukan cenayang yang dapat melihat isi pikiran manusia dengan menatap matanya, Adel hanya memiliki kemampuan membaca seseorang berkat didikan sang Ayah. "Lo masih mau leha-leha terus berurusan sama Bu Suangsih apa mau berangkat taun depan?"

OBLIVION [97 Line]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang