Mikasa berdiri di depan kelas seusai pelajaran terakhir.
"Teman-teman, aku di minta ketua osis untuk mencatat siapa saja yang akan ikut festival olahraga minggu depan. Jadi silahkan angkat tangan yang ikut..."
Memang kepribadian seseorang sulit di tebak, tapi ya jangan gini juga.
Mikasa melihat siswi di kelasnya sedang mengelilingi Eren. "Memalukan." Gumamnya. "HEI, KALAU TIDAK DENGAR AKU AKAN MENGUNCI KELAS INI." Mikasa berteriak ala Yanke (Preman terorganisi di Jepang).
Seketika kelas itu hening.
Mereka pun mulai melakukan pemilihan wakil untuk setiap perlombaan. Ada yang terpaksa melakukan ada yang dengan suka rela mendaftarkan dirinya. Mikasa pun menulis setiap nama mereka.
"Oke semuanya sudah ya. Jadi tolong lakukan yang terbaik untuk kelas kita oke?."
"OKE." Serempak menjawab.
"Sasha, sini." Pinta Mikasa.
Sasha sambil membawa tasnya mendekati Mikasa. "Ada apa? Aku mau cepat pulang, ada toko kue baru di stasiun."
"Aku akan membelikanmu roti saat istirahat besok, tapi tolong berikan daftar ini kepada Erwin, ya?."
"Aku tidak mau." Jawab Sasha.
Mikasa menarik tas Sasha. "Sha, aku akan belikan kue di toko kue yang baru itu."
"Beneran?."
Mikasa mengangguk.
"Baiklah." Sasha mengambil daftar itu lalu pergi ke tempat Erwin.
"Sampai kapan aku terus begini? Aku tidak bisa berada di dekatnya seperti sebelumnya." Mikasa kembali ke tempat duduknya.
Eren memperhatikan perubahan ekspresi wajah Mikasa.
"Eren, jika ada yang ingin di tanyakan, bicarakanlah. Jangan terus menatapku." Kata Mikasa.
"Bagimana dia bisa tahu aku memperhatikannya?." Pikir Eren. "Padahal dia menghadap depan, apa dia punya mata di belakang kepalanya?." Pikir Eren.
"Jangan berpikir yang macam-macam." Mikasa menoleh.
"Aaa..." Eren kaget melihat tatapan mata Mikasa. "Tatapan matamu tidak baik untuk jantungku." Gumam Eren.
"Apa yang kamu katakan?." Tanya Mikasa.
"Ti... tidak ada." Jawab Eren.
"Jadi apa yang ingin kamu tanyakan?."
Eren bangkit berdiri. "Tidak ada." Katanya lalu pergi meninggalkan Mikasa.
"Dia aneh." Gumam Mikasa
Sepulang sekolah Mikasa pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan.
"Aku tidak tahu apa yang lelaki itu suka? Papa selalu menjawab enak untuk setiap makanan yang ku masak tapi dia terlihat tak berselera makan. Mama biasanya bikin masakan apa ya buat Papa?." Mikasa melihat kentang di depannya. "Ah, kenapa aku jadi ingat Sasha. Besok aku harus traktir dia makan kue. Hum, uang jajan ku cukup tidak ya? Masa aku harus minta uang jajan lagi? Papa sepertinya tidak sesibuk seperti dulu, apa dia sudah berhenti kerja ya? Aku harus bertanya padanya. Atau aku meminta ijin padanya untuk bisa bekerja paruh waktu."
Mikasa mengambil sebuah tomat di depannya. Lalu dia memajukan kereta belanjaannya ke tempat lain. "Ah, aku takut bertanya padanya, Papa pernah di tolak keluarga Mama ketika dia mau jadi wali ku setelah kepergian Mama, nenek berkata Papa adalah orang luar, dia tidak akan bisa mengurus seorang anak yang bahkan bukan darah dagingnya. Nenek sangat keras waktu itu, tapi entah kenapa Papa bisa meyakinkan nenek. Aku penasaran, tapi aku malas menanyakan itu kepada Papa dan juga Nenek. Nenek, waktu aku liburan di sana dia mengurungku di rumahnya saat aku mau pulang, katanya dia sudah mendapat ijin dari Papa untuk membiarkan aku menginap lebih lama di rumah Nenek. Tapi malam harinya Papa datang lalu membawa ku pergi. Dia tidak mengatakan apapun, tapi wajahnya terlihat sedih."
"Mikasa..."
"Ah, memikirkan Papa jadi aku merasa ada Papa di sini." Mikasa berjalan ke sampingnya mengambil telur.
"Mikasa kamu mau buat apa malam ini?."
Mikasa terkejut karena keberadaan Levi hingga dia pun menjatuhkan telur yang di pegangnya.
Di rumah.
"PAPA, BISAKAH KAMU MENYAPA DENGAN BIASA SAJA? KITA HARUS MENGGANTI TELUR YANG PECAH, ITU KARENA AKU KAGET PA."
Levi melihat Mikasa yang terus mengoceh. "Ya, tapi kan itu uang Papa."
"JADI AKU BISA MELAKUKAN APAPUN JIKA PUNYA UANG?."
"Dia masih marah?." Levi menundukkan kepalanya. "Ya, Mika, maafkan Papa ya. Papa mengira kamu sudah tahu ada Papa jadi Papa mendekatimu, ternyata kamu lagi melamun." Levi berdiri di depan Mikasa.
Mikasa menunduk. "Apa aku boleh bertanya?." Air matanya menetes saat dia berbicara.
Levi menangkup pipi Mikasa. "Kenapa nangis?."
"Ada yang aku gak tahu tentang Papa, aku ingin menanyakannya." Kata Mikasa sambil terisak menangis.
"Tadi marah, sekarang nangis." Levi menyeka air mata putrinya itu. "Apa?" Levi mengajak Mikasa duduk.
"Siapa Papa sebenarnya?." Tanya Mikasa.
Pertanyaan aneh untuk seorang anak yang sudah tinggal bersama selama ini. "Aku Levi. Aku Papamu."
"Bukan itu."
"Lalu?."
"Apa pekerjaan Papa?." Tanya Mikasa.
"Aku, hem, bagaimana menjelaskannya ya? Banyak perkerjaan yang aku lakukan. Bisa di katakan aku seorang agen hahaha..."
"Agen?."
"Ya, aku tidak bisa menjelaskannya. Pemberi jasa."
Mikasa terdiam.
"Baiklah aku akan ceritakan Papa saat bertemu Mama saja bagaimana?." Tanya Levi.
Mikasa mengangguk.
"Mamamu dan aku bertemu saat dia berada di sebuah cafe, aku bukan tipe lelaki yang mudah menyukai wanita tapi saat aku melihat Mamamu aku langsung melamarnya."
"Langsung?." Mikasa terkejut dengar cerita versi dari Papanya.
"Ya, dan tentu saja dia langsung menolak. Dia mengatakan sudah punya anak. Aku tidak menyerah, sering kali datang ke cafe membuat Mama mu penasaran dan akhirnya kami pun berpacaran. Dengan syarat..."
"Syarat?."
"Ya, dia meminta aku menyayangi mu." Pandangan Levi menerawang, mengingat pertemuan pertama dengan Mikasa.
Mikasa diam menunggu lanjutan ceritanya.
"Awalnya Papa berpikir itu akan mudah, tapi rasanya sulit saat Papa tahu anak calon istriku itu ternyata bukan anak-anak lagi." Levi tertawa saat melihat Mikasa. "Dia sudah besar dan bahkan bisa melakukan apa pun seorang sendiri, jadi aku merasa seperti Papa yang tidak berguna."
YOU ARE READING
Ackerman : Papa dan Putrinya
Fanfiction"Apa ada di antara kamu yang mengerti rasanya di tinggal seseorang, jika di hanya pergi keluar kota atau ke luar negri kamu hanya perlu menelepon dia. Tapi bagaimana rasanya kamu di tinggal selamanya. Tidak akan pernah bertemu lagi, tidak akan pern...