Mikasa menemani Levi di ruang ICU. Tidak ada yang bisa dia perbuat selain meminta kepada Sang Pencipta untuk membiarkan Levi tetap hidup. Saat seperti inilah Mikasa merasa sangat kesepian.
Eren tidak mengerti kenapa dia datang ke rumah sakit. Dia merasa tidak perlu untuk datang tapi kakinya seakan bergerak sendiri. "Huft, ini di depan rumah sakit. Kenapa ke sini ya? Apa alasannya ya? Haduh..." Eren menggaruk rambut kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Ah, kasih ini aja deh." Pikirnya.
"Eren?"
Eren menengok ke belakang. Dia melihat Mikasa yang berpenampilan biasa saja. "E... Mikasa."
Mikasa mengikat rambutnya. "Kenapa gugup?"
"Ah gak apa-apa." Eren melihat bungkusan yang di pegang Mikasa. "Itu makan siang?" Tanyanya.
"Bukan, ini buat makan malam. Aku sudah makan siang barusan. Malas pergi keluar lagi, jadi beli sekalian." Mikasa tersenyum.
"Mikasa kamu yang sabar ya."
"Sabar kenapa?"
"Ah, gak. Maksudnya em... aku tidak tahu harus berkata apa jadi aku hanya bisa berkata itu." Eren menunduk. "Maaf."
"Ya, gak masalah." Mikasa mengajak Eren duduk di taman rumah sakit.
"Aku membawa buku catatan." Eren memberikan buku pelajarannya.
Mikasa membuka buku Eren. "Ah, Eren ini acak-acakan..."
Eren baru ingat dia tidak terampil mencatat. Dia pun mengambil kembali bukunya. "Iya, jangan di liat deh, nanti tambah pusing."
Mikasa merebut bukunya kembali. "Kenapa? kan sudah di pinjam kan." Mikasa menaruh buku Eren di dalam saku jaketnya. "Teimakasih."
"Jaket itu, bukannya terlalu besar untuk kamu pakai?"
"Ini punya Ayah." Mikasa tersenyum tipis. "Bukan kenapa-kenapa, hanya saja jaket ini cukup tebal. Aku tidak kuat dengan AC di dalam ruang ICU. Jadi aku pakai."
"Aku kira kamu kangen."
"Apa aku belum cerita ya. Ayah bukan Ayah kandungku. Dia baru menikah dengan Ibu belum terlalu lama. Jadi begitu..."
"Maaf ya..." Eren bingung karena informasi itu. "Tapi dia Ayah yang baik kan?"
"Ya dia baik." Mikasa menunduk.
"Mikasa jangan menangis." Eren mendekati Mikasa.
"Aku hanya bingung, kenapa orang yang aku sayangi satu per satu meninggalkanku. Apa karena aku punya nasib sial?"
"Mikasa jangan bicara seperti itu." Eren menyemangati Mikasa. "Oh ya aku lupa, ini mengenai Kak Petra."
Mikasa menatap Eren. "Ada info apa?" Tanyanya dengan semangat.
"Wanita ini, barusan dia seperti mau menangis, tapi saat ini dengan cepat dia bersemangat. Dasar betina." Pikir Eren. "Aku gak tahu kenapa, tapi Ayah pulang ke rumah beberapa hari lalu. Dia tidak pergi dinas lagi itu sangat aneh..."
"Lalu apa hubungannya dengan Petra?" Tanya Mikasa tidak sabar.
"Sepertinya Kak Petra bekerja di tempat yang sama dengan Ayah."
"Ayahmu bukannya dokter?"
"Iya sih. Tapi aku merasa mereka mempunyai hubungan pekerjaan. Karena saat Kak Petra menginap di rumah pasti saat itu juga ada Ayah."
"Benarkah seperti itu?" Mikasa penasaran.
"Ya, yang makin membuatku curiga adalah mereka sering bicara berdua di ruang kerja. Ruangan di rumah yang kedap suara. Apa mereka takut kami mendengar?"
"Kami?"
"Ya, Ibu. Kami seperti orang luar dalam keluarga sendiri. Ayah selalu mengurung diri di ruang kerja selama ada di rumah. Jadi aku merasa kami asing di rumah sendiri."
"Begitu ya?"
"Mikasa apa kamu mencurigai pekerjaan Ayahmu?"
"Ya, aku sedikit curiga karena dia seperti seorang gelandangan tapi entah kenapa uangnya banyak. Ada berbagai kemungkinan tapi aku rasa itu tidak masuk di akal."
"Kemungkinannya apa?"
"Ya, salah satunya aku berpikir dia adalah seorang agent atau mata-mata. Itu yang paling tepat tapi itu juga yang aku rasa tidak masuk akal."
"Spy?"
"Ya, itu..."
YOU ARE READING
Ackerman : Papa dan Putrinya
Fanfiction"Apa ada di antara kamu yang mengerti rasanya di tinggal seseorang, jika di hanya pergi keluar kota atau ke luar negri kamu hanya perlu menelepon dia. Tapi bagaimana rasanya kamu di tinggal selamanya. Tidak akan pernah bertemu lagi, tidak akan pern...