Chapter 3

55.9K 7.6K 369
                                    

Tengah malam update lagi. Nggak papa deh. Mumpung ide lagi ngalir.

Enjoy
*
*
*

"You are late."

Itu kalimat pertama Gandi setelah tertawa lebar begitu melihat wajah gue. Mbak Anya menoleh ke arah gue dengan kening berkerut. Gue menggeleng sebagai jawaban.

Mbak Anya itu cerdas. Dengan mudah pastinya dia menangkap interaksi gue dan si casanova sialan ini. Tapi, gue nggak akan mau mengakuinya. That was embarassing.

Ajeng, santai. Lo harus profesional. Saat ini, kutu kupret di depan lo adalah klien lo, sumber gaji lo untuk bulan ini, penentu penetapan promosi lo dua bulan ke depan.

Gue berusaha mensugesti diri gue. Dimulai dari mata gue yang tidak terbelalak lagi dan bibir gue yang sudah tersenyum manis ke arahnya.

Shit. Kenapa susah banget sih gue untuk fake smile aja?!

"Maaf, Pak. Tadi ada sedikit—"

Si arsitek songong itu mengangkat tangannya, meminta Mbak Anya untuk menghentikan ucapannya.

"Which one is Evelyn?"

Oke. Sepertinya dia sudah tahu siapa hostnya.

"Evelyn tidak ada, Pak. Dia berhalangan hadir. Bapak akan diinterview oleh host kami yang lain. Namanya Ajeng," Mbak Anya memperkenalkan gue pada si arsitek menjijikkan itu.

Gue tersenyum pura-pura manis sembari mengulurkan tangan kanan gue. "Saya Ajeng, Pak. Senang berkenalan dengan Anda."

Well, gue sengaja pakai kata 'Anda' supaya dia tahu batas profesionalitas kami.

Masih dengan senyum super menyebalkannya, dia menjabat tangan gue. Erat. Asem. Pengen gue gampar nih cowok.

"Ajeng, nama yang cantik. Saya Gandi. Senang bertemu kamu lagi."

Goddamnit. Dia pasti sengaja ngomong seperti itu. Pasti Mbak Anya sudah mikir yang nggak-nggak tentang gue. Dia pasti mikir gue pura-pura nggak kenal sama si kutu kupret sialan ini.

Aaaghhhh. Pengen ngegampar orang deh gue sekarang.

Gue menatapnya tajam saat dia tak juga melepaskan jabatan tangannya. Si Gandi gila ini cekikikan lalu akhirnya melepaskan tangan gue dan kembali duduk di singgasananya.

Dia menoleh pada Mbak Anya, menebar feromon, "so you are..."

"Anya. Produser. Semoga kita dapat bekerja sama dengan baik. Sorry for the inconvinience back then. That was unexpected," Mbak Anya berucap diplomatis.

Gandi mengangkat bahu. "Sudah saya maafkan. Saya gampang luluh pada perempuan cantik. Apalagi perempuan cantiknya ada dua."

Mbak Anya tersenyum palsu. Ya. Gue bisa jamin. Sementara gue rasanya mau muntah saat ini juga.

He might ne clever as hell, tapi dia benar-benar bodoh memperlakukan dua wanita independen seperti gue dan Mbak Anya. Dia salah kalau kami lemah dengan senyum dan gombalannya.

"Anya, bisa kasih kami satu-dua menit untuk ngobrol? Kami perlu menjalin chemistry agar tidak terlihat kaku di depan kamera. Benar, kan?"

"Sure. Kami memang selalu melakukannya sebelum memulai shooting," balas Mbak Anya kemudian. Dia lalu menoleh pada gue. "Ajeng, tolong berikan materi yang sudah kita susun pada Pak Gandi. Kalau begitu saya pamit dulu."

Mbak Anya dengan tenang melenggang meninggalkan gue dan si casanova sialan ini. Hanya berdua. Gila.

Oke. Gue pasti bisa mengatasi ini semua. Ini cuma obstacle kecil. I can get through this.

Over The Moon (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang