Ada Apa Dengan Hatiku

22 0 0
                                    

Son Haji

Kulihat dia sedang tersenyum malu, saat salah satu anggota rombongan umroh menggodanya, beberapa diantara mereka tertawa, entah apa yang sedang diperbincangkan. Hari ini kami akan berkeliling ke masjid qiblatain, kebun kurma, dan pasar murah. Karena besok bada sholat jumat, kami harus segera bertolak menuju Mekkah. Kami akan mengambil miqot di Bir Ali.

Sebenarnya aku ingin mendekat dan ikut tertawa bersama mereka, namun entah mengapa aku merasa jika dirinya begitu tidak nyaman ketika aku ada diantara mereka. Sehingga aku harus cukup puas melihatnya dari kejauhan. Jikapun aku bisa mendekat, itu karena salah satunya juga karena insiden dirinya pingsan kemarin. Aku terkadang heran dengan dirinya, karena biasanya anggota rombonganlah yang berusaha mendekat padaku, entah dengan alasan yang kadang-kadang terlalu dibuat-buat. Namun dirinya begitu berbeda, dia sangat menjaga jarak, kalaupun dia mau berinteraksi denganku itu juga karena ustadz Adhi yang meminta dirinya untuk menemuiku. Aku sudah sering memperhatikan dirinya, tak juga kulihat cincin pertunangan ataupun cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya.

Aku mengantarkan beberapa anggota rombongan yang ingin berkeliling ke dalam kebun kurma. Aku melihatnya duduk di salah satu bangku yang tersedia di bawah pohon kurma, tampaknya asyik menulis sesuatu. Aku memalingkan pandangan, terdengar suara bu Risya memanggil namanya.

"Bu Ayana, ikutan kita keliling kebun yuk, " ajak bu Risya.

Kulihat dari sudut mataku, dia menggelengkan kepala.

"Terima kasih bu Risya, tapi saya disini saja," kudengar dia menjawab.

Kami akhirnya meninggalkan dirinya yang kini tenggelam dalam kegiatannya sendiri. Dia sedang asyik menulis. Dari pengamatan beberapa hari ini, dia memang selalu membawa buku itu kemanapun dirinya pergi.

***

Kami telah sampai ke titik awal dari perjalanan mengelilingi kebun kurma dan kulihat wanita itu masih setia duduk di bangkunya. Namun kali ini aku melihat ada genangan airmata di sudut matanya, yang dia coba sembunyikan dengan menatap langit kota Madinah yang tampak biru mempesona.

"Ustadz, kita balik ke bus. Kita lanjutkan perjalanan kita ke tujuan yang lain," ucapan ustadz Adi menyadarkan diriku sepenuhnya.

"Baik ustadz, saya akan memberitahu jamaah yang mungkin masih sibuk berbelanja di dalam. Antum bisa duluan," jawabku sambil berjalan.

Ayana

Aku mengamati tempat ini, seakan berat untuk meninggalkan kota Madinah. Kota yang menawarkan keramahan dan kebersihan yang begitu terjaga. Setiap jengkal langkah seakan tiada habis untuk memuji. Sungguh aku ingin menghabiskan sisa umurku di tempat ini. Ini hari terakhir kami di kota Madinah. Sebentar memang, tapi mengapa begitu enggan untuk beranjak pergi.

Aku mengedarkan pandangan ke sekitarku, angin terasa sejuk mengalir menerpa wajahku. Sungguh sangat kontras dengan udara di luar sana. Rimbunnya pohon kurma membuat suasana begitu asri di tengah padang pasir yang gersang. Siapa menyangka, di daerah yang begitu tandus dan gersang, akan aku temui tempat senyaman ini. Aku menutup buku di pangkuanku. Kembali menatap di sekelilingku, berusaha merekam sebanyak mungkin kenangan dalam ingatan. Meraup sebanyak mungkin keindahan yang akan senantiasa kukenang. Perjalanan ini mengajarkan aku sebuah alasan, bahwa setiap kejadian akan diri kita senantiasa ada yang mengatur. Bahwa kita tak bisa menganggap rendah bagaimana rupa dan pekerjaan seseorang, karena jika Allaah telah menentukan taqdirNya maka siapapun tiada berkuasa menghalangi.

"Maaf bu, kita sudah ditunggu di bus. Kita harus melanjutkan perjalanan, masih ada beberapa tempat yang akan kita kunjungi"

Seseorang baru saja membuyarkan lamunanku akan kondisi di sekitarku. Aku menganggukkan kepala dan tersenyum sesaat. Berdiri mengikuti langkah kaki lelaki muda itu tanpa menjawab atau bertanya apapun. Kami melangkah dalam keheningan. Aku kembali berhenti, mengamati tempat ini sekali lagi. Sebelum akhirnya melangkah mengikuti langkah lelaki di depanku ini. Menarik nafas panjang, mencoba mengurai setiap rasa yang menyesakkan dada.

Airmata mengalir tanpa kusadari, betapa aku merasakan arti kehadirannya di sisiku. Betapa aku bodoh pernah tak bersyukur atas kehadiran dirinya dalam kehidupanku. Betapa aku begitu sering menyia-nyiakan kesempatan saat bersamanya. Benarlah kata pepatah, kita akan menghargai kehadiran seseorang dalam hidup kita jika orang itu telah hilang dari hidup kita. Betapa kita tak pernah menganggap penting apa yang ada di samping kita, betapa terkadang kita melupakan siapa yang ada di sebelah kita dengan sibuk berkhayal tentang yang lainnya.

Ya Allaah, ampuni hamba yang kurang bersyukur ini. Bimbing hamba agar selalu berusaha memperbaiki diri, jangan tinggalkan diri hamba yang masih terseok menjalani perintahMu ini.

Rindu yang kutitipkan melalui kawan
Rindu yang kutinggalkan di bangku taman
Rindu yang kulayangkan ke awan-awan
Rindu yang kutambatkan di pelabuhan
Rindu yang kuletakkan di atas nampan
Rindu yang kuratapi dengan tangisan
Rindu yang kulirikkan dalam nyanyian
Rindu yang kusembunyikan dalam lukisan
Rindu yang kusiratkan dalam tulisan
Sudahkah kau temukan?

Madinah, kota dengan segala pesonanya. Kota dengan semua daya tariknya. Kota dengan seluruh kecantikannya. Telah menambat hatiku terlalu jauh dn terlalu dalam. Seuntai doa terucap penuh kesungguhan, semoga suatu saat Allaah memperjalankan diriku dan semua orang yang kucintai kembali ke Madinah. Menetap dan menghembuskan nafas terakhir di kota ini. Sungguh aku akan merindukan setiap sudutnya. Mengimpikan berjalan-jalan kembali di setiap langkah kaki menyusuri setiap lorongnya. Menapak setiap jengkal sudut kota yang menawan ini. Semoga suatu saat Allaah mengizinkan dan mengabulkan. Bersama seseorang yang akan menuntunku menikmati setiap sudutnya, bersama seseorang yang akan menemani menyambut hari baru disini.

One Moment in HaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang