Sekilas Tentang Dirinya

41 2 0
                                    

Son Haji

Aku masih menatapnya, penuh ingin tahu. Tutur kata dan sikap ramahnya kepada seseorang yang saat ini menyapanya lewat hp, begitu bertolak belakang dengan sikap yang ditunjukkannya tadi. Aku terperangah, kulihat dirinya juga sedang menatapku. Kulihat senyum tercetak di sudut bibirnya, dia pun menganggukkan kepala. Aku ikut tersenyum, menutupi rasa malu karena ketahuan sedang mengamati dirinya. Kualihkan pandanganku pada sopir di seberang tempat dudukku

"Deremah kabar biniknah, seporanah tak bisa nyongok." (Bagaimana kabar istrinya, maaf saya belum sempat jenguk)

Aku membuka pembicaraan dengan sopir di sebelahku. Aku cukup mengenalnya, selama hampir setahun ini berinteraksi dengannya, membuatku sedikit banyak tahu tentang dirinya dan keluarganya. Juga tentang kabar istrinya yang baru saja keluar dari rumah sakit karena kehilangan janinnya. Pekerjaanku sebagai mutowwif bagi rombongan jamaah haji dan umroh mengharuskan aku mengenal beragam jenis karakter dan pekerjaan orang lain yang berkaitan dengan tugasku. Dari sopir bus, para penjual kartu perdana di sekitaran Bandara Internasional King Abdul Aziz, para petugas di pintu jaga bandara bahkan sampai para penjual cinderamata dan oleh-oleh khas Arab Saudi di sekitaran hotel yang sering kami tempati bersama rombongan.

"Alhamdulillaah lee beres," (Alhamdulillaah sudah baikan)  jawabnya singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan di depan. Meski jalanan yang kami lalui sedikit lengang karena tidak banyak kendaraan yang lalu lalang, tidak lantas membuatnya menurunkan konsentrasinya.

"Mak bisah keguguran, kening apah, " tanyaku lagi (Bagaimana bisa keguguran, kenapa)

"Cak an dokter kelesoan, mbik kondisien tang bayi lemah, " (Kata dokter kecapaian, juga kondisi janin yang lemah) jawabnya sendu. Ada gurat kesedihan di wajahnya, terdengar hela nafas panjangnya. Tangan kirinya bergerak mengusap wajahnya, mengusir kegusaran yang sempat hinggap di sana

"Mander Allaah aberik selebih bagus ye, " (Semoga Allaah memberikan ganti yang lebih baik ya) doaku tulus untuknya.

"Aamiin ya Rabb, sekelangkong dunganah. " (Aamiin ya Rabb, terima kasih doanya)

Lama kami terdiam dalam pikiran masing-masing. Aku menatap jalanan di depan sana, namun pikiranku terbang melayang entah kemana.  Tanganku sesekali memijit pelipis. Beberapa hari kurang beristirahat membuat tekanan darahku agak sedikit menurun.

"Ustadz dibik dekremah, bileh undanganah? " (Ustadz sendiri bagaimana, kapan undangannya)

Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuatku sukses tersedak, sopir di sampingku ini tertawa penuh kemenangan melihat keterkejutanku.

"Gi tak nemuh sek cocok, dungak agih yeh, " (Masih belum ketemu yang cocok, doakan juga ya) jawabku singkat

"Tak salah ustadz, kurang ongguh-ongguh dunganah. Tak usah todus minta juduh, lah wajar, " (Apa tidak salah ustadz, kurang sungguh-sungguh mungkin doanya. Tidak usah malu juga minta jodoh, wajar lah)  jawabnya sambil tertawa.

Aku mendengus kesal, pembicaraan seperti ini yang paling aku hindari selama ini. Suara tawa khas ustadz Adhi berbaur dengan suara tawa sang sopir. Aku menolehkan pandanganku ke belakang, kulihat ustadz Adhi pun tertawa lebar sembari memegang perutnya. Tanpa sengaja tatapanku beralih ke bangku di belakang sopir sebelahku. Dan kulihat wanita itupun tersenyum malu. Semoga mereka tidak tahu apa yang sedang kami bicarakan ini. Karena terus terang, jarang sekali bahkan kecil kemungkinan orang Bandung akan mengerti bahasa yang kami gunakan. Bahasa suku Madura.

"Ustadz Adhi kenapa tertawa? " tanyaku sedikit gugup. Sungguh malu jika beliau tahu apa yang sedang kami percakapkan.

"Lah pak sopir tertawa, saya juga ikut tertawa, " jawabnya klise

Aku tertawa mendengar jawaban beliau, apalagi sopir di sampingku ini.  Semakin meledak suara tawanya mengisi keheningan dalam bus. Kulihat wanita di belakangnya, tangannya membekap mulutnya sendiri. Mencoba menyembunyikan gelak tawa yang sedari tadi ingin keluar dari mulutnya.

"Bu Ayana ngerti memangnya?"

Kudengar suara ustadz Adhi kepada perempuan di seberang tempat duduknya. Ayana, kusimpan nama itu dalam ingatan.

"Alhamdulillaah sedikit banyak mengerti ustadz, intinya istri pak sopir ini barusan keguguran karena janinnya lemah, " jawab wanita bernama Ayana itu atas pertanyaan ustadz Adhi.

Aku menolehkan pandangan takjub padanya, sangat jarang bahkan hampir tidak pernah ada rombongan dari Bandung yang mengerti apa yang  tadi aku percakapkan dengan sopir di sebelahku ini. Jadi dia juga mengerti pembicaraan sopir kepadaku yang membuatnya tertawa

"Terus yang membuat pak sopir tadi tertawa tentang apa? " cerca ustadz Adhi pada wanita itu.

Wanita itu tidak langsung menjawab, matanya beralih menatapku. Senyum malu menghias bibirnya, ustadz Adhi menatapku heran.

"Kalo itu ustadz Adhi tanya langsung saja sama ustadz Son Haji, saya rasa beliau lebih berhak menjelaskan apa yang tadi beliau perbincangkan," jawabnya sangat diplomatis.

Aku menghela nafas lega, jawaban itu setidaknya menyelamatkan diriku saat ini. Ustadz Adhi menatap padaku meminta penjelasan. Aku hanya terkekeh melihat tatapan penuh tanda tanya itu, begitupun sang sopir. Beliau mengangguk maklum.

"Ustadz, dalam hadist sudah diriwayatkan jika sedang bersama, kita dilarang menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh semua orang dalam kelompok itu. Kali ini saya maafkan, tapi lain kali saya minta penjelasan, " jelas ustadz Adhi padaku.

"Baik ustadz, mohon maaf," ucapku sambil menganggukkan kepala, kulihat sopir pun menganggukkan kepala tanda mengerti. Ustadz Adhi kembali menyandarkan kepalanya, beliau tampak memejamkan mata. Tak berapa lama kudengar hembusan nafas teratur, pertanda beliau telah terlena ke alam mimpi. Aku menatap wanita itu, "terima kasih, " ucapku pelan serupa bisikan.

Dia menganggukkan kepala sembari berbisik, "sama-sama.".

Tangannya menangkup di depan dada. Dia mengalihkan pandangannya pada pemandangan yang terhampar diluar kaca bus yang masih melaju kencang.

Aku kembali menyandarkan kepala, tanpa sadar seulas senyum tersungging di bibirku. Suara deheman membuatku menoleh ke sampingku, kulihat senyum menggoda dari sopir di sebelahku. Aku mengepalkan tangan. Dia terkekeh pelan.

Tanpa terasa kumandang adzan maghrib terdengar dari kejauhan, aku menatap pergelangan tanganku. Jam sudah menunjukkan pukul 18.10 waktu setempat. Bus terus melaju, masih sekitar 2jam lagi waktu yang harus kami tempuh untuk sampai ke Madinah. Aku meluruskan punggung, mencoba memejamkan mata yang mulai lelah. Perjalanan masih panjang...

One Moment in HaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang