2 -- Singa Betina

51 11 2
                                    

Rion POV

"Capek banget!" teriakku, menghempaskan punggung ke sofa. Ini jam tiga sore—waktu pulang sekolah.

"Udah pulang, bang?" tanya Bunda, muncul dari bingkai pintu dapur. Membawa kain lap, mengeringkan tangan.

"Udah, Bun," sahutku, berdiri lalu mencium tangan Bunda.

"Adek kamu belum pulang?"

"Kayaknya belum, Bun. Suara kuntilanak aja belum kedengaran." jawabku santai, mengangkat bahu.

"Eh? Kok suara kuntilanak? Memangnya rumah kita ada kuntilanaknya?" Tanya Bunda bingung.

Aku menghela napas pelan. "Yah, Bunda nggak peka,"

"Apanya nggak peka, bang?"

"Yah si Istri Simba—Nala," jawabku.

"Maksud kamu Lana?" tanya Bunda bingung. Aku mengangguk takjim.

"Kalau dia lagi "gila", dia jadi istri si Simba—Nala. Kalau dia lagi mode malaikat, namanya yah tetap Lana, Bun,"

Bunda menepuk dahi.

Terdengar suara bel pintu dari luar. Bunda segera menuju pintu, dan membukanya.

"Oh, Ayah udah pulang?" sahut Bunda, mencium tangan Ayah.

"Iya, kebetulan tadi Ayah ketemu sama Lana di tengah jalan, jadi sekalian dia nebeng, deh." kata Ayah, menunjuk ke belakang.

Singa betina sudah datang jauh-jauh dari Afrika.

"Lana pulang, Bun," sahut Lana dari luar pintu, membuka sepatu lalu mencium tangan Bunda.

"Aman, kan?" tanya Bunda. Si singa betina mengangguk. "Aman, komandan!"

Aku tahu maksud Bunda tentang "Aman". Itu artinya, apakah ada orang yang mengenal Lana, melihatnya mengeluarkan listrik dari tangannya.

"Lana mau mandi dulu," sahutnya, berlari menuju lantai dua.

Kurasa sebentar akan terjadi sesuatu. Entah mengapa aku diberikan firasat oleh sesuatu...

***

"Oi, istri Simba! Udah mandi belom?" teriakku dari bawah tangga.

"Apa kamu bilang? Istri Simba?" sahut seseorang dari belakangku. Aku refleks menoleh, dan terkejut.

"Eh istri Simba sudah datang! Dari mana kamu datangnya? Kok udah sampai di bawah?" tanyaku heran, menatap "singa betina" itu.

"Kakakku yang bodoh, mau kejadian seminggu yang lalu di-replay?" sahutnya, mengangkat dua jemarinya. Listrik-listrik kecil menyala terang dari permukaan kulitnya.

Sudah kuduga firasat burukku benar—si Lana lagi PMS. Batinku.

"Cewek kalau lagi PMS itu jangan suka marah-marah sama abangnya, nanti cepat keriput," sahutku, tertawa kecil melihat satu jerawat di wajah Lana—yang ditutupi bedak dengan baik. Terlihat seperti benjolan kecil.

"Dan kalau cewek lagi PMS, tidak ada ampun untuk abangnya," jawabnya, menatapku tajam.

Aku menelan ludah. Oh tidak, si Singa Betina keluar dari kandang.

"Bang, sini!" teriakku, berusaha meniru suara Bunda.

"Nah, abangmu ini dipanggil Bunda, dadah!" sahutku, segera berlari menuju dapur. Tapi lagi-lagi, aku kena sial.

"Eh, kok kaki kiriku nggak bisa goyang, nih?" gumamku, langkahku segera terhenti. Tiba-tiba, bulu kudukku berdiri.

Aku mengangkat lenganku, melihat dengan jelas rambut-rambut halus yang berdiri semuanya.

"Kok ke dapur sih, kak? Kan Bunda adanya di ruang tamu, lagi nonton TV sama Ayah," sahut suara di belakangku.

Aku menunduk, melihat tali listrik yang mengikat kaki kiriku di lantai.

"Lho, kok Kakak malah berhenti? Bukannya tadi mau ke dapur, dipanggil Bunda?" tanyanya dengan suara menyeramkan.

Suara dentakan kaki tiga kali terdengar dari arah belakang. Sang singa betina sedang menyiapkan diri untuk menerkam mangsanya.

"Sudah tahu kan kalau perempuan itu selalu benar, kakak bodoh?" Sahutnya pelan. Gemeletuk listrik semakin keras.

"Sepertinya bakal turun hujan, Bun," gumam Ayah, menoleh ke jendela.

"Nggak mungkin, Yah. Kan nggak ada awan di luar. Cuaca hari ini cerah." jawab Bunda, mengusap pelan bahu Ayah.

"Perasaan kali ya? Suara gemeletuk petir?" tanya Ayah dalam batin.

"Kakak nikmati saja AFK akunnya supaya bisa belajar dari kesalahan, ya,"

"TIDAK!!!" teriakku kencang.
***

Waduh, moga si Rion bisa syuting episode selanjutnya. 😅

With Love,

PoccoLoco/A.N

Secret of LanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang