6 |Annoying Day|

19 1 0
                                    

Emely memandang kesal pintu didepannya. Dia menunggu Farhan sedari pulang sekolah tadi. Hingga kini, Farhan belum juga keluar dari ruang terkutuk itu. Emely sungguh merutuk, laki-laki sejenis apa Farhan itu? Sudah terhitung 3 jam dia menunggu dan batang hidung Farhan tak juga muncul. Biasanya untuk laki-laki seumuran itu tak akan tahan berdiam diri di satu ruangan tanpa ada sesuatu yang menghiburnya.

Pintu Osis itu terbuka. Senyum Emely mengembang kala melihat sosok yang sedang mengunci pintu bertuliskan "ruangan osis" itu.

Emely beranjak dari tempat duduknya, ia melangkah mendekati laki-laki itu dengan pelan.

"Hai Farhan" sapanya dengan senyuman. Tak lupa pula dengan lambaian tangannya.

Laki-laki yang bernama Aldoredo Farhan ini membalikkan badannya sambil menatap tajam gadis yang  berperawakan Jerman-Indo dihadapannya.

Nyalinya tak menciut sama sekali justru gadis itu tersenyum.

"Han lo sombong banget sih sama gue? Orang nyapa itu dijawab bukan ditatap tajam gitu" Emely bersungut kesal. Tapi tetap tatapan Farhan tak kunjung melembut.

"siapa lagi yang lo celakain??" tanya Farhan tajam. Semakin tajam, mengingat mereka berada di koridor sekolah yang sepi dan tentunya sudah malam.

Emely tak akan gentar, tetapi dia terdiam mendengar pertanyaan itu terlontar. Mencerna dengan baik setiap kata yang dikeluarkan laki-laki itu. Dia tidak lagi mencelakai siapapun. Sejak dia bertemu dan berkata kepada Aylee minggu lalu dia tak pernah menyentuh sehelai rambutpun fans fanatik seorang Farhan.

Farhan menunggu dengan bisu. Seolah membuang waktu berbicara dengan cabe kelas kakap seperti gadis dihadapannya. Tanpa menunggu penjelasan Emely, Farhan melangkah muak.

"Farhan, tunggu dulu!" Emely melangkah menyamakan dengan langkah Farhan.

"Gue gak nyentuh siapapun lagi! Bahkan buat nyentuh fans fanatik lo itu sehelai rambutnya pun" terangnya menatap dalam mata Farhan.

Farhan meneliti ucapan Emely barusan, seolah tidak percaya dengan ucapan gadis itu.

"Oke"

Hanya satu kata itu. Setelahnya Farhan kembali melangkah.

Emely menghela nafas. Apa itu belum cukup juga?

Emely memandang kosong kedepan. Ia tak lagi mengejar Farhan, untuk kali ini. Penolakan demi penolakan yang laki-laki itu berikan kepadanya seketika membuat dadanya sesak. Dia memang tak seperti Aylee yang lembut dan terkesan tegas disaat bersamaan. Dia juga manusia biasa. Tingkah lakunya selama ini hanyalah topeng. Ia tak sejahat itu sebenarnya mengintimidasi seseorang. Ia juga punya hati.

Langkah Farhan terhenti. Ia menatap kebelakang. Sorot mata Farhan tak pernah berubah menatap gadis itu. Selalu tajam dan terkesan dingin. Farhan membalikkan badannya dan  kembali melangkah pergi.

"bahkan disaat lo tau gue berkorban banyak buat lo, lo masih tetap acuh dan benci gue"

Emely tersenyum miris, sepertinya nyawa yang ia miliki menipis. Dan mungkin Farhan akan menyukai ini.

***

Adnan menyeruput milshake nya lambat. Ia menatap lama Aylee yang sepertinya termenung. Adnan meletakkan milshake itu ke meja dan meraih handphone nya. Ia menghidupkan flash dan menyodorkan handpone itu ke arah mata Aylee. Spontan saja Aylee menutup matanya.

"lo ni ish" kesalnya mengucek kelopak matanya yang perih. Adnan terkekeh.

"sorry sorry. Lagian lo diam aja, kenapa sih?"

Aylee menghela. Pertanyaan 'kenapa' itu yang paling anti di dengarnya saat ini.

"lo bisa cerita"

Aylee menengadah. Ia menatap bola mata Adnan yang pekat. Matanya perih dada nya sesak. Air mata nya sudah berjatuhan lambat laun.

Adnan panik.

"Ay! Lo kenapa? Gue salah? Plis ay jangan gini"

Aylee mengusap air matanya kasar.

"lo gak bakal tinggalin gue kan?" tanya Aylee gamblang. Ia meremas erat ujung bajunya.

Adnan mengerutkan kening. Agak susah mencerna pertanyaan Aylee.

"gue butuh lo disini. Disisi gue nan" ucap Aylee parau berusaha menjelaskan maksudnya susah payah.

Adnan mengangguk dan tersenyum. "gue disini, gue disisi lo ay."

Aylee menghela lega. Setidaknya perkataan Adnan barusan membuat jantungnya berpacu normal sedikit.

Disisi lain, Adnan sama sekali tak paham dengan arah pembicaraan Aylee. Ia menurut karna tau makna tersuratnya tetapi tidak dengan makna tersiratnya.

"iya gue bakal sama lo terus. Aelah napa pake nangis lagi sih?"

Aylee terkekeh. Kali ini air mata kelegaan yang ia keluarkan. Hanya saja air mata itu menganggu penglihatan Adnan sehingga laki-laki itu menghapusnya dengan ujung jempol.

Tepat saat itu pintu cafe terbuka menampilkan sosok berdarah dingin andalannya. Ia menatap dua orang yang sedang mengrluarkan aura pink di sekitarnya. Seketika mendecih tajam.

"Aylee aylee! Ternyata lo lebih murahan dari yang gue tau ya?"

Sosok itu Kalvin. Entah mengapa laki-laki itu belakangan ini menjadi sosok bayangan hitam yang tanpa sengaja bertemu salah satu gadis fanatik yang suka membuntutinya itu.

Kalvin bergeming menatap keromantisan mereka. Tanpa tau sosok yang di perhatikan itu sekarang sedang terfokus dengan layar berinci kecil.

Untung saja Kalvin tak membanting makanan yang ia beli disana. Sudah bisa dipastikan itu akan menarik perhatian pengunjung termasuk si cewek laknat itu.

Kalvin marah. Tentu. Ia ingin memastikan jika ucapan Vigo beberapa hari lalu benar. Dan sekarang Kalvin mengumpat keras dalam hatinya. Bullshit doang.

Kalvin memacu motornya kencang. Ia ingin melampiaskan umpatannya pada samsak di rumah. Dia teringat minggu lalu ketika Vigo membela si gadis laknat itu, dan tentu saja Vigo akan membicarakan kebaikannya.

Kalvin membanting makanannya. Ia melupakan keberadaan adiknya yang sudah tercenung melihat kelakuannya itu.

"bang, jangan banting-banting makanannya. Nanti tumpah!"

Kalvin mendengus. "iya gak bakal dibanting lagi"

Akela Diana- adik perempuan Kalvin satu-satunya. Gadis cilik itu melangkah mendekati abangnya gemas.

"abang ni, pulang-pulang itu senyum kek sama kela bukannya pake tatapan dingin gitu"

Gadis smp itu memperhatikan abangnya yang menatap layar televisi tanpa minat.

Kela mendecak, "ya udah sih terserah abang aja. Kela mau ingatin ke abang kalau tadi ada titipan dari kakak cantik. Kela mau ke kamar dulu. Titipannya di kasur abang."

Kalvin mengusap wajahnya kasar. Ia mematikan televisi dan segera melangkah ke kamarnya.

Ia menatap kaget bingkisan kecil itu. Ia kira itu hanya guyonan adiknya. Perlahan ia membuka bingkisan itu lalu menatapnya datar. Lagi-lagi gadis itu, apa tidak bisa mengganggunya sebentar?

Kalvin mencampakkan bingkisan beserta isinya ke lantai. Jika boleh di dunia ini membunuh maka dengan senang hati ia membunuh siapapun yang mengusik kehidupannya termasuk gadis itu.

Kalvin menatap bingkisan itu sekali lagi dengan seringai kecil.












"lo gak lebih dari sampah!" ujarnya di setiap penekanan ucapannya.




Beauty Pain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang