Tentang Bima

488 13 1
                                    

Benar saja, hari ini gue terlambat masuk kelasnya Mr. Scott, dan bukan hanya ocehan super panjangnya yang gue dapatkan. Karena hari ini adalah hari spesial, gue mendapat hukuman dari Mr. Scott. Iya, hukuman. Bayangin aja, gue mahasiswa semester 5 harus mendapat hukuman seperti anak SMA. Mungkin seharusnya gue bersyukur, karena bukan cuma gue yang hari ini terlambat dan terpaksa harus menerima hukuman dari Mr. Scott. Seperti yang gue bilang hari ini adalah hari spesial, semesta mengizinkan gue terlambat bersama Bima. Iya, Bima yang gue ceritakan di bab sebelumnya. Kebetulan, gue satu kelas di mata kuliah ini dengan Bima.

"Kalian berdua harus membereskan ruang marching band dan tidak boleh pulang sampai semuanya benar - benar rapi dan bersih!" Kira - kira beginilah kata - kata yang diucapkan Mr. Scott saat gue dan Bima masuk ke kelasnya, dan terlambat.

Mungkin karena Mr. Scott adalah satu - satunya dosen penanggung jawab kegiatan marching band dan kebetulan anggota marching band belum mengadakan piket bulanan, makanya gue dan Bima mendapat hukuman untuk membersihkan ruangan yang super berantakan itu.

"Ayok Shei, beresin sekarang aja biar cepet selesai. Hari ini gak ada kelas lagi kan?" Suara merdu Bima menyadarkan gue dari lamunan gue.

"Hah? iya." Gue masih berusaha membuat stabil detakan jantung gue yang gak karuan ini, karena dia. Dia berdiri di sebelah gue, dengan rambut hitam legamnya, tubuh atletis yang tinggi, rahangnya yang tegas dan kulit putih cenderung kecoklatan yang sangat indah. Dia hari ini memakai kemeja navy yang lengannya di gulung sampai siku dan celana jeans hitam menambah kesan maskulin. Bagaimana caranya gue bersikap biasa aja dan berhenti menelan ludah saat mata coklatnya menatap mata gue? Aduh.

Kita berjalan menyusuri koridor gedung khusus ruang kegiatan mahasiswa. Ruangan untuk marching band berada paling pojok. Hening. Tidak ada yang membuka obrolan, gue masih salah tingkah. Takut apa yang keluar dari mulut gue malah hal - hal bodoh. Kalau Bima, mungkin dia sibuk dengan pikirannya.

"Sheila, bokap lo gimana kabarnya? Masih sakit?" Bima memecah keheningan. Gue memang pernah kasih tau ke dia kalau bokap gue sakit karena waktu itu gue minta tolong untuk memberitau Mr. Scott, gue harus jaga bokap di rumah sakit, jadi gak bisa ikut kelasnya.

"Udah lumayan sehat kok, By the way, Thanks. Udah tolongin gue izin ke Mr. Scott"

"Hahaha, iya. Nevermind."

Kita sampai di ruang marching band. Ruangannya gak dikunci, mungkin Mr. Scott sudah memberitahu anggotanya bahwa kami berdua akan membersihkan ruangan mereka.

"Mulai darimana ya?" Gue bertanya kepada Bima karena ruangannya benar - benar berantakan. Dipenuhi berbagai macam alat musik dan debu.

"Duduk dulu deh, bentar. Capek tadi jalan, hehe." Bima langsung duduk di lantai. Gue ikut melepas tas dan duduk di sebelahnya.

"Kok lo gak ikutan marching band, Shei?" Bima membuka obrolan.

"Enggak ah, gue gak bisa main alat musiknya."

"Kalo cheerleader?"

"Gak juga, gak bisa nari."

"Terus lo bisanya apa dong? Oh! Nyanyi? Gue pernah liat lo nyanyi di instagram."

Dia liat gue nyanyi. Gue malu. Pasti suara gue jelek banget. Aduh, malu - maluin aja.

"Bagus kok suara lo, gak usah malu." Bima melanjutkan omongannya, seperti dia bisa baca pikiran gue.

"Hah? Hahaha. Thankyou," Gue tersenyum malu - malu, jantung gue makin berdebar, "kalo lo bisanya apa?"

"Gue?" Dia balik bertanya, "Gak bisa apa - apa. Gue cuma hobi makan, tidur, kadang baca - baca sih kalo lagi bosen."

"Baca apa?"

"Baca surat mantan. Hahaha gak deng. Gue suka banget baca astronomi dan mitologi Yunani. Tentang rasi bintang - bintang gitu, deh."

"Oiya? bintang kesukaan lo apa?"

"Hm.. Suka semuanya sih. Tapi, gue paling suka sama Hydra. Soalnya dia rasi bintang  terbesar yang ada di langit bumi sebelah selatan. Kalo lo suka baca rasi bintang juga?"

"Suka." Padahal engga, gue sukanya baca ramalan bintang yang ada di tabloid online setiap minggunya.

"Rasi bintang favorite lo apa?" Mampus kan, keluar juga nih pertanyaan.

"Udah yuk, beres - beres. Entar kesorean lagi." Gue berusaha mengalihkan.

"Jawab dulu." Dia bersikukuh.

"Iya, iya. Gue suka unicorn." Gue asal menjawab. Ada gak ya rasi bintang unicorn?

"HAHAHAHAHAHA," Bima tertawa, matanya menyipit. Gue suka melihat Bima yang terlihat sebahagia ini, "Mana ada rasi bintang unicorn! Lo lucu juga ya, hahahaha."

Aduh, Sheila. Malu - maluin aja sih. "Trus adanya apa dong?" Gue bertanya, sambil memasang tampang polos.

"Pegasus adanya! Lo suka baca rasi bintang atau baca ramalan bintang, sih? hahaha." Bima masih tertawa, mataya masih sesekali menyipit, masih terlihat bahagia.

"AH! udah deh, ketawa mulu, nanti malem nangis loh! Ayok beres - beres, sekarang!"

"Yuk." Bima berdiri duluan, dia mengulurkan tangannya, supaya membantu gue berdiri dari lantai. "Tangan lo dingin banget, Shei. Kurang makan, ya?" Dia bertanya, setelah membantu gue berdiri.

"Engga, disini dingin kali." Padahal tangan gue ini dingin karena kelamaan berada di dekat dia, apalagi tadi melihat ketawanya,.

Kita melanjutkan acara bersih - bersih yang tertunda karena ngomongin hobi dan berakhir dengan kebodohan gue.

Bima orangnya cekatan banget, dan sangat lihai dalam hal bersih - bersih, bahkan keliatannya jauh lebih sering membersihkan rumah dibandingkan gue, yag notabenenya adalah perempuan.

Setelah selesai, kita duduk di lantai, lagi. Membuka botol air mineral yang sempat kita beli saat jalan menuju ruangan ini.

Gue membuka obrolan, "Lo sering bersih - bersih ya, Bim? Gesit banget bersihinnya, jadi cepet selesai, deh!"

"hahaha," dia malah tertawa, tapi beda sama ketawa yang sebelumnya, seperti dia menyimpan sesuatu. Dia melanjutkan, "Gue sering bersih - bersih di rumah dari dulu, karena bokap udah gak ada dari gue kecil, dan nyokap harus kerja keras. Sayang aja dulu kalau harus bayar orang buat bersihin rumah, gue masih mampu kok."

Gue sepertinya bertanya hal yang salah. "Sorry. Gue gak bermaksud."

"Santai, lagian itu juga udah lama banget. Dulu, sahabat gue ada yang sering bantu gue, jadi gak berat - berat banget lah." Suaranya terdengar lebih sendu. 

Hening.

"Sahabat gue namanya Bagaskara, dia orangnya kocak banget tapi super baik, kita temenan udah dari kecil, walaupun dia di Indonesia gue disini, kita tetep berhubungan baik." Tiba - tiba Bima melanjutkan pembicaraan kita yang tadi, bibirnya melengkung tersenyum, matanya melihat ke depan seperti sedang menerawang sesuatu.

Gue jadi inget Andin.

"Bagus dong." Hanya itu kalimat yang keluar dari bibir gue. Gue takut salah ngomong.

"Iya, nama panggilannya Ara, jadi orang kadang mikirnya kita kembar, gue Ari, dia Ara, jadi Ari dan Ara, deh. hahaha." Ari. Semua orang memanggil Bima-ku Ari. Cuma gue yang boleh manggil dia Bima.

Dia melanjutkan, "Ngomong - ngomong, lusa dia mau ke sini. Lo mau gue kenalin gak?"

"Eh?" Gue merasa spesial karena Bima mau ngenalin gue sama sahabatnya. "Boleh."

"Oke deh. Nanti gue sms lo deh ya, kapan ketemunya sama Ara." Dia lalu membuka hpnya, dan memastikan kalo dia udah nyimpen nomor HP gue. "Udah sore banget nih. Pulang, yuk. Nanti kemaleman." Dia beranjak berdiri dan melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan tadi, membantu gue berdiri.

"Yuk."


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 25, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Akhir dari Sebuah PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang