Bab 4 : Awal dari Kehidupan Baru

3.1K 111 0
                                    

Hari ini bertepatan dengan 1 minggu Oma gue pergi meninggalkan gue, berat rasanya kalo gue mengingat semua kejadian yang kami sudah lewati selama ini, gue rindu senyumnya, tawanya juga kerutan di wajahnya. Gue harap ini bukan akhir dari segalanya tapi ini adalah permulaan yang baik. Karena gue yakin gak akan ada akhir yang menyedihkan.

Hari ini gue memutuskan untuk menghabiskan waktu di kamar, bersantai dan mendengarkan musik. Kebetulan hari ini libur dan tidak ada seorang pun yang mengajak gue untuk menghabiskan waktu diluar.

*toktoktok*

Terdengar suara ketukkan pintu kamar yang mengganggu aktivitas liburan gue dan juga suara Mama yang memanggil gue.

"Sheila, keluar yuk. Mama mau ngenalin kamu sama seseorang." Suara Mama terdengar seperti sedang bahagia.

"Iya Ma, sebentar. " Jawab gue sambil beranjak dari tempat tidur kesayangan gue.

"Mama tunggu di ruang tamu ya sayang, jangan lama - lama lho."

Gue melangkahkan kaki keluar kamar dan menuju ruang tamu, disana ada Mama, teman laki lakinya dan seorang cowok yang bisa terbilang sangat ganteng!

Gue berjalan kearah mereka dan duduk didepan cowo ganteng yang gue bilang tadi! Wow. Jangan - Jangan gue mau dijodohin. Hush, jangan mikir yang macem-macem, Shei. Lo masih kecil, okay? Batin gue berkata.

"Sheila kenalin ini Om Gilbert dan ini anaknya, Luther." Kata Mama memperkenalkan teman laki - laki yang duduk dihadapan Mama gue dan anaknya.

Gue tersenyum dengan ramah serta mengulurkan tangan gue, "Aku Sheila, Om, Luther."

Luther membalas senyuman gue dan mengulurkan tangannya juga untuk berjabat tangan.

Astagaa senyum dan matanya Luther cukup membuat gue melambung ke angkasa. Gue semakin yakin sepertinya gue bakal dijodohin. hehe.

"Hmm, Oh iya, Om dan Luther ini siapa ya? Teman kantor Mama atau??" Gue membuka percakapan antara kita berempat dengan mimik bingung.

"Ohiya, Mama sampai lupa ya cerita sama kamu soal Om Gilbert, dia ini calon ayah baru kamu, jadi Luther adalah calon kakak baru kamu. Mama harap nanti kita ber - enam bisa membuat keluarga yang sempurna ya." Jawab Mama sambil menatap Om Gilbert dan mereka tersenyum bersama.

Gue merasa gelenyar aneh diperut gue. Apa yang baru saja Mama katakan? Ayah baru? Kakak baru? Gue sangat terkejut. Ini hanya lelucon kan? Tolong seseorang beritahu gue kalo ini hanya lelucon. Tidak mungkin ini terjadi.

"HAH? Ayolah, Ma. Pasti Mama sedang bercanda kan?" Tanya gue dengan tertawa yang dipaksakan.

"Maaf, Shei. Tapi Mama kamu serius." Sekarang giliran pria tua, ehem maksud gue Om Gilbert yang berbicara pada gue.

"Apa- apaan ini? Mama kenapa gak pernah cerita ke aku sih?! Mama gak pernah minta persetujuan dari aku atau apalah gitu. Emang semudah itu ngelupain masa - masa sama papa?ENGGAK MA!" Bentak gue yang cukup membuat Mama dan pria tua di hadapannya terlonjak kaget dan gue segera lari menuju taman belakang.

Pikiran gue kacau, gue berjalan kesana kemari dengan gusar. Gue berharap ini hanya mimpi buruk yang datang disaat gue tertidur. Gue pun mencubit lengan gue dengan kencang. "Aaaw!" Ringis gue. Ternyata, Sayangnya ini bukan mimpi. Tetapi kenyataan pahit yang harus gue terima.

Tanpa gue sadari, ternyata Luther, anak dari pria tua tadi, sudah berdiri di samping gue. Dia memegang tangan gue. Gue kaget dan melihat kearah dia, Mata kamipun bertemu dan dia tersenyum dengan sangat lembut. Dia berkata, "Aku memang enggak kenal kamu Sheila, tetapi aku yakin kok kita bisa jadi keluarga yang sempurna, jangan sedih gitu dong, kamu harus move on dari kehidupan kamu yang lalu. Kamu jangan hidup dengan masa lalu, itu akan menyiksamu. Aku yakin." Luther tersenyum lagi, tapi kali ini seperti mengirimkan kekuatan buat gue.

Gue menunduk. "Tetapi semuanya ini enggak semudah itu, Luther. Oma aku baru saja meninggal, Mama bukannya menghibur aku, malah ngenalin ayah baru, yang bahkan aku enggak pernah kenal sebelumnya, denger ceritanya pun belum. Bukannya aku enggak suka atau gimana, tapi seharusnya ini butuh waktu yang enggak sebentar sedangkan dalam waktu dekat ini Mama udah mutusin untuk menikah tanpa meminta persetujuanku. Kakak dan adikku juga masih dirumah pamanku. Aku yakin, mereka juga belum pernah diperkenalkan sama kamu dan Ayah kamu. Mereka juga belum tentu setuju kan dengan pernikahan ini kan?"

Luther menghelan nafas dan memegang pundak gue. "Aku mengerti sama keadaan kamu, Shei. Awalnya aku juga belum siap menerima ini semua. Aku rindu Ibuku juga. Tetapi kamu harus tau bahwa Mama kamu pantes bahagia, Sheila. Aku kenal Mama kamu sebagai pribadi yang menawan, jangan buat dia sedih dan kamu juga jangan sedih. Oiya, kamu juga sebagai anaknya seharusnya bahagia kalau Mama kamu bahagia, kamu pikir - pikir dulu kata kata aku ya. Goodluck, Shei." Luther menepuk pundak gue dan berlalu meninggalkan gue.

Gue hanya termenung di halaman belakang. Gue rasa kehidupan gue bener - bener berubah, gak semudah yang dulu lagi. Senyum dan tawa yang selalu menemani mengisi hari gue terasa hilang terbawa oleh arus waktu yang memang tidak bisa terhenti atau terulang. Namun bagaimana pun juga gue harus tetap menjalani hidup gue. Setelah gue berpikir beberapa saat, yap benar kata Luther gue harus move on dari kehidupan lama gue. Melupakan segala kenangan yang dulu pernah ada dan membuka lembaran baru untuk kehidupan yang baru. Mengikhlaskan segalanya. Untuk hal yang lebih baru lagi.

Terlintas dipikiran gue untuk menyusul ayah gue di Amerika. Gue berpikir untuk meninggalkan semua kenangan gue disini, dan buat perubahan hidup baru disana. Tapi, gue akan berpikir ulang mengenai rencana itu.

Akhir dari Sebuah PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang