Bab 3 : A - L - O - N - E

3.5K 126 5
                                    

Keesokkan harinya, masih seperti biasa, Andin datang kerumah gue pagi - pagi sekali dan ikut sarapan bersama.

Saat kami sampai sekolah, Alvin sudah menunggu Andin di depan gerbang.

"Good morning my sunshine." Alvin tersenyum dan wajahnya berbinar.

"Good morning too, Vin." Andin membalas sapaan Alvin dengan senyum merekah, namun tatapannya menyiratkan ketidaknyaman karena ada gue disamping Andin.

Hati gue, badan gue, dan otak gue serasa seperti terbakar dan tercabik - cabik. Semua terasa sakit, melihat pangeran gue bersama dengan sahabat gue sendiri.

-Skip-

Jam istirahat yang biasanya gue makan dan jajan bersama Andin, sekarang gue hanya sendirian. Yap, Andin lagi pacaran sama Alvin di taman. Yang biasanya gue bisa heboh dikantin, sekarang gue jadi anak pendiem. Karena hari ini gue memutuskan hanya jajan, akhirnya gue ke kelas gue dan belajar fisika yang kebetulan hari ini ulangan.

Hari yang gue hadapin sekarang ini bener - bener berbeda drastis daripada hari - hari sebelumnya, biasanya gue tertawa bersama Andin, biasanya gue melakukan hal - hal aneh dan gila bersama Andin, tapi sekarang gue duduk sendirian dikelas sambil belajar pelajaran fisika yang gue gak pernah ngerti. Ada apa sih sebenernya sama hidup gue kok jadi aneh gini sih?

*KRINGG KRINGGGG KRINGG.................*

Gue tersadar dari lamunan gue karena bel tanda istirahat sudah selesai, gue segera merapikan buku fisika gue dan bersiap untuk ulangan. Andin baru saja memasuki kelas sambil mengucapkan selamat tinggal ke pacarnya, Alvin. Yap walaupun hati gue masih terasa tercabik - cabik melihat kemesraan mereka, gue gak bisa melakukan apa - apa. Menurut gue sangat menyedihkan, merasakan hati gue terbakar tetapi gue hanya bisa duduk disini melihat semuanya dan tidak bisa berbuat apa - apa.

"Woy Sheila, lo kenapa deh? akhir - akhir ini keliatan murung terus? Ada masalah? Cerita aja kali sama gue." Ucap Andin membuka pembicaraan antara gue dengannya.

Iya, masalah gue itu lo. Lo dengan teganya ngerebut pangeran gue dan masih bisa mesra - mesraan di depan gue. Lo anggep gue robot yang gak punya perasaan? Gue membantin.

"Hah? Masa sih? Engga ah, biasa aja. Mungkin karena gue mau ulang tahun ke 17. Hehe." Gue membalas pertanyaan Andin dengan terpaksa berbohong. Gue gak mau ada masalah lagi dengan dia. Walaupun gue gak rela sekarang, tapi gue harus bisa belajar merelakan cepat atau lambat.

"Cieeee cepet banget ya udah mau ulang tahun? Mau kado apa nih, Shei?" Tanya Andin dengan senyuman khasnya.

Gue hanya membalas ucapan Andin dengan senyuman kecil karena kebetulan bu Alina guru Fisika kami sudah memasuki kelas dan menghimbau kami untuk mempersiapkan alat tulis untuk ulangan.

Selama ulangan berlangsung, gue sama sekali gak bisa konsentrasi, gue cuma mikirin Alvin, Alvin daannnn Alvin. HUH WHATS WRONG WITH ME? kenapa sih Vinnn lo gak bisa keluar dari otak gue? Hati gue terus berbicara.

"Sst, sst. Sheila!" terdengar suara Andin berbisik dan memecah lamunan gue.

Gue menengok kearah Andin dan melihat gerak - gerik dia yang bertanya ke gue jawaban dari ulangan fisika ini. Karena panggilan Andin tadi, gue tersadar bahwa gue belum mengisi satupun soal ulangan dan gue segera mengerjakan soal - soal tersebut. Waktu yang tersisa sangat sedikit tetapi gue yakin gue bisa mengerjakan semua soal walaupun terburu - buru. Hm, gara - gara ngelamunin Alvin terus gue jadi harus seperti ini, deh.

Sekarang saatnya pulang sekolah, seperti biasa gue menunggu Andin di depan gerbang sekolah, kalo dulu sih kita sama - sama keluar kelas, tapi semenjak dia sama Alvin dia lebih memilih berpacaran dengan Alvin ketimbang pulang langsung bersama gue. Awalnya gue jadi lalat kalo mereka pacaran tapi lama - kelamaan nyesek hati gue. Jadi, gue memutuskan untuk menunggu Andin didepan gerbang sekolah.

1 jam... 2 jam berlalu, semua anak sekolah pasti sudah pulang. Dengan sabar gue menunggu Andin yang tak kunjung keluar dari sekolah. Ughhh dimana sih anak itu?

Akhrinya gue memasuki sekolah untuk melihat keberadaan Andin, setelah keliling sekolah selama 15 menit, gue sama sekali gak menemukan dia sama Alvin. Gue pun menelfon Andin.

"Halo ndin, lo dimana sih? gue udah nunggu lu 2 jam nih, lumutan tau." Suara gue terdengar seperti merajuk kepadanya.

"Eeh aduh, sorry banget nih Shei, gue tadi dipaksa sama Alvin buat pulang sama dia. Lo pulang sendiri dulu ya hari ini, mungkin besok juga deh. hehe maaf banget, ya. Bye Sheila sayang." Andin memberi penjelasan ke gue tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.

Bahkan, ia langsung memutuskan sambungan telefon kita.

"Tapi Ndin.. gue gak ada barengan, Halo? ANDINN?" Tega banget Andin sama sekali gak peduli denga keadaan gue.

Andin benar - benar tega hari ini! Seenaknya banget sih udah ninggalin gue waktu istirahat, waktu pelajaran asik sendiri sama hpnya, sekarang gue ditinggal di sekolah sendirian. Berarti gue harus pulang sendirian. Sendri banget sih gue hari ini?

Tapi, yaudahlah. Toh gue gak bisa berbuat apa- apa, biarin aja Andin bahagia sama Alvin, gue ikhlas, biar sama sama bahagia deh.

Gue segera meninggalkan sekolah dan mencari angkutan umum untuk pulang ke rumah.

Sampai kerumah, gue langsung masuk ke kamar dan tanpa sadar gue tertidur.

Astaga! sudah jam 5 sore. Gue harus segera mandi dan membereskan rumah yang menurut gue lebih seperti kapal pecah. Karena hari ini Oma Aini akan datang kerumah gue. Gue sangat tidak sabar menanti kedatangannya.

Oma Aini itu oma kesayangan gue, dia segalanya deh bagi gue, hubungan gue sama dia lebih deket daripada hubungan gue sama Mama gue dan gue sayang banget sama dia.

Setelah mandi, tiba tiba handphone gue berdering, ternyata itu dari Mama gue.

"Halo mah? Ada apa? Ohiya, dirumah kok cuma ada aku sih? Kakak dan Bianca lagi nginep dirumah Om Kurni?" Tanya gue bertubi - tubi kepada Mama.

"Halo nak, iya sayang mereka lagi nginep. Maaf baru ngabarin..." Suara Mama terdengar agak serak seperti abis menangis.

"Ada apa sih Ma? kok Mama seperti habis menangis gitu?" Tanya gue khawatir.

"Begini sayang, Mama punya kabar buruk. Oma Aini enggak jadi kerumah kita." Mama menjelaskan diiringi dengan tangisan yang jelas terdengar. Hati gue berdetak cepat. Perasaan buruk mendadak menghampiri gue.

"HAH? Emang ada apa, Ma? Oma Aini kesini kapan? Aku padahal udah kangen banget tau sama dia." Gue berusaha menutupi ke khawatiran gue. Gue berharap tidak ada hal buruk yang terjadi.

"Hm.. Oma Aini gak akan kerumah kita lagi..... Oma Aini meninggal nak hari ini dirumahnya saat Mama mau menjemputnya, karena serangan jantung saat bersiap untuk berangkat ke Jakarta." Tangisan mama pecah. Gue juga tidak bisa membendung air mata gue. Perasaan buruk itu ternyata benar.

"..............Ma?MAMA BOHONG KAN? GAK MUNGKIN MA..." Gue tidak percaya semua terjadi begitu cepat.

"Engga sayang, Mama hari ini tetap ke Yogya untuk melihat Oma Aini. Kamu jaga adik kamu ya, Mama akan pulang 2 hari lagi. Ada bibi Surti kok dirumah. Mama sayang kamu. Jangan sedih, ya sayang." Mama mengakhiri pembicaraan kami di telefon.

Nyawa gue seperti sedang melayang keatas, gue gak bisa membendung air mata yang jatuh begitu deras. Gue membatu sesaat, hati gue sepenuhnya remuk. Setengah jiwa gue pergi, gue pun ngga sempet mengucapkan selamat tinggal. Kenapa sih orang - orang yang gue sayang satu persatu ninggalin gue? Gue memutuskan menelfon Andin untuk menemani gue malam ini.

"Halo Ndin, lagi sibuk gak? lo bisa kerumah gue kan? Oma Aini meninggal Ndin. Gue butuh orang untuk ngehibur gue." Suara gue bergetar.

"Astaga! Gue turut berduka cita banget ya Shei, tapi gue gabisa hari ini, gue ada janji sama Alvin buat makan diluar. Maafin gue ya, take care, sayang." Andin menjawab dengan nada bersalah.

"Oh yaudah deh, have fun Ndin! Thanks." Gue sedih. Sepenuhnya gue sendiri hari ini. Melewati rasa sakit sendirian tanpa ada yang mau bantu gue. Gue benci situasi ini. Gue tersakiti tetapi tidak ada yang bisa gue lakuin.

Akhir dari Sebuah PersahabatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang