Kisah Lama yang Belum Tua

52 15 16
                                    

Kita bukan tokoh baru dalam cerita yang banyak jeda, bukan tanda titik atau koma yang menyuruh berhenti dan sejenak mulai lagi. Bukan pula tanda petik dan kurung yang menspesialisasi kan sesuatu.

Kita hanya cerita lama, belum tua belum berdebu. Yang sengaja ditemukan oleh waktu ketika kaki sudah sama - sama menempuh melodi baru.
Kita hanya cerita lumpuh, kata - kata yang tumbuh tanpa paksaan, rasa - rasa yang hadir tanpa ikatan.

Kita, Ya semacam angin dan semilirnya, hujan dan juga mendung nya, matahari dan panas nya. Saling berimplikasi namun enggan terpublikasi.

Sore dan pagi masih sama, masih sering menyapa kita di tempat yang berbeda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sore dan pagi masih sama, masih sering menyapa kita di tempat yang berbeda. Kau dengan langit yang sama masih menjadi bagian indah dari sisa - sisa masa lalu yang baru aku buka dari bungkus nya seperti sore itu, tepat dibawah pohon mangga, dekat dengan tepian sungai di desa kami. Labuhan ruku, desa sederhana dengan masyarakat yang di dominasi oleh suku melayu, termasuk aku dan Arga.

Arga adalah pria keturunan Jawa Melayu, ayahnya bersuku jawa dan ibu nya suku melayu. Sementara aku adalah gadis melayu asli. Kami tinggal di daerah perbatasan selat malaka, tidak heran jika banyak pantai dan wisata alam lainnya disini, jika kau penyuka seafood datanglah ke daerah ku. Perut dan lidah mu akan terpuaskan.

Sore itu ketika nelayan tengah bersiap - siap melaut, arga datang menghampiri ku, membawa beberapa buah mangga yang sudah matang

"Sekali - kali cobalah hilangkan sifat penyendiri mu itu, aku lihat ramai anak gadis bersorak - sorai bercengkrama dengan kawan sepermainan nya, kau masih saja berteman kan sungai dan matahari merah itu" Ucap arga ketika duduk tepat di samping ku sembari memandang sungai dan matahari yang sedari tadi menemani ku.

"Sekarang kan kau disini menemani ku, tentang anak - anak gadis itu. Aku suka dengan cara berkawan mereka tapi tidak dengan cara bersikap dan berbicara mereka" Ucap ku seolah memberi penjelasan kenapa aku lebih menyukai tempat ku duduk sekarang ketimbang bermain bersama mereka.

"Ya biarpun macam itu, tak eloklah jika anak gadis suka menyendiri, berteman kan sepi, coba kau lihat si Desri anak Pak Syamsuri, dia cantik dan kelakuannya baik, mungkin kau bisa berteman dengan nya" Arga lagi - lagi masih ingin aku bersama kerumunan gadis itu.

"Kau ini memang selalu begitu, melihat seseorang hanya dari luarnya saja, kau takkan paham bila aku ceritakan yang sebenarnya. Sudahlah, aku ini ingin menjadi wanita biasa saja, kau tau kan ? Mimpi ku sudah hilang semenjak ayahku tak mengizinkan ku untuk berkuliah. Aku ingin sendiri saja, memperbaiki diri, biar bisa ke syurga" Ucapku seperti menahan sesak dan berlagak pasrah pada keadaan.

"Dir, kau ini gadis pintar. Mimpi mu juga mulia, bermanfaat bagi orang banyak. Sudahlah daripada kau murung disini lebih baik pulang sudah mau petang, dan bawa mangga - mangga ini. Kau kan sangat suka mangga. Pergi ke masjid selepas itu, dan berdoalah untuk aku dan dirimu" Arga memberi ku nasehat dan kekuatan yang begitu dekat.

"Baiklah, oh ya kau sendiri kenapa selalu datang setiap kali aku disini ? Apa kau tidak punya teman lelaki untuk kau ajak sekedar memancing ikan ?" Tanya ku ingin tahu.

"Aku punya banyak teman, dan kau yang terbaik diantara mereka, itu sebabnya aku lebih senang menemui mu dan berbagi cerita dengan mu" kembali arga berkata - kata yang membuat ku seolah - olah berarti bagi nya.

"Hmmm, yasudahlah. Kau juga sebaiknya pulang. Anak lelaki harus solat di Masjid, cerminan diri yang mampu membawa keluarga nya kelak menuju surga. Akupun ingin bersiap - siap menuju jalan menuju surga" ungkapku sederhana yang maksud nya ingin segera mempersiapkan diri untuk melaksanakan sholat maghrib.

"Dir, kamu itu lugu dan aneh. Sudah ya begini saja. Jangan diubah." Ucap arga yang membingungkan ku, namun yang berucap hanya tersenyum.

"Itu karena kau selalu melihat ku dalam keadaan bingung dan tenang. Entahlah, kau selalu hadir dalam dua nuansa kontradiksi itu" aku mengatakan itu, karena ku kira itu maksud ucapan arga.

"Intinya sudah begini saja. Terbang lah nanti bersama ku, itupun jika ayah mu yang tegas dan galak itu mengizinkan. Kita tinggal di pesisir dekat malaka, tapi tidak mustahil akan terbang ke amerika" Lagi - lagi arga memberikan ucapan yang membuat ku bingung dan tercengang. Terbang ? Bagaimana terbang nya ? Maksud nya apa ?. Aku tidak ingin memperpanjang lagi percakapan di ujung petang itu.

"Aku tetap ingin terbang ke surga saja" ucap ku ringkas.

"Ya sudah begitu saja lah dir" ucap arga yang mengalihkan pandangan nya ke "Matahari merah" ungkapan nya untuk matahari di ujung senja. Karena memang kelihatan agak jingga ke merah - merahan.

Kami pun berlalu, begitu juga dengan matahari nya. Sedangkan sungai ? Ia menjadi pendengar setia kami petang itu. Aku dan arga, melangkah pulang menuju rumah masing - masing. Mempersiapkan diri untuk pergi ke masjid. Azan berkumandang dan alam pun menjadi temaram. Namun kata - kata "Terbang" dari arga masih menjadi tanda tanya bagi ku.
Mungkin judul cerita sore itu adalah tentang surga dan terbang.

Janji Yang Tak Pernah dibuatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang