Undangan Pernikahan dan Pertemuan

18 8 8
                                    

Aku tidak ingin terlalu sibuk memikirkan tentang Arga dan Nadya. Mereka bebas menemukan dan menentukan siapa dan apa yang yang mereka sukai.

Aku tidak lagi ingin dibonceng Arga. Hanya ingin seangkot dengan nadya saja.

Aku masih tergeletak di atas tempat tidur, ketika ayah sudah sibuk mencari jala dan bersiap melaut sore itu. Dan itu adalah hari minggu.
Dengan tenang mamak bertanya, yang aku dengar hingga ke kamar

"Pergi melaut bang ?" tanya nya halus.

"Iya, mencari makan" aku dengar suara ayah.

"Hari ini buk ida pesta, tidakkah abang datang ?" tanya mamak lagi.

"Abang doakan saja lah semoga pesta nya itu ramai dan anak nya menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah" Ucap ayah yang sungguh menenangkan.

"Sendirilah awak pergi bang" Pernyataan mamak yang sebenarnya sebuah kode agar ayah tidak melaut dan menemani nya pergi undangan.

"Ajak anak gadis kita itu, si dira" Ucap ayah yang spontan membuat mata ku terbelalak, bangkit dari tempat tidur, keluar dari kamar menuju tempat obrolan Mamak dan Ayah.

"Dira tidak mau yah, ayah sajalah sama mamak" ucapku memelas

"Nah abang tengokkan" Mamak melihat ke arah ku dengan tatapan khas ibu - ibu.

"Pergilah dir, temankan mak mu, ayah mau ke laut, mencari ikan untuk kita makan" Lagi perkataan ayah membesit ku.

Aku paling tidak suka di ajak pergi undangan, apalagi itu pesta pernikahan. Sebab disana, pertanyaan yang selalu dilontar kan adalah "Kapan". Tentu saja kapan aku akan menikah.

Dan kebanyakan berspekulasi bahwa setelah menyelesaikan pendidikan ku dari MAN aku akan langsung menikah. Dan memang sudah menjadi kebiasaan di daerah kami, bahwa anak perempuan harus cepat menikah. Aku tak pernah setuju dengan itu. Itu sebabnya aku tidak menyukai pesta pernikahan. Tetapi karena ayah meminta, baiklah kali ini aku akan pergi.

"Baiklah yah, dira akan pergi bersama mamak" aku tersenyum.

Senyum yang siap menghadapi perkataan tidak mengenakkan.

"Kalau begitu, pergilah mandi" ucap mamak menyuruh ku segera.

"Iya mandilah, ayah berangkat. Doakan ayah selamat" ucap ayah dengan senyum kuat nya.

"Iya yah, pasti dan selalu" ucap ku lalu mencium tangan dan memeluk ayah. Begitu juga dengan mamak, ayah lalu beranjak pergi.

Ayah ku seorang nelayan, yang terkadang sulit menaruh harapan atau mungkin memang sulit bagi nya namun ia adalah orang yang penuh kasih sayang terhadap ku, meski tidak dalam semua hal. Setidaknya begitulah orang tua.

Aku bergegas mandi, lalu memakai pakaian terbaik untuk menghadiri acara Pesta Pernikahan anak buk ida. Aku juga lupa siapa nama anak nya, yang aku tau anak perempuan nya itu baru selesai pendidikan SMA setahun lalu, dan akan menikah dengan seorang pegawai negeri. Hal itu sudah menjadi keberuntungan bagi gadis tak bertitel.

Aku dan ibu telah bersiap dan langsung berangkat. Kami berjalan kaki, sebab tempat nya tidaklah jauh dari rumah kami.

Sesampainya disana, ibu langsung menyalami tuan rumah sang empu nya hajat.
Begitupun aku, dan tebak apa yang dikatakan bu ida ? Dengan tenang ia berkata "Dira kapan menyusul ?". itu sangat mengganggu telinga ku, memang benar pernikahan adalah hal yang baik, tetapi tetap perlu hati dan persiapan yang baik pula untuk menyakan itu kepada ku. Aku hanya tersenyum lalu mengikuti mamak.
Mamak adalah orang yang tahu bahwa aku tidak suka ditanyai hal semacam itu.

Dan yah, ada pertemuan yang diinginkan oleh pesta sore itu. Aku melihat Arga dan juga ibu nya sedang duduk menikmati hidangan pesta. Sebenarnya aku sedang tidak ingin semeja dengan nya. Tetapi mamak malah memilih meja tempat Arga dan Ibu nya duduk, karena kebetulan memang hanya meja tempat mereka yang masih kosong dua bangku lagi.

Setelah mengambil hidangan aku dan mamak langsung menuju ke meja itu. Arga tersenyum melihat ku. Aku hanya datar menatap nya, masih mengingat sikap dan dan kata - kata nya yang meresahkan ku.
Mamak dan ibu nya arga saling melempar senyum, lantas bercerita tentang suami dan kehidupan mereka, kecuali anak - anak mereka. Sebab anak mereka adalah "kami" yang sedang berada tepat di samping mereka.

"Tak sama bang iril ?" tanya ibu arga kepada mamak. sebenarnya nama ayah ku adalah khairil, tetapi orang - orang sekitar sering memangginya iril.

"Tak lah, maka nya ngajak si dira, pergi melaut ayah nya dira sore ini" jawab ibu sembari menyiapkan nasi ke mulutnya. Lalu menelannya.

"Oh macam tuh" ibu arga menjawab singkat.

"Iya, mana bang idan, biasa selalu pergi undangan sama ?" ucap ibu balik bertanya.

"Pergi ke Kota, beli barang - barang toko yang dah habis tapi dah banyak yang pesan" ucap ibu Arga sembari menyuapkan nasi ke mulutnya.

Ibu Arga bernama Asmina gadis Melayu asli yang tentu saja memiliki kecantikan khas melayu, nada bicara nya terkadang juga terkesan arogan, tetapi sungguh ibu Arga jauh lebih baik dari semua fakta itu, dan ibu ku bernama Latifah sama seperti ibu Arga gadis Melayu asli yang memiliki kecantikan khas Melayu, namun ibu ku tentu jauh lebih baik cantik bagi ku. Namun bukankah semua ibu sama saja ? Selalu mencintai dan hanya ingin melihat buah hati mereka bahagia ?.

Ibu dan ibu nya arga masih asik bercerita tentang kehidupan keluarga mereka, aku tidak terlalu tertarik dan perut ku juga tidak terlalu lapar sehingga yang aku fikirkan hanya bagaimana agar makanan di piring ku dan ibu segera habis lalu beranjak pergi dari pesta itu, namun nyata nya ibu masih menikmati suasana di pesta itu.

Sementara arga, dia hanya santai menikmati makanan nya lalu tiba - tiba mengeluarkan kalimat yang hampir membuat ku tersedak

"Dir kau terlihat cantik sore ini" ucapnya lalu meminum segelas air. Jujur aku sangat ingin memukulnya saat itu, namun entah mengapa tiba - tiba wajah ku menjadi hangat, mungkinkah pipi ku memerah ?. Aku mencoba mengontrol diri, lalu menatap Arga dengan tatapan tajam khas milik ku, yang ku tatap hanya tersenyum seolah senang melihat ku seperti ini.
Sungguh aku benar - benar ingin segera pulang sore itu.
Belum sempat aku mengajak ibu pulang, Arga sudah terlebih dulu berkata

"Mak ayo pulang" ajak Arga kepada ibu nya dengan lembut

"ohh ayo lah, mamak pun dah siap makan" balas ibu Arga

lalu berkata kepada ibu "tifah kita balek duluan yo, Dira Wak balek duluan yo" ucap ibu Arga kepada ku dan ibu, aku tersenyum mengangguk

lalu ibu berkata "iyo minah, awak pun dah nak balek lah ini" ucap ibu lalu menyuap suapan terakhir nasi dari piring nya.

Arga tersenyum kepada ku, aku masih tajam menatapnya, hingga suara ibu mengabaikan tatapan ku "cepat habiskan dir, lepas tuh kita balek" ucap ibu. Aku baru ingat bahwa nasi di piring ku masih cukup banyak. "Iya mak" ucap ku, ibu Arga berlalu pergi setelah bersalaman dengan ibu ku, lalu Arga juga mencium tangan ibu dan berpamitan.

Ini sungguh menjengkelkan dia tidak mengatakan apa pun kepada ku, tapi tunggu kenapa aku harus marah ? Dan merasa tidak suka dia bersikap seperti itu ?

Entahlah, ku habiskan makanan di piring ku, dan langsung mengajak mamak pulang setelah nya. Aku merasa sangat lega setelah meninggalkan tempat pesta itu. Namun kata - kata dan sikap Arga ? Satu kata bagi nya dan nuansa sore itu "kesal"

Sesampai nya di rumah aku langsung melaksanakan sholat Maghrib, karena ketika aku dan ibu sampai azan telah berkumandang. Betapa air wudhu mampu membuat ku tenang, setelah sholat aku membaca beberapa lembar Al - quran dan lanjut belajar.

Sementara mamak ? Menyiapkan pesanan jahitan, ibu ku adalah seorang penjahit yang handal. Orang yang sering menyuruh ku untuk kursus menjahit saja setelah tamat dari MAN LIMAPULUH.

Arga dan ibu nya, serta aku dan ibu, hanya contoh kecil dari pertemuan sesederhana yang diinginkan oleh alam dan pemilik langit.

Janji Yang Tak Pernah dibuatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang