"Vi."
"Hm."
"Vi," ucap Renzo lagi.
"Hmmm."
"Aku minta maaf."
Trivia terperangah sesaat lalu menoleh ke arah Renzo yang kini sedang menatapnya intens. Kedua alis itu saling bertaut. "Maaf?"
Renzo terdiam kala mendengar nada sarkastis dalam ucapan Trivia. Renzo menghembuskan nafasnya. Egonya kini mengalah, membiarkan gengsinya ikut luruh bersama rasa penyesalan yang kembali mencuat dalam hatinya. Membuatnya mengenang kembali masa lalu yang terasa begitu menyakitkan jika diingat.
"Sorry for everything." Renzo menjeda sebentar. "Untuk semuanya, termasuk luka, kesedihan dan kecewa yang pernah aku torehkan."
Trivia tak menjawab. Namun matanya terus menatap Renzo.
Kini Renzo menunduk. Dia tak sanggup lagi melihat mata indah milik gadis di depannya. Mata yang dulu pernah Renzo hiasi dengan air mata. Mata yang dulu pernah menatap Renzo dengan tatapan kecewa. Dan entah mengapa, saat melihat ke dalam manik mata bulat itu membuat Renzo kembali mengingatkannya tentang masa lalu.
Trivia diam. Diamnya gadis itu seakan menuntut Renzo agar meneruskan kembali ucapannya.
"Maaf karena dulu aku pernah buat kamu kecewa. Maaf karena dulu aku pernah buat kamu menangis. Maaf karena dulu aku pernah buat kamu terluka. Maaf karena dulu aku ... "
Renzo menahan nafas. Tenggorokannya terasa tercekat. Jantungnya berdebar. Dadanya bergemuruh. Renzo tau dia adalah seorang pecundang, dia adalah seorang pengecut. Dia tak berani mengungkapkan, bahkan dia tak bisa, dia tak mampu. Namun, dia harus mencoba. Ini kesempatannya.
"Maaf karena ... dulu a-aku pernah menyia-nyiakanmu."
Dan selanjutnya keadaan hening. Tak lama kemudian rintik hujan jatuh perlahan membasahi bumi. Aroma hujan menyeruak diantara oksigen yang mereka hirup dalam senyap. Mereka masih terdiam, tak bergerak atau berlari untuk mencari tempat berlindung. Mereka tetap duduk di bangku taman, tak peduli dengan air hujan yang kini terasa lebih deras dari sebelumnya.
Di bawah derasnya hujan, ada permohonan yang tersimpan dalam hati, ada pengharapan yang belum sempat terucap.
"Seharusnya lo tau, kalau Tuhan kasih kesempatan kedua hanya untuk mereka yang beruntung." Trivia menutup kepalanya dengan tudung hoddie.
Tiba-tiba saja Trivia berucap membuat Renzo langsung menatapnya.
"Dan lo bukan termasuk salah satu diantara mereka," ucap Trivia lagi, tak melirik Renzo yang kini sedang menatapnya. Tatapan gadis itu tetap ke depan, menatap danau yang beriak pelan ditimpa derasnya hujan. "Tapi kali ini gue dikirim Tuhan untuk lo. Dikirim sebagai perantara rasa sakit yang masih terasa."
Renzo mengusap wajahnya yang basah akibat hujan lalu menatap Trivia bingung. "Maksudnya?"
Trivia diam lalu menunduk lalu menutup wajahnya. Melihat itu Renzo mengernyit tak mengerti. Gadis ini, gadis yang mempunyai sejuta misteri. Saat gadis itu tersenyum, Renzo tak tahu itu senyum bahagia atau sekedar senyum untuk menutupi luka. Renzo tak tahu, Renzo tak paham.
"Gue bukan Trivia."
Deg!
"M-maksud kamu!?" Renzo mematung di tempat. Tak mungkin! Gadis di depannya ini pasti Trivia! Lalu Renzo tertawa dengan nada sumbang. "Kamu gak bisa bohongi aku Vi!"
"Gue. Bukan. Trivia!" sahut Trivia dengan nada penuh penekanan. Matanya yang semula berwarna hitam kini berubah menjadi coklat yang tentu saja membuat Renzo sedikit kaget. Pasalnya manik mata Trivia yang dulu pernah dia lihat berwarna hitam pekat bukan coklat seperti ini.
"M-mata kamu!"
Trivia tersenyum. "Ini warna mata asli gue."
Renzo kali ini tertawa, dia merasa lucu dengan ucapan Trivia barusan. "Kamu pasti Trivia! Buktinya rambut kamu sama, suara kamu sama, tapi--"
"Tapi warna mata kami berbeda." Trivia tersenyum miring yang membuat Renzo lagi dan lagi terkekeh.
Cowok itu memegang pundak Trivia agar gadis itu menghadap ke arahnya. Sesaat kemudian Renzo mengusap kembali wajahnya yang basah. "Jangan bercanda sayang, aku gak suka kalau kamu begini." Nada yang cowok itu terdengar lembut namun penuh penekanan.
"Gue Trisia bukan Trivia, Trivia yang lo kenal udah meninggal dan lo pasti tau orang yang telah pergi gak bisa balik lagi, itu sudah hukum alam dan lo pasti paham akan itu."
Renzo terdiam. Untuk kesekian kalinya takdir mempermainkan Renzo. Renzo tertawa sekeras mungkin, tawa sumbang yang suaranya hampir mengalahkan suara derasnya air hujan.
"Lo Trivia!" Renzo bersuara dengan keras.
"Gue bukan Trivia!" balas gadis itu tak kalah kencang.
"Hahaha! Sampai kapan lo mau mempermainkan gue Vi?! Sampai kapan!? Lo mau bales dendam ke gue dengan cara pura-pura meninggal, gitu? Biar gue ngerasain penyesalan karena gue udah nyakitin lo dulu?" Tiba-tiba saja Renzo berdiri dan melangkah maju mendekati danau. "Kalau begitu, lo udah berhasil Vi! Udah berhasil bikin gue tersiksa karena kepergian lo yang terencana itu."
Renzo menoleh dengan senyum miring dan kembali mendekat ke arah Trivia. "Terus kalau lo pengen gue tersiksa, kenapa lo harus balik lagi? Kenapa lo harus bikin gue berharap lagi? Kenapa gak sekalian lo pergi, biar gue terus kesiksa dengan penyesalan ini?! Jawab gue Trivia!"
"GUE BUKAN TRIVIA!" Trivia --lebih tepatnya Trisia-- berteriak dengan amarah yang memuncak. "Lo mau tau kenapa gue muncul di kehidupan lo setelah Trivia meninggal? KARENA GUE MAU BALES DENDAM KE LO KARENA UDAH NYIA-NYIAN TRIVIA, SAUDARA KEMBAR GUE!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Back Again? [CS 2]√
General FictionCERPEN SAMBUNG SERIES 2 (Renzo x Trivia) Kembali untuk tetap tinggal? Atau Kembali untuk pergi lagi?