"Ini penyataan ya Ji, bukan pertanyaan. Jadi, kamu ngga perlu jawab apapun" lanjut Cindy dengan senyuman yang menampakkan pipi bolongnya itu.
Masih terlihat begitu manis, batin Jinan.
Sadar akan Jinan yang masih termenung menatapnya, dengan cepat Cindy mencuri kecupan kilat di pipi Jinan. Setelah mengecup pipi Jinan, Cindy tak langsung menjauhkan tubuhnya dari Jinan. Ia justru mendekatkan bibirnya pada telinga Jinan. "Sekarang kamu pacar aku, lagi..." bisik Cindy posesif.
☜ ☆ ☆ ☆ ☆ ☞
Jinan menarik kedua tangan Cindy yang masih dalam genggamnya, kebelakang punggung. Dipeluknya dengan cepat tubuh Cindy. Walau tidak begitu erat, tetap terasa nyaman. Tak butuh waktu lama, Cindy membalas pelukan Jinan. Terselip rindu yang coba dilepaskan oleh keduanya.
"Aku juga sayang kamu Hap" ucapan Jinan membuat Cindy tersenyum manis dalam peluknya.
"Kamu salah satu orang yang mampu membuat aku bahagia..." Jinan menjeda kalimatnya. Cindy dapat merasakan Jinan sedang menarik nafas dalam, "Dan terluka diwaktu yang bersamaan" lirih Jinan kemudian.
"Ji?" Cindy mencoba melepaskan pelukan mereka. Ia ingin menatap mata Jinan, mencari tau kemana arah pembicaraan Jinan. Namun Jinan justru mengeratkan pelukan mereka dan menopangkan dagunya pada pundak Cindy.
"Biarin aku ngomong ya Cindy Hapsari" pinta Jinan.
"Aku tau, cinta itu memberi bukan hanya menerima. Jika ngga ada yang diterima, kamu berhak untuk memintanya"
"Kamu tau, aku juga berusaha buat penuhin semua permintaan kamu. Meski kadang, aku harus menjadi orang lain. Aku rela, karna itu semua untuk kamu"
"Tapi, Hap... Apa aku masih harus membayar kebahagiaan yang udah kamu kasih, dengan rasa sakitku lebih lama lagi?"
"Ji?" kembali Cindy mencoba melepaskan tubuhnya dari Jinan tapi belum berhasil.
"Barusan kamu minta kita balikan, sedangkan status kamu sekarang pacar dia" ada penekanan dikata terakhir yang Jinan ucapkan.
"Apa kamu mau membalik posisi aku, dari sebelumnya pacar jadi selingkuhan kamu. Gitu?" sarkas Jinan, suaranya mulai bergetar.
"Permintaan kamu terlalu sulit Hap. Maaf, aku ngga bisa" suara Jinan semakin bergetar. Ia coba menyalurkan kecewanya dengan semakin mendekap erat Cindy.
"Jinan" bentak Cindy. Dilepasnya kasar pelukan Jinan. Cindy dengan jelas melihat mata Jinan yang mulai memerah.
"Ji, kamu?"
Jinan yang mengerti maksud Cindy, menganggukkan kepalanya.
"Iya Hap, aku tau..."
"Apa yang kamu tau, Ji?" Cindy berharap Jinan tak mengatakan apapun.
"Semuanya"
Cindy menatap Jinan tak percaya. Rasa bersalah seketika menyelimuti hatinya.
Apa itu yang bikin kamu ngejauh Ji, sesal Cindy.
"Ya, itu salah satu alasan aku ngehindarin kamu sebulan ini" Jinan seperti bisa membaca pikiran gadis didepannya.
"Maafin aku yang terlalu pengecut Hap. Aku terlalu takut mengakui kekalahanku. Bahkan sebenarnya aku udah kalah dari enam bulan lalu. Tapi aku masih menampik perasaan itu. Sampai dibulan kemarin, aku benar-benar menyerah" air mata yang sedari tadi ditahannya kini tumpah.
Cindy diam, ia tak tau harus berkata apa. Dirinya hanya mampu menundukkan kepalanya. Terlalu takut untuk menatap mata Jinan yang memancarkan begitu banyak luka akibat ulahnya. Menyesal, menjadi satu-satunya rasa yang menguasai perasaannya saat ini.