Sarah Aulia
Tidak seperti teh Nisa yang super cuek, aku selalu ingin tahu tentang dia. Sejak awal aku mendengar cerita Abah tentang dia aku memang sudah peduli padanya. Itu sebabnya aku tidak pernah keberatan diminta Ambu mengantarkan bubur buatnya. Bahkan setelah dia sehat dan bisa memakan menu selain bubur aku masih sering dimintai Ambu mengiriminya makanan. Kue basah, kolak pisang dan ubi, kadang juga es cendol dan bubur candil.
Setelah dia bisa berjalan tanpa bantuan tongkat lagi, dia juga mulai rajin mengunjungi rumah kami untuk bertemu Ambu. Memperhatikan betapa Ambu menyukai anggrek dan mulai banyak bertanya tentang cara menanam anggrek. Belakangan dia juga suka membantu Ambu mengurus anggrek-anggreknya.
Lalu dia juga mulai menanam anggrek di teras rumahnya. Anggrek yang ditanamnya, seperti juga koleksi anggrek Ambu, bukan anggrek sembarangan. Beberapa berharga mahal dan langka. Mulai dari anggrek Bulan, Vanda dan Catleya. Dia juga menanam Dendrodium di sepanjang pagar rumahnya.
Menanam anggrek jenis Vanda dan Catleya tidaklah mudah. Dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan untuk merawatnya setiap hari. Tapi sekali lagi harus kuakui dia memang istimewa. Dalam hitungan bulan setelah dia mulai menanam, rumahnya jadi semakin semarak. Aku suka sekali berkunjung ke rumahnya. Seperti sedang memasuki sebuah taman bunga.
Suatu hari Abah bercerita bahwa dia minta dicarikan sebidang tanah di sekitar rumahnya yang bisa dia miliki untuk dijadikannya kebun Anggrek. Dia membaca banyak sekali buku tentang budi daya Anggrek dan kemudian Ambu malah yang lebih banyak belajar darinya tentang serba- serbi menanam Anggrek.
Aku baru saja membuka pagar rumahnya ketika dia memberi salam dari suatu sudut terasnya. Asyik berkutat dengan pot dan media tanam untuk bibit anggrek yang baru dibelinya. "Assalammualaikum Dik Sarah, dari mana?" sapanya sopan. Aku tertawa sambil mengacungkan satu kantung plastik berisi buku-buku tentang Anggrek yang baru dipinjam Ambu.
"Mengembalikan buku, A'. Dari Ambu. Aa' sedang apa?" tanyaku lalu meletakkan kantong plastik berisi buku di atas balai kayu dan ikutan berjongkok di sampingnya.
"Aku sedang memindahkan bibit anggrek ini ke rumah barunya yang lebih besar, supaya dia bisa tumbuh dengan lebih leluasa," ujarnya sambil menunjukkan pot yang baru diisinya dengan media dengan tangan belepotan arang. Dia menggunakan arang sebagai media tempat tinggal bibit anggreknya.
"Terus kalau sudah dipindahkan diapain?" tanyaku ingin tahu. Dia bergumam tak jelas tapi bersedia menunjukkan apa yang akan dilakukannya.
"Kita sirami air lalu kita beri pupuk seperti ini. Supaya dia sehat. Lalu kita tempatkan di tempat yang teduh, tidak boleh langsung terkena sinar matahari," katanya seperti sedang membicarakan anaknya.
"Aa' ketularan Ambu ya, suka anggrek?" tanyaku ingin tahu.
Dia menatapku dengan wajah yang serius. Tapi suaranya terdengar santai ketika menjelaskan, "Aku suka menanam sejak SMP kelas satu. Aku punya sahabat yang baik sekali kepadaku. Ibunya memberiku bibit pohon singkong dan ubi untuk kutanam di halaman belakang rumahku," katanya menjelaskan.
Aku tertawa mendengar kisahnya. Kami sedang membicarakan kesukaannya menanam anggrek, tapi dia malah menceritakan tanaman pertamanya. Ubi dan singkong?
"Untuk apa menanam ubi dan singkong?" tanyaku setengah geli. Di desa kami sini, ubi dan singkong tumbuh begitu saja di pekarangan rumah kami tanpa harus ditanam dan dirawat susah payah.
Tapi aku berhenti tersenyum ketika mendengar ia menjelaskan dengan suara pelan, "Agar aku tidak kelaparan jika ayahku lupa meninggalkan uang untuk makan," katanya nyaris seperti gumaman.
"Ayahmu tidak memberimu makan? Bukankah kamu anak orang kaya?" Aku nyaris menyesal sudah mengatakan hal ini. Dia memandangku dengan cara yang tak bisa kuartikan. Matanya yang hitam dan jernih menatapku dengan tatapan yang juga tidak dapat kumengerti.
Tapi tiba-tiba aku merasakan suasana lain di antara kami. Kesedihan yang tak dapat dijelaskan. Rasa murung yang membuat kami berdua terdiam lama. Lalu dia menghela napas panjang dan kembali menyibukkan diri dengan anggrek-anggreknya.
Diam-diam aku mengambil sebuah pot kosong dan mulai mengisinya dengan tumpukan arang. Berdua kami menyelesaikan beberapa pot tanpa bicara lagi.
Seorang warga desa yang tinggal di kampung sebelah bersedia menjual tanah kosong yang kebetulan terletak bersebelahan dengan pekarangan paviliun kecilnya.
Sejak saat itu, setiap kali ada warga yang membutuhkan uang, mereka pasti akan menawarkan tanahnya untuk dia beli. Meski tidak semua lahan itu langsung dia budidayakan, tapi sebidang tanah yang lokasinya paling dekat dengan paviliunnya, pelan-pelan berubah menjadi kebun anggrek yang rimbun, subur dan indah.
Halo halo... How are you gorjes readers? Thank you for silently reading my story. Well.. aku lebih suka jika diberi komentar or any sign that you were there sih J Salam ketjup...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Dia (Sudah TERBIT)
RomanceKehidupan yang damai dan tentram di desa santri tempat Fathia Anissa dan keluarga besarnya tinggal tak pernah sama lagi sejak kehadiran dia. Seorang pemuda yang datang dalam keadaan sangat sakit dan kemudian menjadi murid kesayangan desa santri dan...