Bagian Ke-8 Suara Dari Langit

388 39 6
                                    

Fathia Annisa

Abah sudah berangkat ke masjid desa, bersama-sama dengan kaum laki-laki di desa kami untuk menunaikan sholat Subuh berjamaah. Kami yang perempuan tinggal di rumah untuk sholat di sebuah ruangan di samping rumah yang ditata Ambu menjadi musholla kecil. Ambu yang akan menjadi imamnya. Kami masih bergantian mengambil air wudhu ketika aku mendengarkan suara adzan Subuh berkumandang.

Suaranya--- berbeda dari suara adzan yang biasa kami dengar dari speaker masjid. Sama sekali berbeda. Suara ini pasti dikumandangkan oleh orang yang berbeda. Sangat lembut, cenderung memelas, seperti sedang memohon agar kami segera bangun. Nadanya diucapkan dengan tenang dan tidak terburu-buru. Nyaris seperti sedang bersedih meskipun mungkin itu hanya perasaanku saja.

Ambu yang sudah duduk di atas sajadah, mengangkat wajahnya dan tersenyum kepadaku. "Tara." Ujarnya dengan wajah penuh haru.

"Indah sekali suaranya, bukan?" Sambungnya lagi. Entah kenapa aku ingin segera datang ke masjid mendengar panggilannya.

"Ambu, kita sholat di masjid saja, yuk?" Ajakku kepadanya. Ambu tertawa lebar lalu menganggukkan kepalanya. Di sampingnya, Aisha melonjak-lonjak kegirangan. Dia tadi memang merengek ingin ikut Abah ke masjid. Sarah yang baru selesai wudhu menggerutu dan bergumam dia akan sholat di rumah saja karena masih mengantuk. Jadilah dini hari itu, aku, Ambu dan Aisha bergegas ke masjid untuk sholat Subuh berjamaah.

Sepanjang perjalanan singkat kami menuju masjid desa aku masih mendengar suaranya yang bening dan lembut berkumandang. Beberapa pintu rumah yang kami lewati terbuka dan beberapa orang berjalan beriringan bersama kami menuju masjid. Sepanjang perjalanan, ada juga yang bertanya-tanya.

"Sepertinya suaranya beda, bukan suara haji Dullah, ya?"

"Iya mungkin salah satu santri yang adzan. Jangan-jangan yang tempo hari menang lomba Adzan di kabupaten?"

"Suaranya bikin merinding. Seperti suara dari langit saja."

"Penasaran pingin liat siapa yang adzan."

Beberapa kali aku dan Ambu saling berpandangan dan tersenyum. Suaranya memang seolah datang dari dataran yang jauh nun di atas sana. Mengalun lembut mengitari pucuk-pucuk pohon, melayang, memutar, menari dan mendayu, menelusup ke relung-relung hatimu yang paling dalam dan menarik-narik jiwamu agar ikut mengalun dan melayang bersamanya. memohon siapa saja yang mendengar untuk segera datang ke Masjid. Atau itu sekali lagi, mungkin hanya perasaanku saja.

Rasa takjub berlanjut ketika kami memasuki halaman masjid. Masjidnya ternyata sudah ramai. Jangankan di bagian pria. Bagian perempuannya pun lebih dari separuh ruangan terisi. Mungkin karena ini sudah masuk akhir pekan sehingga banyak warga yang libur jadi bisa menyempatkan diri untuk sholat subuh di masjid. Atau mungkin juga karena panggilan adzannya yang istimewa.

Apapun alasannya, Abah dan tetua di kampung kami sangat berbesar hati. Abah cerah sekali wajahnya karena masjidnya ramai. Tapi aku tidak sempat bertemu dengan dia. Menurut Abah, dia masih di masjid. Melanjutkan pelajaran privatnya tentang ilmu Fikih kepada Uwak Syarif, sampai waktunya sholat Dhuha nanti.

Aisha sempat bertanya kepada Abah apakah Muadzin di masjid kami akan diganti untuk seterusnya? Abah tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

"Ya tidak begitu juga, Neng geulis, kan dia masih harus sekolah. Nanti kalau dia di sekolah siapa dong yang adzan pas Dhuhur atau Ashar?" Ujar Abah menjelaskan.

"Tapi kalau dia sedang sempat, dia sudah bilang mau kok untuk mengumandangkan adzan di masjid kita." Sambung Abah lagi dengan wajah cerah. Kelihatan betul dia sangat bangga dengan prestasi murid kesayangannya yang baru saja memenangkan juara 1 lomba adzan tingkat SLTP sekabupaten.

Tentang Dia (Sudah TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang