Bagian Ke-5 Selalu Tentang Dia

405 34 0
                                    


Fathia Annisa

Menurut Ambu, adalah suatu keajaiban bahwa dia berangsur-angsur menemukan kekuatannya kembali. Meski pelan, sekarang dia bisa berjalan tanpa kursi roda atau tongkat. Dia juga sudah mulai belajar mengaji bersama Abah, meskipun masih privat karena menurut mas Faris dia belum siap untuk bergabung dengan santri-santri yang lain di pesantren.

Kesembuhannya yang tak terduga juga sekaligus membuktikan perkataan Ambu dulu bahwa dia sebetulnya adalah lelaki muda yang sangat kuat. Tabah. A Fighter. Kelihatannya saja lemah dan tak berdaya tapi ternyata dia punya tekad yang sangat kuat untuk sembuh. 'Survival insting'nya kuat sekali, kata Abah. Dan mereka berdua semakin mengaguminya.

Sekarang, hampir setiap hari makan malam kami dihiasi cerita tentang dia. Abah tak henti-henti menyatakan keheranan dan kekagumannya pada dia.

"Dia punya suara yang indah sekali, enak sekali mendengarnya mengaji. Suatu hari Abah akan melatihnya mengumandangkan adzan dengan baik agar warga kampung bisa menikmati suara indahnya," kisah Abah suatu hari. Ambu mendengarkan dengan antusias.

Lalu di malam yang lain Abah akan bercerita tentang betapa hebat daya ingatnya bekerja. Baru beberapa kali dibaca dia sudah langsung hapal. Abah tinggal membimbing tentang cara panjang pendek bacaannya.

Ambu juga tak sabar untuk bercerita kepada Abah betapa sopan dan penuh hormatnya dia. Tampak begitu senang dan berterima-kasih ketika Ambu akhirnya menyerahkan baju hangat rajutannya dan membuatnya hampir menangis karena terharu.

Lalu dengan penuh semangat Abah berkata bahwa Abah sendiri yang akan mengantarkan dia di hari pertamanya besok. Karena dia dirasa siap untuk mulai melanjutkan pendidikan formalnya. Kelas 9 SMP Tsanawiyah Bina Taqwa, satu sekolah dengan Ibrahim, sepupuku.

Sudah bertahun-tahun Abah mengajar di pesantren milik kakekku yang kini dikelola oleh uwak Syarif, pamanku. Dan sudah puluhan santri yang pernah menjadi muridnya dan belajar Al Qur'an bersamanya. Sudah 14 tahun dia menjadi Abahku dan sepanjang masa itu, seingatku, belum pernah ada satu orang santri pun yang mendapat kehormatan untuk dibicarakan atau diceritakan kebaikannya hampir setiap malam di acara makan malam kami.

Ba'im, alias Ibrahim sepupuku pun selalu bercerita tentang dia dengan penuh kekaguman. Kebetulan mereka satu kelas. Aku sendiri baru kelas tujuh. Dulu Ba'im selalu menungguku di ujung desa agar bisa bersama-sama berangkat ke sekolah. Tapi sekarang Ba'im lebih sering membonceng dia pulang dan pergi ke sekolah sementara aku diantar dan dijemput Abah dengan sepeda motor.

Hanya saja setiap hari Jumat, aku diharuskan pulang ke rumah sendiri karena Abah akan menjemput dia dan Ba'im untuk bersama-sama berangkat ke masjid. Aku biasanya akan membawa sepeda Ba'im pulang ke rumah. Sore harinya, selepas Ashar, Ba'im akan mengambil sepedanya ke rumahku.

Seperti juga sore ini, menjelang pukul empat sore Ba'im datang sambil membawakan Ambu 'singkong Thailand' buatan bunda Nurul, ibunya. Ambu senang sekali mendapat oleh-oleh istimewa. Aku yang sedang membantu Ambu menggoreng tahu juga kebagian. Lalu aku menemaninya mengambil sepeda di teras belakang.

"Kau mau pergi?" tanyaku saat berjalan menjajari langkahnya ke teras belakang.

"Mau ke masjid. Persiapan lomba Adzan antar SMP sekabupaten. Kami mau latihan. Abahmu yang akan melatih," katanya sambil membuka pagar teras belakang.

"Tara juga bakalan ikut," katanya sambil melirikku sekilas. Dia? Ikut lomba adzan? 

"Memangnya bisa?" tanyaku heran. Biasanya pesantren akan mengirimkan santri-santri yang sudah senior untuk mengikuti lomba mewakili pesantren. Dia baru 6 bulan tinggal di sini dan bahkan baru beberapa minggu bergabung bersama para santri untuk belajar menghapal Al Quran. Dia bahkan tidak tinggal di asrama pesantren.

Ba'im tertawa menanggapi keherananku, "Kau belum pernah mendengarnya mengaji?" tanyanya sambil menaikkan alisnya. Aku menggelengkan kepalaku.

"Kau juga belum pernah mendengarnya mengumandangkan Adzan?" tanyanya lagi. Tawanya semakin lebar ketika sekali lagi aku menggeleng.

"Dan kau belum mendengar apa kata teman sekelas kami tentang dia? Khususnya yang berjenis kelamin perempuan sepertimu?" Aku berani bersumpah Ba'im mulai lebay.

"Apa?!  Memangnya bagaimana caranya mengaji? Bagaimana caranya mengumandangkan adzan? Apa yang dibicarakan teman-teman perempuannya?!"  Aku menarik kerah kemejanya dengan gemas.

Ba'im hanya tertawa-tawa lalu segera mengayuh sepedanya menjauhiku, menuju masjid desa. Dilambaikannya tangannya sambil berteriak, "Mereka bilang dia anak kota yang keren!" Lalu begitu saja dia menghilang dari pandanganku menaiki sepeda bututnya. Huh!

Baru beberapa bulan bersekolah di SMP desa dia sudah menjadi buah bibir. Teman-teman sekelasku bergerombol sambil cekikikan saat dia lewat. Kakak kelas mencuri-curi pandang saat dia berjalan menuju perpustakaan sekolah sambil menunduk.

Perpustakaan sekolah kami tiba-tiba saja menjadi tempat hang-out paling happening karena semua murid perempuan berbondong-bondong mencari buku ke sana, agar bisa mencuri pandang pada wajahnya yang tekun saat sedang membaca buku di salah satu meja.

Apa menariknya dia, sih? Tak pernah tersenyum. Tak pernah menatapmu saat diajak bicara. Selalu menunduk saat berjalan. Dan hanya tertarik pada buku-buku di perpustakaan. Oh ya, buku! Bukankah dia membawa banyak buku saat datang dulu? Aku ingat ingin bertanya kepadanya tentang buku-buku koleksinya. Mungkin nanti.

Sekarang-sekarang ini aku sedang agak bosan membicarakan dia. Justru karena seluruh dunia sedang membicarakannya. Mulai dari Ambu dan Abah di rumah. Sepupuku Ba'im. Teman-teman sekelasku lalu seluruh sekolah. Seolah tak ada anak kota yang pernah bersekolah di sini sebelumnya. Seolah tak ada topik lain yang lebih menarik untuk dibicarakan.

Aku bahkan tiba-tiba saja punya banyak teman bareng ke kantin saat istirahat hanya karena mereka tahu dia dititipkan kepada keluargaku. 

Padahal setelah sekian lama dia tinggal bersama kami, baru satu kali aku bicara padanya di balai kayu dulu. 

Padahal tidak sekali pun aku secara khusus tertarik untuk membicarakannya. Dia terus. Selalu tentang dia.

Tentang Dia (Sudah TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang