Bab 1. Tamu Istimewa

1.3K 53 1
                                    

Kau dilahirkan dengan sayap.

Kenapa mesti merayap dalam hidup?

(Rumi)


Fathia Annisa

Aku ingat betul hari-hari sebelum dia datang. Abah dan Ambu sibuk berdiskusi dengan suara pelan selama beberapa hari tentang rencana kedatangan 'anak titipan dari Jakarta'. Meskipun diskusi selalu dilakukan dengan suara pelan, tapi jika aku sedang ada di rumah, mau tidak mau aku bisa mendengarkan mereka bicara. Dan pembicaraan sepanjang minggu yang terus-menerus itu mau tidak mau membuat rasa ingin tahuku terbit. Dan setelah satu minggu, maka aku dan Sarah, adikku, berhasil mengumpulkan beberapa fakta.

Abah dipanggil Ketua Yayasan Pesantren, kakek kami, Mbah Kyai Hasan khusus untuk membicarakan rencana kedatangannya. Seorang anak lelaki berusia 16 tahun, hanya dua tahun lebih tua dariku, dari Jakarta. Dia dititipkan oleh keluarganya, seorang pengusaha kaya di Jakarta karena ngotot minta dikirim ke pesantren Mbah Kyai untuk belajar menghafal Al Qur'an.

Mbah kyai adalah pemilik tanah dan pusat pendidikan pesantren modern Bina Taqwa, tempat kami sekeluarga tinggal. Saat ini Komplek Pesantren milik Mbah Kyai meliputi Pesantren putra, yayasan pendidikan Tsanawiyah (setingkat SMP) dan Aliyah (setingkat SMU), sekolah Tahfiz Alquran, Rumah Yatim Arrohmah dan Masjid Baiturrahman yang berlokasi di dua desa yang bersebelahan di kaki gunung Salak, Bogor.

Saat ini Mbah Kyai mendelegasikan sebagian besar tugasnya di Yayasan kepada kedua putranya, Abah Syarif yang juga uwak kami/kakak kandung Abah (mengurus Yayasan Pendidikan) dan ayahku yang biasa dipanggil dengan sebutan Abah Umar, untuk mengurus yayasan Rumah Yatim dan Asrama Pesantrennya. Keduanya adalah sarjana pendidikan agama (Tarbiyah) lulusan universitas Al Azhar, Mesir dan keduanya juga penghafal Al Qur'an.

Abah diminta menyediakan sebuah paviliun terpisah dari Rumah Yatim maupun Asrama Pesantren untuk tamu kami dan penjaganya, yang lokasinya dekat dari Rumah Yatim agar tetap bisa mengawasinya.

Tapi mencari sebuah paviliun kecil dalam waktu singkat tidaklah mudah. Memang terdapat banyak rumah penduduk di sekitar Rumah Yatim kami, tapi kebanyakan tidak memenuhi persyaratan yang diminta oleh pihak keluarga dari Jakarta. Kepusingan Abah menyambut tamu dari Jakarta inilah yang seringkali menghadirkan diskusi-diskusi pelan tetapi hangat dengan Ambu kami dan membuat aku mengerutkan dahiku karena rumitnya.

Mulanya aku dan Sarah tidak mengerti mengapa Abah dan Mbah Kyai mau merepotkan diri mengurus seorang anak orang kaya yang manja dari Jakarta. Menurut Sarah, jika dia mau mondok di sini, seharusnya dia mengikuti aturan main yang berlaku di sini, sama dengan santri-santri lainnya. Kenapa pula tinggalnya harus dipisah dari asrama pesantren? Kenapa harus dititipkan ke Rumah Yatim asuhan Abah? Dan kenapa harus Abah dan Ambu kami yang repot?

Aku bahkan sampai membelalakkan mataku ketika 3 hari sebelum dia betul-betul datang, Abah menyerahkan beberapa lembar kertas berisi diet makan dan apa-apa saja yang harus disiapkan untuk dia selama tinggal di Yayasan, yang dikirim melalui email dan dicetak oleh staf pesantren untuk diserahkan ke Ambu.

"Belum datang saja sudah merepotkan!" Ujarku ketika melihat Ambu membaca lembaran kertas itu satu persatu. Ambu melirikku dengan tajam.

"Hus! Jangan sembarangan bicara!" Ujarnya dengan suara pelan tetapi tegas. Meskipun Ambu kelihatan enggan tapi sebagai istri yang baik tentu saja Ambu harus mendukung keputusan Abah untuk menerima kehadiran dia.

Yah. Rumah kecil yang baru dibangun Abah, yang sedianya diperuntukkan bagi juru masak dan asistennya di Rumah Yatim dialihfungsikan sementara untuk tempat tinggal dia. Meskipun letaknya lebih dekat ke Rumah Yatim dibanding ke Pesantren, tapi setelah Abah mengirimkan foto-foto rumah itu ke Jakarta, akhirnya keluarga itu setuju.

Tentang Dia (Sudah TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang