Painful # 23

5K 511 59
                                    

Lagi dan lagi, mimpi aneh itu telah kembali lagi merasuki di benak Elang setiap tidurnya. Ia tak habis pikir, kenapa mimpi itu selalu saja datang tanpa bisa dihilangkan. Elang merasa terpojok, mimpi yang ia alami penuh teka-teki seolah memberikan satu pentunjuk tentang jati dirinya. Kesimpulannya, Elang harus segera mungkin dapat menemukan jawaban arti dari mimpi tersebut. Supaya ia tak terus-menerus dihantui oleh bayangan aneh itu, yang setiap malamnya datang dan mengusik kenyamanan dalam tidurnya.

Elang terjaga, duduk terpekur di atas ranjang. Keringat mengucur deras memenuhi area wajah pucatnya. Elang tak bisa kembali untuk tidur, karena keresahan dirasakannya sejak tadi terus hadir seperti ingin mengotak-atik hidupnya begitu keras.

Elang menyibak selimut tebal yang menutupi setengah tubuhnya, kemudian menjulurkan kedua kakinya hingga menyentuh lantai keramik, sembari mengembus napas yang terasa sesak di dadanya. Tanpa ragu Elang melangkahkan tungkainya menuju pintu kamar dan membukanya. Sepi, pertama kali ia menyapa setiap sisi ruangan itu, mungkin penghuni lainnya sudah terlelap tidur.

Mata Elang melirik jam yang bertengger manis di dinding tepat di sebelah lemari kaca besar, berisikan puluhan koleksi tas mewah seharga puluhan juta milik Vicky. Jam menunjukkan pukul 11.30 malam.

Elang melanjutkan langkahnya kembali. Ada 15 anak tangga di samping kamarnya, ia menjajal satu per satu anak tangga itu menuju lantai bawah. Perlahan Elang lewati dengan hati-hati, satu tangannya sebelah kanan berpegang pada penyanggah tangga stailes.

"Loh, Nak Elang belum tidur?"

Suara serak berasal dari Mbok Aty menyambangi pendengaran Elang saat meniti anak tangga terakhir. Matanya mengarah pada Mbok Aty yang baru saja muncul dari bilik dapur, sambil memegang nampan plastik berisikan secangkir kopi susu hangat di kedua tangannya.

"Tadi udah tidur. Tapi bangun lagi," jawab Elang sambil mengacak-acak rambutnya yang terlihat berantakan. "Mbok juga kenapa belum tidur?"

"Mbok mau antar kopi untuk Pak Danang dulu. Nak Elang mau Mbok bikinin kopi juga?"

"Enggak usah, entar Mbok enggak bisa istirahat. Aku mau ke kamar Mbak Vicky aja," ujar Elang seraya melengos di depan Mbok Aty yang kini wajahnya berubah cengo.

"Nak Elang mau ke mana tadi?"

"Kamar Mbak Vicky."

"Ke mana tadi?"

Elang berdecak kesal. Mbok Aty mengulang pertanyaan sama seakan telinganya siap mengeluarkan asap merah, pertanda ia akan mulai melontarkan kata marah. Tapi Elang urungkan, mengingat di depannya ini adalah seorang wanita yang lebih tua darinya. Bagaimanapun Elang harus tetap hormat meski Mbok Aty hanyalah seorang pelayan. "Mbok Aty aku boleh tanya enggak?"

"Boleh Nak Elang," jawab Mbok Aty sambil manggut-manggut cepat.

"Kuping Mbok Aty udah pensiun, ya?" tanya Elang dengan penekanan.

"Hah! Nak Elang kira kuping Mbok udah budek, apa? Masih adem ayem mah kuping Mbok, enak aja!" seru Mbok Aty tidak terima dengan penuturan adik angkat majikannya yang selalu bicaranya asal nyablak, seperti rem kendaraan tak berfungsi lagi atau sudah blong.

"Habisnya Mbok tanyanya ngulang-ngulang mulu. Aku,'kan kesal."

Mbok Aty menyengir kuda tanpa berdosa. "Mbok hanya ngetes."

"Ngetes?" Elang mengernyit hingga keningnya terlihat berkerut.

"Tadi Nak Elang bilang mau ke kamar Mbak Vicky, toh?"

Elang mengangguk.

"Kamar Mbak Vicky ada di lantai atas bersebelahan kamarnya Nak Elang. Makanya Mbok bingung, kok kenapa Nak Elang malah ke bawah? Nak Elang lupa? Kayak Nak Elang ini udah pikun aja, padahal masih muda." Mbok Aty terkikik geli, ia tidak menyadari kalau Elang terdiam. Wajah Elang yang semula kesal sekarang berganti dengan wajah sedih, manakala ia teringat dengan satu nama penyakit yang menjadi bomerang seumur hidupnya.

PAINFUL ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang