Painful # 32

5K 483 59
                                    

Takdir baik masih berpihak pada Elang. Ia tidak menyangka, orang yang duduk di hadapannya ini adalah saudaranya. Ingatannya telah pulih meskipun belum sepenuhnya, saat kenangan masa kecilnya dulu bersama Rafa, secara paksa masuk di dalam pikiran cowok berparas tampan itu tanpa permisi.

Di bawah sinar rembulan malam. Dua cowok beda usia duduk di bangku panjang sambil menikmati sate ayam. Sementara Niken sudah pergi, karena ada urusan mendadak yang tak bisa ditinggalkan. Rasa bahagia selalu menyertai dua kakak beradik itu, saling melepas rindu. Berkumpul bersama keluarga, satu hal yang selama ini Elang inginkan. Selagi masih ada waktu. Hidup tidak pernah tahu, kapan akan dipanggil sang pencipta-Nya. Bisa besok, lusa, bulan depan, satu tahun, atau lima tahun lagi.

Sorot mata nan teduh tak lepas terbingkai jelas dari Rafa. Ia memandangi sang adik yang setia menundukkan wajah sembari melahap sate ayam. Mengabaikan kopi hangat di atas meja yang dipesannya tadi. Rafa begitu pangling, Elang kecilnya dulu telah berubah menjadi sosok yang tampan dan dewasa. Meski kelakuannya terkadang menyebalkan, hingga Rafa harus mengelus dada beberapa kali. Bukan berarti ia membenci.

Rafa setia menitil wajah Elang. Kekehan lebar tercipta, kala melihat Elang menghabiskan 20 tusuk sate dengan lahap, sampai tak menyadari ada saus kacang menempel pada area bibirnya.

"Kamu masih sama kayak dulu, ya?"

Elang menghentikan makannya sejenak. Wajahnya terangkat mengarah pada sosok yang duduk di depannya. Alis Elang mengkerut, ucapan Rafa terlalu ambigu ia dengar.

"Maksudnya?"

Rafa mengambil tisu yang memang sudah disediakan di atas meja untuk pembeli. Rafa mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada Elang. Sorot matanya tajam, membuat Elang sedikit was-was dengan pergerakkan Rafa begitu tiba-tiba.

"Mau apa, lo?" cicit Elang menunjukkan ekspresi takut. Tubuhnya perlahan mundur, saat wajah Rafa sudah lebih dekat ke wajahnya. Tanpa berkata, tisu yang ada di tangannya, Rafa arahkan pada sudut bibir Elang yang berlepotan dari saus kacang, lalu ia bersihkan.

"Sudah besar cara makannya seperti anak kecil. Katanya ganteng, ada saus kacang menempel di mulut aja enggak tahu," ujar Rafa terkekeh.

Mendengar itu, Elang mendengus. Penuturan Rafa seolah mengolok-oloknya. Ia merasa di hadapan Rafa tak berarti, image-nya sebagai cowok sekejap luntur. Namun, Elang menyadari, kebiasan buruk yang tidak biasa ditunjukkan pada Rafa memanglah fakta. Seperti saat ini, Elang kalau dalam keadaan lapar akut tak peduli lagi jika ada noda makanan menempel di area wajahnya, asalkan perutnya terisi. Saat bersama Rafa, entah mengapa Elang merasa diperhatikan penuh. Bahkan, setiap perkataan Rafa sering terdengar panas di telinganya, tetap saja Elang tidak bisa menang. Rafa terbilang pintar mengeksekusi ucapan pedasnya, sehingga ia tidak dapat berkutik lagi.

"Suka-suka gue! Mulut, mulut gue juga. Bukan mulut lo," balas Elang ketus. Namun, rasa malu telah mengelabuinya, tapi Elang berusaha menutupi agar Rafa tidak tahu. Ia begitu gengsi untuk mengakui.

"Sopan sedikit pada orang yang lebih tua dari kamu. Mulai sekarang, kamu panggil saya, Abang," ujar Rafa setelah selesai membersihkan noda saus kacang di mulut Elang. "Habiskan makanan kamu, setelah ini kita ke rumah sakit."

"Gue enggak mau ke situ lagi!"

"Kamu masih dalam perawatan di sana. Kamu belum sembuh."

"Gue bilang enggak mau!" Elang menggerbak meja kuat. Aksi Elang membuat Rafa berjengit kaget.

"Elang, tenanglah. Ini demi kesehatan kamu. Mama dan papa mengharapkan kamu bisa sembuh. Kita bisa kumpul lagi kayak dulu, dan Abang akan menebus semua kesalahan Abang yang sudah meninggalkan kamu di taman itu." Rafa berucap lirih. Ungkapan itu terdengar menyayat di telinga Elang.

Elang menatap Rafa datar. Air mata sempat tertahankan kini sudah meluruh dari kedua netranya, membasahi area wajahnya yang mulus. Tangannya terkepal erat, luka baru saja mengering, malah ditorehkan lagi oleh ucapan Rafa. Potongan memori masa kecil sekejap muncul di benak Elang. Sakit rasanya bila harus teringat kembali. Dikala itu, sewaktu Elang ditinggal oleh Rafa bermain bola, sampai ia diculik oleh preman cukup melukai hidupnya semakin dalam. Masa kecil Elang tidak bahagia, yang ia dapatkan hanyalah penderitaan. Hal itu suatu kesalahan tidak disengaja yang dilakukan Rafa.

"Elang, Abang ber---"

"Lo emang bersalah," ucap Elang sengit. Tubuhnya bergetar, air mata masih bekerja keluar tanpa diminta.

"Kamu marah? Maafkan Abang." Rafa berucap penuh sesal. Wajar, jika Elang marah padanya. Karenanyalah Elang hilang sehingga kedua orang tua mereka pun ikut menderita.

"Kalau aja dulu lo ajak gue, gue enggak bakal diculik sama preman berengsek itu! Dan hidup gue enggak akan kayak gini!"

Elang berdiri. Matanya masih setia memandang nyalang pada Rafa. Rafa melihat itu dapat mengartikan, Elang menatapnya penuh rasa benci dan dendam. Namun, Rafa mengerti. Ia memang bersalah. Kesalahannya mungkin tak dapat termaafkan. Yang ia lakukan hanyalah, meminta maaf pada Elang dan memulai kembali dari awal, serta memberikan kebahagiaan yang selama ini tak pernah Elang rasakan.

"Maafkan Abang," ucap Rafa lirih.

"Gue benci sama lo!" Elang beranjak  pergi ke arah jalanan setelah mengucapkan kalimat telak yang sukses menampar hati Rafa.

Rafa bangkit dari duduk. Kemudian berlari mengejar Elang. Rafa tidak boleh kehilangan Elang lagi, jika itu terjadi, semakin bertambah pula rasa bersalah pada dirinya. Rafa pastikan hidupnya juga tak akan pernah tenang. Apa yang ia dapatkan selama ini dari kemewahan, pekerjaan, uang banyak, bahkan segala macam harta benda pemberian orang tuanya, tidaklah berarti untuknya. Bila adik satu-satunya ini tidak pernah menikmati apa yang ia miliki.

"Elang, tunggu!" Rafa menyamakan langkahnya. Ia mencekal tangan Elang.

"Jangan deket-deket gue!" Elang memberontak, saat Rafa berhasil mengunci tubuhnya ke dalam pelukan.

"Maafkan, Abang." Sekali lagi Rafa memohon. Ucapan kata maaf lolos dari mulutnya, berharap Elang akan luluh untuk memberi maaf.

Elang menangis dalam diam. Tidak mudah baginya menerima semua kenyataan pahit. Wajah palsu penuh keceriaan selama ini terpasang di hadapan semua orang, akhirnya Elang tampakkan juga aslinya. Ia tak tahan lagi, cukup lama ia berperan sebagai sosok yang kuat tanpa memiliki beban masalah apa pun. Sejatinya Elang begitu lemah, rapuh, dan sering menahan rasa sakit begitu keras sendirian.

Rafa ikut menangis. Ia juga merasakan betapa hancur dan terlukanya Elang. Bagaimana Elang harus menghadapi hidup penuh kerikil tajam tanpa ada penyokongnya. Bagaimana Elang harus berjuang sendiri setelah dewasa, membiayai hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Sejak itu, Elang bertekat segala sesuatu apa pun yang terjadi, ia tidak boleh lemah dan menyerah. Walau dibalut sakit sangat parah dideritanya, tak sedikitpun Elang tampak goyah.

"Lo enggak pernah tahu bagaimana hidup gue! Gue ketakutan, sakit, capek, sendirian. Orang-orang menyangka gue ini baik-baik aja. Tapi mereka juga enggak pernah tahu, semua keluhan yang gue rasakan," ucap Elang dengan suara parau.

"Kamu sekarang enggak akan pernah  sendirian lagi, Abang janji selalu jagain kamu. Dan Abang janji buat kamu bahagia, juga mama dan papa."

Rafa semakin mengerat memeluk Elang. Elang tidak memberontak lagi, malahan tubuhnya terasa lemas seakan kesulitan untuk bergerak bebas. Setiap untaian kata penuh kelirihan yang terlontar oleh Elang, membuat hati Rafa ikut merasa tersakiti. Begitu kejamnya hidup Elang tanpa ia sangkakan. Mungkin dengan kata maaf pun tak cukup membayar semuanya yang pernah ia lakukan dulu.

"Gue takut," gumam Elang pelan.

____________________________________

Saya kembali lagi ^^

28.01.19

Re-publish (03.06.2021)

Walau lebaran udah lewat, saya mengucapkan minal aidin walfaizin ... mohon maaf lahir dan batin. 🤗🤗

PAINFUL ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang