Tiga Belas

174 13 0
                                    

Anan langsung turun dari kamar hotelnya ke lobby ketika Arya menelepon. Suasana hatinya masih berantakan sebenarnya. Hasil dari perbuatan Bhanu tadi yang cukup mengejutkan.

'Ada saya juga, kalo kamu lupa.'

Kalimat terakhir dari Bhanu terus berputar-putar di kepalanya. Ditambah lagi, Bhanu begitu berani memojokkannya ke dinding dan berbicara dengan lancangnya seakan pria itu memiliki hak untuk memintanya menjauhi Arya.

Maka dari itu, ketika Arya meneleponnya dan mengajaknya untuk menghabiskan sore di alun-alun, Anan dengan cepat mengiyakan. Berlama-lama sendirian dengan bayangan Bhanu yang terus berputar-putar di kepala sama sekali tidak baik untuk kesehatannya. Kesehatan jantungnya terutama.

Anan sedang menunggu di depan lobby hotel ketika tidak lama kemudian Arya datang dengan mobil yang sengaja ia sewa selama di Malang.

"Mbak Anan, ya?" Kata Arya dari balik kemudi, ketika mobil yang dikendarainya sudah berhenti di depan Anan. Persis mengikuti gaya supir taksi online ketika menjemput konsumennya.

Anan nyengir. "Iya. Bapak Arya, ya?" Balasnya, melongok ke dalam mobil, mendapati Arya sedang tersenyum manis kepadanya.

Ahh.. hati Anan rasanya porak-poranda lagi.

Buru-buru sadar dan tidak mau membiarkan dirinya terbuai oleh senyuman manis Arya terlalu lama, Anan kemudian membuka pintu mobil dan masuk.

Sepanjang perjalanan Arya bercerita panjang lebar mengenai pekerjaannya. Alasan mengapa dia sampai turun tangan menangani proyek pembangunan toko cabang baru milik perusahaan Anan, hingga persiapan pernikahannya dengan Nadya yang mandek di pemilihan konsep.

"Nadya maunya pestanya mewah, Tar. Kayak artis-artis yang pake tema fairytale gitu. Glamor." Arya berbicara sesampainya mereka di alun-alun.

Mereka memilih duduk di bangku plester di tengah alun-alun, tepat menghadap air mancur.

"Ya nggak apa-apa lah. Kan tamu-tamu kalian juga pasti bukan dari kalangan biasa, wajar kalo Nadya mau pestanya mewah." Anan menjawab sambil menatap lurus ke arah percikan air mancur di depannya.

"Iyah.. tapi dia nggak mau pake WO, Tar. Maunya urus sendiri. Lah kamu kan tau aku sama dia gimana sibuknya? Mana ada waktu buat ngurus perintilan kayak gitu?" Arya memijit pelipisnya. "Eh tapi wedding cake jangan sampe lupa loh, Tar. Bikinin spesial buat kita."

Anan menoleh cepat ke Arya. Baru ingat kalau dia mendapat tugas membuat kue pernikahan untuk pria itu dan kakaknya.

"Hampir aku lupa, Mas." Jawabnya polos.

"Dasar!" Arya reflek menjitak ubun-ubun Anan, membuat gadis di sampingnya itu meringis sambil mengusap-usap kepalanya sendiri. "Kalo sampe lupa, aku bakar toko kamu!"

Anan tergelak mendengar ancaman Arya.

Iya, Anan yang biasanya hanya berwajah datar, kali ini tertawa. Ter-ta-wa.

Bhanu yang diam-diam mengintai dari jauh pun sampai tertegun sesaat. Sudah lama sekali dia tidak melihat tawa Anan. Bahkan dia sampai berpikir bahwa Anan mungkin sudah lupa bagaimana cara tertawa.

Tapi toh sebenarnya Anan tidak sekaku itu. Atau mungkin lebih tepatnya, jika bersama Arya, Anan tidak perlu sekaku itu. Anan tidak perlu bersikap sok tegar atau sok menutup diri dari dunia luar ketika sedang bersama Arya. Gadis itu hanya mencoba menjadi dirinya sendiri. Terlepas dari bagaimana perasaan yang ia miliki untuk calon kakak iparnya itu.

"Nadya tau Mas Arya lagi di Malang?" Anan bertanya lagi.

Arya menerawang sesaat, mencoba mengingat-ingat.

"Tau kayaknya. Pas mau berangkat kemarin, aku juga ngabarin. Tapi dia lagi di ruang operasi, jadi aku cuma chat aja."

Kepala Anan mengangguk-angguk paham.

"Kamu mau berapa hari di sini?"

"Lusa aku pulang, flight pagi."

"Hmm.." Tiba-tiba Arya mengubah posisinya menjadi menghadap Anan, lalu menatap gadis itu lekat-lekat.

"Apa?" Anan mengangkat kedua alisnya, penasaran.

Arya memicingkan matanya. "Kamu ada hubungan apa sama Bhanu?"

Anan sedikit terkejut tiba-tiba mendengar nama Bhanu disebut. Wajah atasannya itu terbesit lagi di kepalanya.

"Dia bos aku." Jawab Anan singkat.

"Selain itu?"

"Selain itu?" Anan mengulangi pertanyaan Arya. "Ya cuma itu. Emang apa lagi?"

Arya tersenyum sinis. Tidak puas dengan jawaban Anan.

"Abisnya tadi siang kayaknya dia gimana gitu."

"Gimana apanya?" Anan pura-pura tidak tahu. Padahal dia paham apa yang sebenarnya dimaksud Arya.

"Kayak protektif gitu ke kamu." Arya melirik Anan sesaat, lalu menghembuskan napas berat. "Dia cemburu?"

Uhuuukkk...

Anan langsung batuk-batuk tersedak air ludahnya sendiri.

"Siapa sih yang cemburu, sayaaangg??"

Tiba-tiba sepasang tangan melingkari bahu Arya. Mesra.

Arya reflek memutar tubuhnya, setelah sebelumnya menangkap ekspresi kaget Anan.

"Kamu--"

Seakan kehilangan kata-kata, kalimat Arya hanya menggantung di udara. Napasnya seketika tercekat ketika menemukan sosok yang sekarang berdiri di hadapannya. Nadya.

***

Dari kejauhan, Bhanu yang sebelumnya hanya berniat mengamati dari tempatnya bersembunyi, akhirnya memutuskan mendekat perlahan.

"Itu orang dua ngomongin apaan sih bisa sampe ketawa-ketawa gitu?" Bhanu menggerutu sendiri.

Jarang-jarang dia melihat pemandangan Anan yang sedang tertawa. Nyaris tidak pernah malah. Setahu Bhanu, gadis itu selalu memasang wajah datarnya kemana pun dia pergi. Bahkan selalu berkata dengan sengit setiap kali bicara dengan Bhanu.

Awalnya Bhanu hanya ingin mendengar pembicaraan yang terjadi antara Anan dan Arya. Tapi kemudian jantungnya ikut mencelos ketika tiba-tiba matanya menangkap sesosok wanita cantik berjalan melewatinya.

Bhanu mengenali wanita itu meski hanya melihat punggungnya. Matanya terus mengikuti ke arah wanita itu berjalan. Benar dugaannya, wanita itu menghampiri dua insan yang sedang Bhanu mata-matai.

Kemunculan Nadya yang tiba-tiba dan langsung memeluk Arya sontak membuat Bhanu ikut berjengit di tempatnya. Dilihatnya juga ekspresi kaget Anan, tapi tidak sampai sekian detik, wajah gadis itu sudah berubah datar lagi.

Sekali lagi, Bhanu tidak habis pikir. Bagaimana bisa Anan setenang itu sementara pria yang disukainya sedang bermesraan dengan wanita lain di depan mata.

Kemudian, karena gerah dengan sikap Anan yang terlalu tenang, Bhanu memutuskan untuk berimprovisasi sedikit di dalam kegiatan mata-matanya.

"Pak, mau kemana? Ntar ketauan!" Faisal berteriak tertahan ketika melihat Bhanu beranjak mendekat ke tempat Anan duduk.

Tapi Bhanu tidak peduli. Saat ini yang ada di pikirannya cuma satu, membawa Anan pergi secepatnya dari sana.

***

BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang