Dua Belas

184 14 0
                                    

Ya, aku memang bodoh

Sebodoh hatiku yang sebegitu tunduknya hingga tak bergeming di hadapanmu

***

Bhanu pasti sudah gila. Berkali-kali ia menjambakki rambutnya. Berguling-gulingan di atas kasur hingga spreinya berantakan dan bed cover pun ikut jatuh ke lantai.

'Ada saya juga, kalo kamu lupa.'

Entah apa yang ada di kepala Bhanu saat mengatakan hal itu, yang pasti saat itu ia seperti tersihir. Badannya seperti bergerak sendiri, tanpa memberikannya waktu untuk berkompromi. Bisa berdiri sedekat itu dengan Anan tampaknya membuat Bhanu jadi kehilangan kontrol akan otak dan hatinya.

Padahal awalnya dia hanya ingin menjahili Anan, seperti dulu ketika mereka kecil, hingga Anan menangis lalu berlari mencari ayahnya untuk mengadu. Tapi siapa sangka justru sekarang Bhanu merasa hatinya lah yang mempermainkan dirinya sendiri.

Sekarang bahkan Bhanu merasa telinganya semakin peka dengan suara-suara yang timbul dari kamar sebelah, tempat Anan menginap. Meskipun dia tahu, kamar hotel ini pasti dirancang kedap suara.

Sepertinya Bhanu butuh refreshing sebentar. Rencana pergi ke alun-alun dengan Faisal masih nanti malam. Setidaknya dia masih punya waktu untuk sekedar menjernihkan pikiran. Jogging sore mengitari hotel sepertinya bukan ide yang buruk.

Bhanu mengobrak-abrik kopernya, mencari celana pendek yang bisa dipakai untuk jogging. Ketika akhirnya sadar bahwa tidak ada sepatu lari yang bisa dikenakan, Bhanu melempar tubuhnya ke kasur lagi. Moodnya untuk jogging seketika sirna.

Matanya menerawang ke langit-langi kamar. Menatap kosong lampu LED putih yang berpendar menerangi seisi ruangan.

Kepekaan telinganya benar-benar terbukti ketika dia mendengar suara pintu terbuka dari kamar sebelah dan membuat Bhanu langsung lompat dari kasur, bangkit dan berlari ke arah lubang intip yang ada di pintu kamar hotel. Berniat memastikan bahwa suara tadi benar berasal dari kamar sebelah tempat Anan menginap.

Tidak lama, Anan berjalan melewati kamar Bhanu sambil berbicara dengan seseorang melalui ponsel yang menempel di telinganya.

Lalu seperti seorang tetangga yang hobi menguntit tetangga sebelah rumahnya, Bhanu membuka sedikit pintu kamarnya, mengintip dari celah antara pintu dan dinding yang hanya sebesar beberapa sentimeter.

Di ujung koridor sana, Anan sedang menunggu lift sambil tetap berbicara di ponsel.

Mata Bhanu memicing, mengamati dengan curiga. Penasaran, lebih tepatnya. Hingga akhirnya pintu lift terbuka dan Anan masuk, baru lah Bhanu berani membuka pintu kamarnya lebih lebar. Mengambil sendal hotel yang tergeletak pasrah di sudut belakang pintu, lalu melesat menuju lift. Berharap masih bisa mengejar gadis jutek yang baru saja meninggalkan kamarnya.

Layar display dengan huruf warna merah di atas lift yang tadi Anan naiki menunjukkan lantai-lantai yang dilewati. Jika layar itu tidak salah, lift itu tidak berhenti di lantai lain, melainkan langsung meluncur turun ke lantai dasar, dimana lobby hotel berada.

Mau kemana lo, Tar?

Bhanu tidak sabar lagi. Lift yang ia tunggu sejak tadi rasanya begitu lama. Sempat terpikir untuk turun ke lantai dasar menggunakan tangga darurat, tapi kemudian ia iurungkan. Kamarnya berada di lantai 21. Itu artinya Bhanu harus menuruni 20 lantai untuk bisa mencapai lobby. Baru membayangkannya saja, Bhanu sudah merasa ngos-ngosan.

"Fai, ke bawah sekarang. Saya tunggu di lobby." Ucapnya cepat ketika sudah sampai di lobby.

Bhanu sekarang bersembunyi di balik tanaman hias besar di dekat meja resepsionis. Tangannya masih memegang ponsel, sementara matanya menatap jauh ke luar pintu hotel.

BayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang