manja, ya?(4)

4.7K 448 62
                                    

Jimin membulatkan matanya, "Mwo?!" ucapnya tak terima. Rasa sedihnya hilang sesaat ketika Taehyung terkekeh dengan manis, membuat tangannya gatal untuk mengelus rambut sang adik yang terlihat halus.

"A—ah..." ucapnya dengan tubuh yang seketika melemas melihat helaian rambut halus itu kini berpindah di jemarinya. Benar-benar berpindah, hingga ke akar-akarnya.

Rontok. Helai. Banyak sekali.

"Bagaimana bisa..." tangan Jimin gemetaran memegang belasan bahkan puluhan rambut Taehyung yang rontok. Matanya melebar tak percaya, lalu seketika mendongak ketika suara Taehyung menginterupsi.

"Mengapa kau terlihat kaget?" Taehyung terkekeh, "Setiap aku terapi memang seperti ini." ucapnya santai—-dalam hati takut setengah mati karena dulu rambutnya tidak pernah rontok separah ini.

Air mata jatuh ke pipi Jimin begitu saja, membuat Taehyung terdiam. Hatinya sakit melihat sang kakak yang kini menangis dihadapannya.

Matanya ikut memanas, namun ia tahan sekuat mungkin. Jika ia menangis, bagaimana ia bisa menenangkan Jimin yang juga menangis?

Kali ini ia harus bisa menguatkan kehidupannya—Jimin, yang selama ini telah membantunya untuk tetap bertahan.

"Cengeng." ucap Taehyung acuh, membuat Jimin menatap Taehyung dengan matanya yang basah. Ia menjambak rambutnya dengan kasar berulang kali hingga beberapa diantaranya tercabut.

"Ayo tercabut..! jika rambut—-hiks... Taehyung rontok, berarti mi—milikku.. juga harus!" racaunya dengan isakan keras, membuat Taehyung melotot dan berteriak meminta berhenti.

Tubuhnya bodoh, terlalu lemas sehingga tidak bisa bangkit hanya untuk mencegah sikap Jimin yang kelewat batas. Ia merutukki tubuhnya yang terlalu manja hingga untuk bangkit saja tidak biasa.

Untung saja Seokjin masuk dan dengan sigap menghentikan kegiatan gila Jimin. Jimin memberontak, membuat Seokjin sibuk untuk menenangkan sang adik pertama.

Kacau dan terlalu bising.

Taehyung mencoba untuk membujuk Jimin untuk menghentikan kegiatannya, namun—-sialnya, perutnya tiba-tiba secara di aduk-aduk hingga cairannya naik ke tenggorokan.




"HUEEKKK!!!"




Sontak pertengkaran itu berhenti. Jimin dan Seokjin menoleh panik mendapati Taehyung yang terkulai lemas dengan cairan berwarna oranye muda memenuhi baju dan selimut.

"Uhuk—uhuk..." Taehyung terbatuk kecil dengan nafas yang kacau. Wajahnya teramat pucat, dengan peluh membasahi dahi. Bibirnya bergetar, dengan dada yang kembang-kempis dengan cepat.

Taehyung terlihat berantakkan.

"ASTAGA TAE!!"

"TAE!"

Taehyung memaksakan matanya untuk tetap terbuka, melihat kedua kakaknya yang menatapnya panik dan sangat khawatir.

Seokjin mengusap sudut bibir Taehyung tanpa rasa mual sama sekali. Sementara Jimin yang melihatnya hanya bisa mengusap wajah kasar sembari mengucapkan kata maaf berulang kali.

"Hyung~" gumam Taehyung lirih, membuat keduanya sontak mendekat dengan penuh khawatir. Seokjin mengelus pipi dingin Taehyung, "Ada apa, Tae? sakit?"

Taehyung meggeleng sembari tersenyum tipis. "Maaf merepotkan...." ucapnya dengan nada bersalah yang menyentil hati kedua kakaknya.

"Tidak, Tae... sama sekali tidak..." suara bergetar Seokjin memenuhi pendengaran Taehyung. Seokjin menggeleng beberapa kali dengan mata yang berkaca-kaca.

Jimin sendiri sudah menangis dalam diam sembari meracaukan kata 'maaf' tanpa henti. Matanya mengelilingi sekitar, tidak ingin melihat keadaan sang adik yang sangat menyayat hati.

Taehyung menarik nafas panjang-panjang walaupun rasanya teramat menyakitkan. Amat sangat menyakitkan, hingga air mata itu jatuh pada pipi dinginnya tanpa bisa ia cegah.

"Ji—Jimin..." lirihnya dengan suara pelan, membuat Jimin menoleh dengan air mata yang terus mengalir di mata sipit itu. "Ne."Jimin menyahut acuh—-hanya untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

"Aku—-" Taehyung tercekat karena oksigen yang mengalir dalam canula semakin sulit untuk dihirup, "—-manja, ya?"

Isakan Jimin keluar saat itu juga. Tubuhnya bergerak memeluk Taehyung—-tak peduli dengan cairan lambung Taehyung yang kini membasahi pakaiannya.

Jimin menggeleng keras sembari menyenderkan kepala disebelah alat-alat yang menancap di dada Taehyung. Bibirnya tak henti berucap, "Maaf, maaf, maaf—-hiks... maaf..."

Taehyung menarik nafas lalu memejamkan mata sesaat merasakan dada yang terasa amat sesak dan menyakitkan. Nafasnya semakin tersendat membuatnya merutuki ventilator yang tidak bekerja dengan baik.

"Aku pergi ya..." tiba-tiba saja Taehyung berucap tanpa ia sadari. Membuat Jimin menggeleng keras dan semakin mengeratkan pelukan tersebut. "Andwae... kajima!!!"

Andai Jimin tahu pelukan itu membuat Taehyung semakin sakit.

Seokjin mengalihkan pandangannya ke samping. Air mata merembes keluar, dengan bahu yang sedikit bergetar. Ia tak sanggup melihat kedua adiknya.

"Aku ikut kalau begitu!" teriak Jimin dengan suara parau, menatap mata sayu Taehyung yang hampir tertutup.

Taehyung tersenyum tipis dengan mulut yang terbuka untuk menghirup udara sebanyak-banyaknya, "Shir—-reo... Aku... sudah ma—mandiri.. sekarang, jadi hhh—-aku akan pergi sendiri..."

Taehyung melirik sendu Jimin dan Seokjin yang kini menatapnya dengan penuh kesedihan. Dadanya sakit sekali.. hingga untuk bernafas pun terasa amat sulit dan menyakitkan.

Sebesar apapun usahanya untuk menarik nafas, yang ada malah cubitan keras di dadanya. Nafasnya semakin menipis, dan ia sudah terlalu lemas untuk bertahan lebih lama.










"Ma—-maaf.. ak—aku.. hhh, terlalu.. man.. ja..."










***




end.

hehehehehehehehehehe😏

Mungkin beberapa dari kalian ada yang mikir, kenapa hampir semua cerita di book ini endingnya sama?

Kenapa?

simpel aja, menurut aku penyesalan itu adalah sesuatu yang paling menyedihkan—-

—karena walau kamu udah menangis darah pun, hal yang kamu sesali itu gabisa balik lagi.

gitchu de. 😉

next, mending siapa yang 'dinistain?' 😅

Tae?

or

Chim?

vote n comment juseyo😘

-tatachim

feels [vmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang