Bab 2

18.4K 1.7K 143
                                    

Aku hanya ingin kenangan dulu yang pernah membuatku bahagia dapat terulang lagi. Karena kini aku ingin membaginya denganmu dan juga buah hati kita.

"Lo mau ke mana?"

"Ke Jerman."

"Jerman?" tanya Wahid bingung sambil melirik Agam sekilas.

Jarang sekali rasanya mereka memiliki waktu berkumpul bersama seperti ini. Namun sesuai informasi yang Barra katakan bila ini adalah hal mendesak, mau tidak mau mereka meluangkan waktu untuk berkumpul.

"Ngapain lo ke sana?" tanya Wahid. "Liburan? Apa mau bikin adeknya Abi?" goda Wahid sambil menggerakan bahunya ke arah Agam. Memberikan kode pada sahabatnya itu agar mendukungnya.

"Abi minta liburan bareng."

"Ke Jerman segala liburannya. Kan anak sekolah udah pada masuk. Emangnya si Abi nggak sekolah?" tanya Wahid kembali.

"Yah mau gimana lagi." jawabnya lemah. Mengambil camilan kentang goreng yang mereka pesan sebagai teman kumpul. "Jujur aja. Gue sebenernya capek banget. Tapi demi bahagiain Abi gue rela deh badan rontok. Asal dia bahagia."

"Bitha ikut kan? Minta dipijat sama dia lah." usul Agam. "Sekalian ibadah. Gue tahu lo kangen banget sama dia. Secara sebulan nggak ketemu."

"Kangen sih. Tapi ya gitu deh."

"Gitu gimana?" tanya Wahid aneh. "Kalian kenapa sih, bingung gue. Dari awal kalian nikah rasanya ribut terus. Entah Bitha yang ngambek. Atau lo yang terlalu cuek. Ayolah, Bar. Gue dulu ikhlasin sepupu gue buat lo, karena gue pikir lo adalah sahabat gue. Lo laki-laki baik. Lo rela berjuang keras demi dapatin dia. Tapi kok sekarang lo yang lemah gini. Apa ada masalah dari Bitha? Kalau iya, biar gue yang bantu ngomong sama dia. Sebelum Kakak Ipar lo yang ikut campur. Apalagi mertua lo ikut turun tangan. Nggak bakalan tenang hidup lo."

Sekian panjang kalimat yang Wahid ucapkan, Barra hanya menaikkan kedua alis hitamnya. Tubuhnya kembali bersandar pada punggung sofa tempat mereka berkumpul. Dengan tatapan memelas ke arah dua sahabatnya itu.

"Nggak ada apa-apa kok. Mungkin kami hanya butuh waktu bersama. Karena itu gue ajak kalian kumpul. Gue butuh bantuan lo, Hid. Nanti waktu gue ke sana, pinjem fasilitas di sana lah."

"Kok pinjem sama gue? Bar, mertua lo tuh kaya raya. Kenapa nggak minta sama dia. Kan buat ngebahagiain anaknya juga."

"Yaelah, Hid. Pelit lo nggak ilang-ilang. Masa iya gue minjem sama mertua gue. Mau ditaruh di mana muka gue?"

"Gengsi digedein." sindir Agam.

"Gam, kok lo gitu. Gue bukannya gengsi. Tapi ya Tuhan, kalian pada lupa waktu pertama kali gue datang ke dia buat ngelamar Bitha? Apa yang dia tanya, gue punya apa sampai berani melamar putrinya. Sumpah itu pertanyaan yang paling menakutkan seumur hidup gue. Yah sebelum pertanyaan, siapa Tuhanmu di alam kubur nanti."

Agam dan Wahid selalu kompak tertawa jika Barra sudah bercerita panjang lebar mengenai kehidupannya. Bukannya mereka jahat, tapi cara dia menjelaskan sungguh-sungguh lucu di mata Wahid dan Agam.

"Terus waktu itu apa yang lo jawab sampai di kasih lampu hijau?"

Barra memutar bola matanya, "akh elah. Lo mah ungkit-ungkit masa lalu. Kan kalian pada tahu gue jawab apa."

"Ish, Kakak Barra, gue kan lupa." goda Wahid.

"Gue bilang kalau gue cuma punya hati."

"Hahaha..." tawa mengejek kembali terdengar. Mereka sama sekali tidak berubah meski usia mereka semakin bertambah. Mungkin memang seperti inilah makna sahabat sejati di mata mereka.

After 15 years MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang