Bab 7

11.6K 1.4K 172
                                    

Saat ini aku hanya bisa memilih diam. Agar semuanya tidak menjadi besar. Hingga kita berdua tak mampu menyelesaikannya tanpa ada yang terluka.

"Lagi di mana lo?" tanya Agam ketika sambungannya terhubung pada Barra.

"Di Makassar. Kenapa?" jawab Barra tepat ia baru saja sampai di hotel tempatnya menginap.

"Udah balik lagi ke sana? Padahal gue mau tanya sesuatu ke lo."

"Tanya apaan? Susah nggak pertanyaannya, gue belum belajar nih." Barra mencoba mencairkan suasana. Dia tidak ingin Agam tahu seperti apa keadaan hatinya kini.

"Terus kapan lo balik lagi?"

"Paling cepat 20 hari lagi gue balik. Tapi paling lama 2 bulan gue di sini."

"Lama banget. Emang nggak ada waktu buat lo manfaatin untuk pulang, Bar? Kalau gue nggak akan bisa selama itu. Seminggu aja ninggalin Nada untuk tugas luar kota, rasanya kayak ada yang aneh dalam diri gue. Kayak merasa kehilangan. Dan ini lo bisa sampai 2 bulan nggak ketemu istri sama anak lo? Apa nggak salah?"

"Mau bagaimana lagi, Gam. Gue di sini cari uang. Cari nafkah buat mereka juga."

"Bar, dengarin gue. Nafkah itu bukan hanya berupa uang yang lo kasih ke mereka agar istri sama anak lo bisa membeli segala kebutuhannya. Tapi ada juga nafkah batin yang lo harus berikan sebagai seorang suami dan seorang Ayah. Lalu kalau lo hampir 2 bulan di luar kota, nafkah batin apa yang bisa lo kasih ke istri sama anak lo?"

Barra menghentikan langkahnya. Dia terdiam sejenak di tempat. Mencoba menyiapkan dirinya karena Barra yakin sebentar lagi Agam menceramahinya. Bukannya dia tidak suka dinasihati Agam. Akan tetapi ketika kondisi hatinya sedang tidak menentu seperti ini, bukan nasihat yang dia butuhkan. Melainkan seseorang yang siap mendengarkannya tanpa mengomentari segala keburukan yang terjadi dalam masalah ini.

"Bar, kalau gue boleh kasih saran. Coba lo luangin waktu untuk keluarga kecil lo. Nggak harus lama durasinya. Tapi rutin. Lagi pula, Bar, nafkah batin itu bukan hanya masalah hubungan intim suami istri. Tapi masih banyak lagi yang termasuk nafkah batin untuk istri. Apalagi diusia pernikahan yang sudah cukup lama seperti yang kita jalani dengan pasangan masing-masing. Kadang gairah itu bukan lagi hal penting bagi istri-istri kita, Bar. Melainkan mereka terkadang ingin kita lebih sering ada di sisi mereka. Tidak perlu melakukan banyak hal. Cukup temani istrimu. Perhatikan dia. Ucapkan terima kasih ketika dia menyiapkan sarapan untukmu. Tersenyum padanya saat ia mencuri-curi pandang ketika di dapur. Hanya itu Bar, salah satu contoh yang bisa gue kasih tahu. Menurut lo susah nggak? Nggak kan?"

"Sayangnya istri gue bukan Nada."

"Maksud lo?"

"Istri gue itu Bitha. Dengan segala pemikirannya yang dia pikir benar."

Tawa Agam membuat Barra bingung mendengarkannya. "Lo kenapa?"

"Baik itu Nada, Bitha, Kiki atau siapapun, semua pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing."

"Ya tapi kalau si Nada enak diajarinnya."

Agam kembali tertawa kencang mendengarnya. "Jangan sok tahu. Belum tentu yang terlihat enak, ketika dimiliki seenak ketika waktu melihatnya dari kejauhan. Kalau menurut lo lebih enak ajarin Nada, alhamdulillah. Berarti gue berhasil menutupi kekurangan istri gue. Dan terlihat baik dimata lo."

Barra menggelengkan kepalanya. Sampai kapanpun ia tidak akan menang jika beradu debat dengan Agam.

"Sekarang begini, lebih baik lo mempercepat pekerjaan lo di sana. Terus pulang ke sini. Coba jalani apa yang gue kasih tahu tadi."

After 15 years MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang